SOROTAN: Tolak Tangan Berayun Kaki, Peluk Tubuh Mengajar Diri

Kamis, 01 Juni 2023 12:48 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

SOROTAN.JPG
Fransiska Kurnia (Dokpri)

Oleh: Fransiska Kurnia*

MASALAH korupsi di Indonesia belum usai. Terbaru, menteri Komunikasi dan  Informatika, Johny Gerard Plate, menjadi tersangka atas pengadaan Base Transceiver Station (BTS) yang mengalami kerugian sebesar 8 trillun rupiah. 

Jumlah yang fantastis dan lagi-lagi datang dari kalangan penjabat. Sebelum Johny G Plate, KPK juga telah berhasil menangkap para pejabat lainnya. 

Selain itu, ada mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, mantan kepala BPN Jakarta Timur, lalu ada Sekertaris Daerah Jawa Timur, Adhy Kryono, dan masih banyak lainnya. 

Tak perlu diragukan lagi, lingkungan para pejabat telah menjadi perhatian dalam kasus korupsi sejak penangkapan Rafael Alun. Penetapan Rafael Trisambodo oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi telah membuka gerbang perilaku-perilaku korupsi para pejabat pemerintahan. 

Dari lingkungan pemerintahan pusat sampai daerah yang terjerat dalam korupsi menambah rentetan kasus korupsi di kalangan pemerintah. Penambahan jumlah kasus tersebut menyebakan indeks persepsi korupsi (IPK) terus memburuk karena tidak mengalami kenaikan.

Pemerikassan dan penangkapan sejumlah pejabat pemerintah oleh KPK dikarenakan buntut pamer kekayaan atau istilah gaul sekarang adalah flexing. Sejumlah para pejabat yang telah disebutkan diawal tak terhitung Johny Plate, harus menjalani panggilan KPK untuk menjalani pemeriksaan. 

Gaya hidup mewah telah membawa seseorang pada perilaku korupsi. Pamer mobil mewah, rumah mewah, jet pribadi, liburan luar negeri menjadi gaya para pejabat sekarang. 

Mirisnya, tidak hanya sendirian, anak dan isteri pun telah tenggelam dalam hidup mewah ini. Betapa tidak, dengan jabatan dan menjadi bagian dari keluarga pejabat, seseorang bisa  berbuat seenak dan semau gue saja. Bebas memamerkan harta kekayaannya tanpa memandang rakyat yang tak berdaya. 

Ketidakmampuan untuk mengendalikan diri menyebabkan orang berperilaku korupsi. Para pejabat pemerintahan yang terjerat dalam kasus korupsi tidak mampu mengontrol dirinya untu tidak hidup dalam kemewahan. 

Peribahasa ‘Tolak Tangan Berayun Kaki, Peluk Tubuh Mengajar Diri’ yang berarti belajar untuk mengendalikan diri dan meninggalkan kebiasaan bersenang-senang, sangat sulit tertanam dalam diri pejabat pemerintahan. 

Memenuhi kepuasan istri dengan barang-barang branded serta membahagiakan buah hati dengan mobil sport yang harganya fantastis tidak mampu dikendalikan sehingga membawa seseorang untuk mencuri uang rakyat. 

Jika ada yang menyangkal bahwa kemewahan hidup para pejabat beserta keluarganya adalah hasil dari kerja sendiri, kenapa mereka harus memenuhi panggilan KPK untuk menjalani pemeriksaan? 

Mereka diperiksa dan ditangkap karena penghasilan tidak sejalan dengan jabatan. Adanya ketidakwajaran penghasilan dan jabatan. 

Para pemangku kepentingan dalam menjalankan roda pemerintahan perlu berorientasi pada peribahasa ini. 

Belajar untuk mengendalikan diri dan meninggalkan kebiasaan bersenang-senang menjadi pegangan dasar dalam melayani rakyat. 

Mengendalikan diri dari segala godaan korupsi harus tertanam dalam diri setiap para pejabat. Tidak mudah tergiur dalam memanfaatkan kekuasaan untuk mencuri uang rakyat. Dan biasakan untuk tidak hidup dalam kemewahan. 

Cukup hidup dari hasil jerih payahmu. Kasihan rakyat yang menyaksikan hidup mewah Anda yang Anda pamerkan di media sosial. 

Timbul rasa cemas terhadap para pejabat yang masih bersembunyi. Sedalam dan sejauh apapun mereka bersembunyi, pada akhirnya tertangkap pula.  

Segampang itukah Anda mencari kesenangan sehingga Anda harus korup?  Berorientasilah pada peribahasa ‘Tolak Tangan Berayun Kaki, Peluk Tubuh Mengajar Diri’ dalam menjalankan roda pemerintahan tanpa harus melakukan perbuatan kotor Anda, Indonesia pasti akan berada di puncak kejayaan.  

Tinggalkan kebiasaan bersenang-senang dan belajarlah untuk mengendalikan hasrat Anda supaya Anda dan juta anggota keluarga Anda bisa membangkitkan kembali energi berbangsa.***

*Fransiska Kurnia,  Mahasiswi STIPAS St Sirilus Ruteng,  peminat masalah sosial.