Sekolah De Britto Mengajarkan Keterbukaan Berpikir
redaksi - Kamis, 28 Oktober 2021 22:24JOGYAKARTA (Floresku.com) -- Dikenal sebagai sekolah khusus laki-laki, SMA Kolese De Britto membebaskan siswanya untuk tidak berseragam sejak 1848. Hal ini ternyata menghadirkan keterbukaan berpikir bagi anak didiknya dalam melihat dunia.
Benang merah inilah yang terlihat dari talkshow bertajuk 'Berani Tidak Seragam Sedjak 1948' yang diselenggarakan pada Kamis malam (28/10) secara online.
Dari narasumber yang merupakan praktisi pendidikan, orang tua, alumni, guru dan siswa sendiri sepakat bahwa keberagaman adalah nilai-nilai utama yang diajarkan selama menempuh pendidikan.
- Kabar Gembira, 'Apotik Peduli' Segera Hadir di Kecamatan Pacar, Manggarai Barat
- Pemkab Matim Beri Bantuan 6 Unit Kapal Viber untuk 6 Kelompok Nelayan
- Sapaan Uskup Ende dalam Pembukaan Muspas VIII Keuskupan Agung Ende, Linknya di Sini!
Peneliti dan juga Dosen Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Poerwanti Hadi Pratiwi, melihat keberagaman dalam keterbukaan pola pikir siswa ini terlihat dari berbagai tulisan siswa yang dijadikan buku.
"Tulisan-tulisan yang disajikan dalam para alumni, menggambarkan bagaimana hasil olah pikir mereka merefleksikan praktek keberagaman, kepercayaan diri, dan kemandirian. Ini adalah hasil pendidikan bebas bertanggung jawab. Di sana interaksi antara siswa dan guru sangat nampak," katanya.
Selama dua tahun meneliti keberagaman di De Britto, Pratiwi melihat eksistensi keberagaman tidak hanya diperlihatkan para siswa maupun guru di lingkungan internal sekolah saja. Namun juga kepada masyarakat umum.
Dia menggambarkan keberagaman kepada pihak luar ditunjukkan De Britto ke dirinya yang perempuan juga muslim, namun mendapatkan kebebasan melakukan riset.
"Tantangan ke depan adalah menjaga keberagaman itu di tengah perubahan generasi anak didik maupun guru. Keberagaman itu haruslah diskusi dan kaji ulang terus menerus bersama guru, siswa, alumni, pengurus yayasan dan orang tua," ucapnya.
Landasan Pendidikan
Guru sekaligus alumni De Britto tahun 1987, Widi Nugroho mengatakan prinsip egaliter atau tanpa sekat dalam berkomunikasi antara guru dengan siswa yang tanpa batas mampu menghasilkan dialog serta refleksi yang menjadi kunci memanusiakan maupun mendewasakan siswa.
"Di De Britto ada tiga hal yang menjadi landasan pendidikan yaitu nilai-nilai sekolah, pergaulan dan proses belajar. Hadirnya keberagaman mendidik siswa untuk menerima pandangan yang berbeda atau beragam dan menjalani kehidupan," paparnya.
- Stefan Jemsifori, Plt. Sekwan DPRD Mabar Angkat Bicara Terkait Pernyataan Marselinus Jeramun
- Luar Biasa! Debut Marselino Ferdinan di Kualifikasi Piala Asia U-23 2022
- SDN Wol Numpang Simulasi ANBK, Selain Berjalan Kaki, Para Siswa Harus Bawa Bekal untuk Makan Siang
Keberagaman dalam sudut pandang, agama, suku, strata ekonomi, dan etnis menjadi lembur menjadi satu dan terus menerus ditanamkan nilai-nilainya ke anak didik.
Widi juga memastikan bahwa pendekatan secara personal ke anak didik ketika melakukan pelanggaran, sehingga yang bersangkutan menemukan sendiri kesalahannya adalah metode didik lain yang dijalankan. Memang tidak mudah dibandingkan dengan menerapkan aturan, namun proses inilah yang mendewasakan dan memanusiakan anak didik.
Mewakili orang tua, Rahman Hidajat melihat kehadiran komunitas yang heterogen di De Britto mampu memberikan pengalaman, pelajaran dan wawasan yang luas kepada ketiga putranya.
"Ini berbeda dengan mereka yang belajar dalam interaksi sosial berskala kecil. De Britto telah menghancurkan pemikiran kuno saya bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang isinya anak-anak pintar. Padahal sekolah yang menghasilkan anak-anak pintar itu baru namanya sekolah," katanya.
Alumni 2002 Thoni Chandra dan siswa kelas XII Diospyros Pieter Raphael Suitela, sepakat bahwa meskipun De Britto adalah sekolah khusus laki-laki. Namun dinamika berpikir yang dibangun di sana tidak menjadikan siswa minder dalam bersosialisasi dengan siswa sekolah lain.
- STFK Ledalero Akan Berubah Bentuk Jadi 'Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif'
- Kunu Toto, Nipado, Do Kepa, dan Sumpah Pemuda
- Ini Dia 10 Pemenang Lomba Cipta Lagu Tradisional NTT 2021
"Bahkan proses interaksi dengan teman-teman yang berbeda latar belakang menjadikan saya pribadi yang berkembang. Bahkan keberagaman seragam bukan menjadi masalah di sini," kata Dios yang berasal dari Semarang.
Talkshow ini digelar untuk memperingati Sumpah Pemuda ke-93, diharapkan menjadi refleksi bahwa pemuda memiliki peran besar dalam menumbuhkan kesadaran akan keberagaman etnis yang membentuk bangsa Indonesia.
Bersikukuh tidak menerapkan seragam sekolah sejak 1948, pada tahun ajaran 2021-2025 ini sebanyak 851 pemuda menempuh pendidikan di De Britto. Dari jumlah itu, 41,9 persen berasal dari DIY dan sisanya dari seluruh pelosok Indonesia. (Setyono)
Tulisan ini telah tayang di eduwara.com oleh Ida Gautama pada 28 Oct 2021