KPK
Rabu, 16 Juni 2021 16:51 WIB
Penulis:redaksi
Oleh Maxi Ali Perajaka*
RENCANA pemerintah menerapkan pajak atas sektor jasa pendidikan mendapat perhatian luas dan menjadi perbincangan hangat di ruang publik belakangan ini. Tak sedikit tokoh yang berpendapat dengan nada emosional.
Semestinya hal tersebut perlu ditanggapi dengan kepala dingin dan suasana bathin yang sejuk. Sebab, rencana seperti itu bukanlah hal baru di muka bumi.
Kini, setidaknya 15 negara di dunia sedang melakukan penyesuaian skema tarif PPN untuk membiayai penanganan pagebluk. Amerika Serikat dan Inggris, misalnya, juga berencana menaikkan tarif PPN untuk keberlanjutan ekonominya.
Jadi, melalui kajian dan benchmarking kita sebetulnya bisa belajar dari pengalaman dan tren negara lain dalam urusan ini. Artinya, kita bisa belajar, mengapa suatu negara gagal melakukan revisi PPN dan menerapkan pajak atas sektor jasa pendidikan, dan mengapa negara yang lain berhasil.
Sebagai gambaran, di dunia terdapat 24 negara yang tarif PPN-nya di atas 20 persen, 104 negara 11-20 persen, selebihnya beragam 10 persen ke bawah. Dari data seperti itu, kita dapat mengambil posisi untuk menentukan tarif PNN yang sesuai dengan kondisi masyarakat kita.
Memang, dalam draf Revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), terungkap niat pemerintah di antaranya, memajaki sektor jasa pendidikan, dan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen dari yang saat ini berlaku sebesar 10 persen.
Pada saat bersamaan, pemerintah juga akan mengatur kebijakan PPN multitarif. Pertama, tarif sebesar 5 persen untuk jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat berpenghasilan menengah-bawah. Kedua, tarif sebesar 25 persen bagi jasa tergolong mewah.
Dari skema tersebut, dapat dibayangkan bahwa nantinya untuk sekolah yang tergolong mahal bakal dibandrol PPN dengan tarif normal yakni 12 persen. Sedangkan sekolah dengan biaya murah dan sekolah negeri misalnya dikenakan tarif 5 persen.
Keuntungan menerapkan PPN atas jasa pendidikan
Sesungguhnya, penerapan pajak atas sektor jasa pendidikan di Indonesia bisa menimbulkan beberapa manfaat atau keuntungan. Pertama, potensi penerimaan dari sektor jasa cukup besar karena jumlah institusi pendidikan di Indonesia sangat besar.
Kata data.com mencatat, pada tahun ajaran 2019/2020, Indonesia memiliki 205.472 satuan pendidikan anak usia dini (PAUD). Jumlah sekolah dari jenjang SD sampai Sekolah Lanjutan Atas (SLTA), termasuk Sekolah Luar Biasa (SLB) mencapai 307.655 sekolah pada tahun ajaran 2017/2018, terdiri atas 169.378 sekolah negeri dan 138.277 sekolah swasta.
Sementara itu menurut pddikti.kemdikbud.go.id, per 2019 Indonesia memiliki 4.621 perguruan tinggi, terdiri dari 3.129 perguruan tinggi swasta, 1.192 perguruan tinggi agama, 178 perguruan tinggi kedinasan (PTK) dan 122 perguruan tinggi negeri (PTN).
Jadi, total lembaga pendidikan regular dan inti dari PAD hingga perguruan tinggi mencapai 517.748 unit. Nah, apabila atas setiap lembaga pendidikan dikenakan PPN sebesar Rp1 juta, maka potensi pendapatan negara dari pajak atas sektor jasa pendidikan mencapai Rp51,8 trilliun. Potensi tersebut belum termasuk dari lembaga pendidikan non regular dan tambahan yang jumlahnya juga ribuan.
Kedua, penerapan pajak yang tinggi atas sekolah komersial dapat mencegah tren komersialisasi pendidikan secara lebih massif lagi. Secara sosial-budaya, hal ini bermanfaat untuk mencegah terciptanya pendidikan yang eksklusif, sekaligus mencegah timbulnya kesenjangan sosial yang makin melebar di kalangan masyarakat.
Ketiga, penerapan preferensi pajak atas lembaga pendidikan non-profit, dapat memacu peran masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi menyediakan layanan pendidikan.
Di India misalnya, kebijakan preferensi pajak atas jasa pendidikan terbukti dapat mendorong peningkatan peran swasta dalam bidang pendidikan, terutama untuk menyediakan layanan pendidkan dani pelatihan di bidang teknologi digital untuk memajukan start-up dan e-commerce.
Bisa pula buntung
Sebaliknya, PPN atas jasa pendidikan berpotensi memadamkan motivasi para investor dan pemilik bisnis pendidikan. Apabila kelompok ini surut semangatnya, maka dipastikan langkah inovasi dan digitalisasi di sektor pendidikan kita akan mandek. Sebab, di sekolah dan perguruan tinggi milik merekalah inovasi dan digitalisasi paling massif terjadi.
Itu berarti pemerintah harus menguras energi dan anggaran lebih besar untuk mendongkrak sekolah dan perguruan tinggi negeri untuk tampil sebagai promotor inovasi dan digitalisasi.
Potensi buntung lainnya adalah menyusutnya minat pihak asing untuk berinvestasi di sektor pendidikan di Indonesia. Padahal, tren investasi asing di dunia pendidikan sedang tumbuh pesat di berbagai negara. Tahun 2020 lalu, India misalnya menerima pendanaan sekitar US$2 miliar dari investor asing yang berkolaborasi dengan penyedia jasa pendidikan lokal untuk menyelenggarakan kursus online.
Jadi, dengan menerapkan PPN atas jasa pendidikan, kita sebetulnya menutup peluang masuknya investasi asing yang ingin berkolaborasi untuk mengembangkan inovasi dan digitalisasi pelayanan pendidikan dalam negeri.
Selain itu, penerapan PPN akan menimbulkan dua pertanyaan tentang masa depan. Pertama, seberapa efektifkah implementasi regulasi perpajakan bagi dunia pendidikan kita?
Kedua, apakah penerapan PPN menunjang dunia pendidikan kita dalam menerapkan program ‘merdeka belajar’ yang digalakkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebuayaan, Riset dan Teknologi? Jawabannya, nanti waktu yang akan membuktikan! ***
*Maxi Ali Perajaka, Direktur Akademi Sekretari Saint Mary (2007-2014), Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Saint Mary, Jakarta (2014-2020).
5 bulan yang lalu