Sudah 80 Tahun Merdeka, Banyak Desa di Flores Masih Terbelenggu 'Ketakmerdekaan Sinyal'

Rabu, 06 Agustus 2025 22:18 WIB

Penulis:redaksi

cari sinyal.jpg
Pelajar Kampung Nggalak sedang belajar area hutan di bukit Golo Tewa supaya dapat menangkap sinyal internet. (Isti/Floresku Senin, 30 Agustus 2021)

MAUMERE (Floresku.com) — Di tengah gencarnya digitalisasi dan transformasi pelayanan publik berbasis internet, kenyataan pahit masih dirasakan banyak warga di pedalaman Pulau Flores. 

Meski Indonesia telah 80 tahun merdeka, sejumlah desa di Nusa Tenggara Timur—khususnya di wilayah Flores—masih terkungkung dalam keterisolasian digital akibat minimnya akses jaringan internet dan sinyal telekomunikasi yang layak.

Di Kabupaten Manggarai Timur, Leri, warga setempat, mengungkapkan bahwa beberapa wilayah seperti Kelurahan Tanah Rata, Desa Lembur, Desa Komba, Kelurahan Rongga Koe, Desa Mbengan, Desa Pongruan, Desa Ruan, dan Desa Gunung Baru, masih mengalami kesulitan sinyal. “Kalau adapun, sinyalnya sangat tidak stabil. Sering hilang muncul. Apalagi saat hujan,” kata Leri.

Hal serupa terjadi di Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo. Ibu Leni, tenaga kesehatan di Puskesmas Maunori, mengeluhkan sulitnya menjalankan tugas akibat sinyal internet yang buruk. “Sekarang semua data pasien harus diinput online. Tapi kalau sinyal hilang, kita kesulitan akses data. Kami dianggap lambat merespon, padahal ini karena kendala jaringan,” jelasnya.

Di Kabupaten Sikka, titik-titik tanpa sinyal juga ditemukan di Dusun Hepang (Desa Nenbura, Kecamatan Doreng) dan Desa Ndai Mbere (Kecamatan Mego). Bahkan di Ndai Mbere, ada tiga kampung yang sama sekali tidak mendapat sinyal.

Sementara itu, kondisi lebih memprihatinkan ditemukan di Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai. Tim program televisi nasional Bolang Trans 7 yang melakukan peliputan di sana harus mencari rumah warga yang memasang Starlink untuk sekadar mengirim laporan ke Jakarta.

Bahrin Wahap (52), nelayan dan petani asal Kampung Dintor, Desa Satarlenda, mengungkapkan bahwa desanya belum pernah menikmati sinyal seluler secara merata. “Negara sudah 80 tahun merdeka, tapi kami belum merdeka dari sinyal. Kalau mau hubungi keluarga, harus cari rumah yang ada wifi Starlink,” ujarnya dengan nada kecewa.

Padahal, lanjut Bahrin, Desa Satarlenda termasuk wilayah kaya sumber daya alam dan destinasi wisata unggulan. “Kami punya dua SD, satu SMP, hasil bumi melimpah—vanili, cengkeh, pala, sawah, perikanan. Ada juga destinasi wisata seperti Wae Rebo dan Nuca Molas yang tiap hari dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara. Tapi sinyal HP dan kondisi jalan yang rusak parah jadi masalah utama,” tuturnya.

Keluhan juga datang dari Desa Ondorea Barat, Kabupaten Ende. Warga mengaku kesulitan berkomunikasi dengan keluarga di luar desa akibat sinyal yang tak kunjung hadir.

Ironisnya, daerah-daerah yang justru memiliki potensi pertanian dan pariwisata unggul justru tertinggal dari sisi infrastruktur digital. Padahal, internet bukan lagi kebutuhan sekunder, tetapi sarana vital untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pelayanan publik.

Warga berharap pemerintah segera merealisasikan pemerataan jaringan telekomunikasi di wilayah-wilayah tersebut. Sebab bagi mereka, kemerdekaan sejati baru benar-benar dirasakan ketika semua warga, dari pesisir hingga pegunungan, bisa menikmati akses informasi dan komunikasi yang adil dan merata. (Silvia). ***