Kupang
Selasa, 25 Juli 2023 14:07 WIB
Penulis:redaksi
Oleh Pater Kons Beo, SVD
“Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya” (Gus Dur)
Rasa penasaran ini sebenarnya tak tebal amat. Namun, Gramedia – Kupang, toko buku yang ‘punya nama’ itu tetap bikin rasa ingin tahu.
Memang tampak sepele. Ceritanya begini. Di rak pajangan koleksi buku seputar religiosity (keagamaan) tak ada tawaran buku seputar ajaran Hindu, Budda dan Khonghucu.
Buku yang terlihat mudah dan ramai hanyalah seputar christianity dan islam dengan bermacam tinjauannya.
Ada lamunan sepintas, “Wah, alangkah damainya buku-buku ‘kristen dan islam’ di Gramedia. Berdua ‘hidup rukun’ dan ‘tak ada aksi-reaksi yang aneh-aneh.’
Panjangan buku-buku berdampingan itu, apakah sekadar mempermudah pembeli untuk menemukannya?
Atau sebuah ajakan dalam diam membisu agar yang ‘kristen dan islam’ hidup berdampingan dalam keteduhan. Sesuai ‘isi buku tentang ajaran agama masing-masing.’
Apakah Gramedia punya maksud tersembuyi bahwa biarlah masing-masing penganut agama (kristen dan islam) tetaplah ‘tekun mengkaji isi agamanya sendiri dan lalu enteng menghayatinya.’ Penuh citra, bermartabat dan berwibawa?
Yang bikin repot itu, setidaknya serurut kajian psikologi agama ketika seseorang itu tak berakar kuat dalam kajian pengetahuan agamanya sendiri dan rapuh dalam mutu iman.
Ia lalu berakrobat, lenting ke sana ke mari pada agama dan keyakinan yang lain.
Tesis praktisnya begini: “Yang suka repot dan panik akan isi ajaran dan agama orang lain, sejatinya, ia lagi mempertontonkan kedangkalan imannya dan ketipisan pengetahuan dalam agamanya sendiri.
Justru dari sini pula dapat mengalir air keruh penghayatan agama distortif, yang nodahitamkan muara kerukunan hidup bersama antarpemeluk agama.
Segelintir pengkotbah atau penceramah agama tampak linglung dan kurang percaya diri saat harus bicara tentang keyakinannya sendiri pada jemaat – umatnya.
Sayangnya, ia lalu, itu tadi, mencari dan hanya taburkan benih-benih ilalang tentang keyakinan sesama.
Bukankah ini yang dicemaskan jika badai agama terciprat dalam ‘rasa benar sendiri, rasa unggul sendiri, rasa soleha sendiri.’
Bahkan di ujung-ujungnya rumah ibadat tak ubah jadi bagai ‘agen tunggal, satu-satunya perjalanan menuju surga.’
Pajangan buku-buku di Gramedia itu sungguh adalah ajakan teduh agar ‘yang muslim dan kristen’ menelaah dan tekuni isi ajarannya sendiri.
Di balik semuanya, bukan cuma kecermelangan pengetahuan agama yang bakal diraih, tetapi terlebih keanggunan sikap hidup beragama dalam keberagaman! Setidaknya ‘Janganlah sedikit-sedikit kobarkan rasa penuh kebencian dan kafir-mengkafirkan.
Bagaimanapun, saya sebenarnya sedikit ‘kurang hati’ dengan Toko Buku Gramedia – Kupang. Itu tadi, karena tiadanya referensi buku seputar ajaran Hindu, Budda dan Khonghucu.
Saya memang tanyai si pramuniaga di Gramedia – Kupang. Tak ada buku referensi agama Hindu, Budda dan Khonghucu? Bisnis tetap bisnis. Mayoritas kristen dan muslim, diandaikan punya peluang lebih untuk keuntungan dalam praktek bisnis jual – beli.
Namun, terkadang kita perlu pula telaah damai dan teduh tentang isi ajaran agama lain. Walau, tentu, tak harus memeterainya dalam keyakinan imani. Dengan itu kita semakin bijak sikap dan terukur dalam perilaku terhadap keyakinan agama sesama.
Salah satu yang dicemaskan andaikan, setelah perayaan ekaristi – misa hari Minggu, misalnya, umat Allah, pulang ke rumah sambil dibebani dengan kebencian, kecurigaan, serta ketidaknyamanan hati terhadap pemeluk agama – keyakinan lain. Ini semua karena kotbah yang terlalu berapi-api dalam ‘apologia dangkal dan kering’ versus agama dan siapapun yang dianggap berseberangan.
Maka hilang dan buyarlah konsolasi spiritual yang seharusnya mesti ditimbah bawa pulang ke rumah dari sebuah perayaan imani di hari Minggu.
Wah, ada-ada saja!
Verbo Dei Amorem Spiranti. ***
7 bulan yang lalu