media sosial
Senin, 17 Mei 2021 21:05 WIB
Penulis:redaksi
Oleh Gusti Tetiro
SEPANJANG hari kemarin (Minggu, 16/05) yang dirayakan sebagai Hari Komunikasi Sedunia, saya ditikam pertanyaan, "Masih perlukah tidak yah profesi wartawan di tengah dunia yang seperti ini?". Hampir semua orang sudah bisa jadi reporter. Media sosial melayani live gratis. Informasi sebagai barang publik melimpah dari sumber yang beragam, yang tidak selalu berarti media resmi.
Banyak pemikiran yang bisa dibangun untuk tetap meyakinkan bahwa pekerjaan wartawan masih dibutuhkan. Mulai dari kebutuhan akan berita yang terverifikasi kebenarannya hingga permintaan akan tata bahasa pemberitaan yang baik, serta kejelian melihat nilai dan dampak berita yang ditayangkan.
Saya baca pesan Bapa Suci Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia. "Datang dan lihatlah". Saya ingat apa yang pernah dikatakan teolog Karl Barth, "peganglah kitab suci di tangan kiri dan koran di tangan kanan", meskipun saya tahu banyak koran tidak menyatakan kebenaran.
Saya diam sejenak, lalu berpikir. Oh iya, jalan ini saya pilih pada mulanya adalah hobi, lalu kemudian jadi panggilan (Beruf). Kalau hanya menulis berita sebagai kesenangan, itu belum masuk ke level panggilan. Kalau merasa sampai capek, pernah hampir putus asa, cemas bahkan takut, tetapi tetap menjadi wartawan, itulah panggilan. Dalam bahasa Uskup Agung Ende Mgr Vinsen Sensi, yang kalau boleh saya modifikasi sedikit, panggilan berarti "mencintai hingga rasa sakit": tidak dianggap tetapi tetap bekerja, menolak tunduk pada ancaman kuasa dan rayuan harta, berdiri tegak untuk kebaikan bersama.
Beberapa tahun lalu, saya membaca tulisan Pater Budi Kleden SVD tentang pentingnya profesi wartawan yang disejajarkannya dengan profesi guru. Wartawan menjadi guru bagi publik yang lebih luas. Dalam tulisannya yang lain, mantan dosen saya ini bilang, "Di zaman ini, kita perlu mengomentari komentar Karl Barth: kitab suci di tangan kiri dan realitas di tangan kanan"
Sore ini, saya pikir-pikir lagi, realitas tidak boleh hanya di tangan kanan. Realitas harus dicerap semua indera, sambil sesekali mencari inspirasi dari Kitab Suci.
Kita sedang berada di suatu dunia di dalam genggaman. Menariknya, dunia ini sering dikenal sebagai jagat digital. Digital dari bahasa Latin "digitus" yang artinya (sidik) jari. Kita sibuk mempertahankan citra di dunia digital: memperlihatkan foto dan caption terbaik, hingga tersadar ada suara anak kecil di handphone kita, "Selamat pagi dunia tipu-tipu" :D
Tidak perlu sibuk membangun citra di dunia maya. Toh, kita adalah citra Allah (image of God, imago Dei). Mari membangun dunia digital sebagai perpanjangan dari sidik jari Allah. Allah yang mampu melukis indah di garis bengkok dunia.
Kita semua adalah jurnalis dalam arti yang paling mulia untuk kata itu. Dengan sedikit tantangan: menjadi mitra Allah, secara bebas, secara bertanggung jawab.
Akh sudah terlalu panjang. Selamat malam semua. Tetap jaga kesehatan! (*)
setahun yang lalu