Nagekeo
Sabtu, 02 Agustus 2025 13:57 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Tim Litbang & Redaksi Floresku.com
KABUPATEN Nagekeo, yang berada di jantung Pulau Flores, memiliki warisan budaya yang kaya, potensi ekowisata yang otentik, dan jejak spiritual Katolik yang mendalam.
Namun semua ini belum cukup menjadikannya sebagai magnet wisata seperti tetangga di barat, Labuan Bajo.
Dinas Pariwisata Nagekeo mencatat bahwa daerah ini memiliki banyak destinasi wisata yang menarik.
Destinasi wisata alam yang mempesonal di antara Air Terjun Ngabatata, Pulau Kinde, Pantai Enagera, Pantai Kotajogo, Pantai Marapokor, Pantai Kota Jogo dan Patai Mauembo. Selain itu, ada juga desa wisata Ululoga yang terkenal dengan wisata rempahnya
Destinasi wisata pra sejarah dan sejarah seperti Situs Stegodon Olabula. Lalu ada bunker pertahanan Jepang di Aeramo dan Rane.
Destinasi wisata religi seperti Mata Air Wudhu Pajoreja yang terletak di Desa Ululoga, Kecamatan Mauponggo. Mata air tersebut masih ada sampai sekarang dijaga dengan baik oleh masyarakat Pajoreja. Menurut tradisi lisan, pada tahun 1823 Ine Buka Oma yang masih menganut islam, berwudhu di Kuyu, Kampung Pajo yang lama, di mata air yang kala itu menjadi sumber air bagi warga Kampung Pajo.
Selain itu, ada pula situs gereja peninggalan misonaris Portugis di Kewa Rebhe dan bukit Lena (Degalea). Situs makam Pastor Hieronimo Mascarenhas, seorang misionaris Ordo Dominikan yang menjadi martir di wilayah tersebut sekitar tahun 1601-2.
Kemudian, ada Taman Doa Gua Maria Guadalupe yang terletak di Dusun Peringatin, Desa Nggolonio, Kecamatan Aesesa, yang diresmikan pada 23 Oktober 2024.
Nagekeo juga kaya dengan destinasi wisata budaya. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nagekeo (2019) menyebutkan bahwa Nagekeo memiliki 17 kampung adat.
Di Kecamatan Aesesa terdapat Kampung Adat Tutubadha di Desa Rendu Tutubhada; Kampung Adat Dhawe di Desa Dhawe; Kampung Adat Ola Lape di Desa Lape; Kampung Adat Nggolonio di Desa Nggolonio; Kampung Adat Towak di Desa Towak.
Di Kecamatan Boawae terdapat Kampung Adat Boawae di Desa Natanange; Kampung Adat Wolowea di Desa olowea. Di Kecamatan Mauponggo terdapat Kampung Adat Wulu di Desa Wuliwolo; Kampung Adat Keo di DesaWolotelu; Kampung Nua Nage di Desa Lokalaba.
Di Kecamatan Nangaroro terdapat Kampung Dongga Odo di Desa Riti; Kampung Gezu di Desa Kotakeo; Kampung Adat Lena di DesaPagamogo; dan Kampung Adat Koekobho di Utetoto.
Di Kecamatan Keo Tengah terdapat Kampung Adat Wajo di Desa Wajo; Kampung Adat Pautola di Desa Pautola; dan Kampung Adat Udi Worowatu di Desa Udi Worowatu. Di kampung-kampung adat tersebut dapat ditemukan tradisi menenun ikat dan songket; ritual adat terkait klahiran, perkawinan dan kematian; dan atraksi olah raga tradisional seperti Etu (tinju adat) dan Sepa Api di Pautola.
Berbagai destinasi wisata tersebut cukup memikat para wisatatawan. Statistik Dinas Pariwisata Nagekeo menunjukkan kenaikan kunjungan wisatawan dari 11.000 menjadi 27.000 orang sepanjang 2023. Lonjakan ini sekilas membanggakan. Namun, sebagai bagian dari kawasan wisata yang dikendalikan BPOLBF, angka itu masih terlalu kecil. Apalagi, dari angka tersebut, wisatawan mancanegara hanya tercatat 77 orang.
Antara Konsep Besar dan Realitas Lapangan
Dalam periode kepemimpinan sebelumnya (2018-2023: Don Bosco Do–Marianus Waja), telah digagas peta besar sektor pariwisata. Dalam peta besar tersebut, Pemerintah Kabupaten mengusung pendekatan strategis yang mencakup lima ring destinasi, kerja sama lintas kelembagaan, serta penguatan narasi berbasis antropologi budaya dan kekayaan alam.
Kala itu pengembangan pariwisata Nagekeo dibagi dalam lima ring yaitu Ring of Mbay, Ring of Lena-Ame Gelu, Ring of Kota Jogo-Kinde, Ring of Koto, dan Ring of Ebulobo.
The Ring of Mbay-Amagelu meliputi wilayah Rendu, Nggolonio, Marapokot, sampai Agela. Di ring ini terdapat sejumlah potensi wisata budaya seperti Kampung Adat Lape, Kampung Nggolombai, Kampung Adat Tutubhada, Kampung Adat Nunungogno, Kampung Adat Dhawe, Kampung Adat Kawa, Kampung Adat Boanio, air terjun Ngabatata, kawasan Woedoa, sumber air panas Tonggurambang, Pantai Marapokot, Hutan Mangove Marapokokt, destinasi wisata sejarah Bungker Jepang, dan Kawasan Persawahan Mbay.
Ring of Lena meliputi Kecamatan Nangaroro dan sebagian Kecamatan Mauponggo. Ring ini didukung oleh Kawasan Kampung Adat Natalea (Raja Ola), Pantai Ria Nangaroro, Kawasan Pantai Tonggo, destinasi wisata gereja tua Portugis Lena.
The Ring of Kota Jogo-Kinde wilayah Kecamatan Wolowae. Rinng ini didominasi oleh wisata alam berupa pantai yang terletak di pesisir utara seperti Pantai Kota Jogo, jalur sutra Anakol-Kinde, Tebing Putih/ Watu Bhaya, pasir putih, hutan mangrove, Teluk Todo, Dermaga Marina, dan Pantai Pu’u Nio
Ring of Ebulobo meliputi wilayah sekitar Kecamatan Boawae dan sebagian wilayah Kecamatan Mauponggo. Di ring ini terdapat destinasi wisata seperti Gunung Ebolobo, Kampung Adat Bowae, Pantai Ena Gera.Air Wudhu Pajoreja di Desa Wisata Ululoga.
Terakhir adalah Ring Of Koto yang meliputi Kecamatan Keo Tengah dan sebagaian Kecamatan Nangaroro.
Ring ini didkung oleh destinasi wisata seperti Desa Woloede, Pajumala, Malalaja, Woloroja, Uluwaga, ritua sepa api Katodo di Pautola, Kampung Adat Worowatu, Kampung Adat Poma dan Desa Wisata Wajo.
Selain itu Pemerintah Kabupaten juga membangun kemitraan dengan Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo–Flores (BOPLBF) untuk mengintegrasikan promosi, pengembangan SDM pariwisata, dan peningkatan infrastruktur dasar, khususnya di jalur penghubung antardestinasi. BOPLBF diharapkan menjadi pintu masuk bagi investor serta jembatan antara Nagekeo dan pasar pariwisata nasional maupun internasional.
Lebih jauh, visi pembangunan sektor ini diarahkan untuk tidak sekadar menjual lanskap, tetapi juga menghadirkan ‘branding’ dan pengalaman naratif yang menyeluruh. Konsep Faunatis Nusa Nipa diangkat sebagai identitas naratif Nagekeo, yang menggabungkan nilai-nilai antropologis masyarakat Nusa Nipa, sejarah prasejarahnya yang unik, serta kekayaan flora-fauna dan budaya lokal.
Untuk mengangkat citra dan memperkenal pariwisata Nagekeo di mata nasional dan internasonal, Don-Marianus melakukan branding posisition dengan tagline, ‘Nagekeo The Heart of Flores’.
Saat meluncurkan brand ‘Nagekeo the Heart of Flores,’ pada Desebber 2021, Bupati Don mengatakan, tagline tersebut hendak menegaskan bahwa secara topografi Kabupaten Nagekeo tepat berada di tengah Pulau Flores.
Secara antrhopologi budaya, tagline tersebut selaras dengan cara memandang atau konsep tentang wilayah budaya dan geografis yang bersifat faunatis.
Sekadar informasi, melalui pendekatan konsep faunatis Sareng Orinbao (Pater Piet Petu SVD, 1969) menemukan bahwa nama pribumi purba Pulau Flores adalah Nusa Nipa (ular Naga magis) yang membujur ddengan kepala di di ujung timur dan ekor di ujung barat, Manggarai. Jadi, Nagekeo memang persis berada di ‘jantung’ dari ular naga magis itu.
Selain dipakai sebagai sebuah nama lain dari Kabupaten Nagekeo, tagline Nageko the Heart of Flores juga digunakan untuk mempromosikan pariwisata Flores baik di tingka nasionak maupun internasional.
Ini memang beralasan. Sebab, Nagekeo the Heart of Flores mencerminkan spirit dan nilai masyarakat Nagekeo yang sudah dihidupi oleh para luhur mereka seperti tampa pada ungkapan "To'o Jogho Wagha Sama" (Gotong Royong) "Kia Zi'a Tabhe Pawe" (Cinta kasih, "Pese Tenu" (Petuah/Nasihat) dan "Wua Mesu" (Belas kasihan.)
Selain itu, Nagekeo the Heart of Flores juga mengekspresikani keberagaman budaya di masyarakat Nagekeo. Ada tiga budaya, seperti di dataran utara Mbay, tengah Boawae (Nage), serta wilayah selatan Ma'u (Keo). Setiap wilayah budaya tersebut mempunyai ritual dan tata cara adat yang berbeda.
Dengan demikian, melalui brand positioning tersebut, Pemkab Nagekeo tak hanya menampilkan Nagekeo berbeda dari kabupaten lain di Flores, tetapi juga meletakkan fondasi baru yang kuat bagi ‘bangunan’ pariwisata Nagekeo yang menawarkan paket wisata tematik seperti ekowisata spiritual, ekspedisi prasejarah, hingga pariwisata edukatif berbasis komunitas.
Tetapi di lapangan, hingga kini sebagian besar desa wisata dan situs budaya masih minim fasilitas, sulit diakses, dan tidak terkoneksi secara digital serta tidak didukung oleh SDM yang mumpuni.
Promosi juga belum memanfaatkan kanal digital dan jejaring global secara optimal. Banyak warga bahkan belum paham bagaimana membuat konten pariwisata dasar seperti brosur, situs web, atau akun media sosial yang menarik.
Harapan pada Bupati Simplisius Donatus
Kini kepemimpinan ada di tangan Bupati Simplisius Donatus. Ia sudah menunjukkan niat baik dengan melanjutkan kolaborasi dengan BOP-LBF dan menegaskan komitmen terhadap pengembangan 31 kampung adat sebagai kekuatan wisata budaya Nagekeo.
Ia juga secara jujur mengakui dua tantangan terbesar: infrastruktur yang terbatas dan rendahnya kapasitas SDM.
Namun publik menanti lebih dari sekadar niat. Sudah saatnya kepemimpinan baru melakukan gebrakan nyata dan terukur.
Misalnya, menciptakan roadmap digitalisasi pariwisata desa, membuka jalur khusus pelatihan SDM wisata berbasis desa, mengembangkan insentif untuk pengelola homestay, atau membangun jejaring promosi lintas-kabupaten yang inklusif dan berbasis komunitas.
Nagekeo butuh pemimpin yang tidak hanya menghadiri audiensi dan menerima plakat kerja sama, tetapi turun langsung ke lapangan: mendengar keluhan pengelola, melihat kondisi riil akses jalan, dan mengeksekusi solusi bersama warga.
Apakah Nagekeo Sekadar Perpanjangan Labuan Bajo?
Salah satu ancaman laten dalam kerja sama pariwisata lintas-kabupaten adalah asimetri. Labuan Bajo kini menjadi raksasa wisata nasional dengan investasi miliaran rupiah dan konektivitas udara langsung dari Jakarta dan Bali.
Jika Nagekeo tidak memiliki identitas wisata yang khas, maka ia hanya akan menjadi pelengkap logistik dan perpanjangan hinterland.
Padahal Nagekeo memiliki banyak aset wista unik: seperti situs prasejarah Situs Stegodon Olabula di Kecamatan Boawae, warisan kampung adat seperti Kawa, Dhawe, Lape dan Rendu, serta lanskap alam Gunung Ebulobo, hingga pantai selatan yang eksotis namun belum dikelola optimal. Bahkan potensi wisata spiritual seperti ziarah ke situs-situs sejarah Katolik dan atraksi budaya Nagekeo masih belum dikemas secara menarik.
Semua ini bisa menjadi produk wisata unggulan, tetapi hanya jika didukung oleh langkah nyata: kurasi paket wisata, SDM pariwisata yang berkompeten, keterlibatan pelaku lokal, penguatan narasi, dan sinergi anggaran lintas dinas.
SDM Adalah Kunci
Pariwisata berbasis komunitas tidak bisa dibangun dengan dana besar saja. Ia tumbuh dari kapasitas manusia lokal. Tanpa pelatihan bahasa asing, digital marketing, manajemen homestay, dan hospitality sederhana, warga hanya akan menjadi penonton di tanah sendiri.
Maka, pemerintah daerah perlu bermitra aktif dengan universitas, LSM, dan pelaku wisata berpengalaman untuk mempercepat peningkatan kualitas SDM.
Lebih jauh, sektor ekonomi kreatif berbasis budaya lokal seperti kuliner, kriya, tenun, dan pertunjukan tradisional juga perlu ruang dan pendampingan agar siap menyambut wisatawan dengan pengalaman yang otentik.
Menanti Gebrakan Kongkret
Kabupaten Nagekeo tidak kekurangan potensi. Yang dibutuhkan kini adalah kepemimpinan yang berani bertindak, bukan hanya melanjutkan narasi lama. Gebrakan konkret dibutuhkan, mulai dari tata kelola yang berpihak pada desa wisata, perbaikan akses, digitalisasi promosi, hingga pembangunan ekosistem SDM.
Bupati Simplisius Donatus berada dalam momentum strategis untuk membuat sejarah baru. Apakah ia akan dikenang sebagai pemimpin yang membawa pariwisata Nagekeo naik kelas, atau sekadar penerus kebijakan tanpa akselerasi?
Jawabannya akan terlihat dalam beberapa tahun ke depan. Tapi waktu terus berjalan, dan para wisatawan pada umumnya tidak sabar menunggu. ***
12 jam yang lalu
12 hari yang lalu