Investor
Kamis, 10 Maret 2022 21:33 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
BOTONG (Floresku.com) -Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) menyebut bahwa Manggarai Timur (Matim) termasuk dalam lima kabupaten asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masuk dalam daftar 10 besar stunting di Indonesia, karena memiliki angka prevelensi stuntung sebesar 42,9 persen.
Kabar buruk tersebut disampaikan Ketua Pokja Stunting Kabupaten Matim Ir. Boni Hasudungan dalam keterangan persnya, Rabu, 09 Maret 2022.
“Walaupun terus mengalami penurunan sejak tahun 2018, tetapi secara Nasional prevalensi stunting di NTT masih masuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 20.9 persen di tahun 2021,” ungkap Boni merujuk ke data yang dirilis oleh nttprov.go.id.
“Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menyampaikan bahwa berdasar SSGI 2021, lima Kabupaten di NTT yang masuk dalam 10 besar daerah yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di Indonesia yaitu: Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat dan Manggarai Timur,” kata Boni.
Boni mengatakan, angka prvelensi stunting yang tinggi demikian memberi kesan seolah-olah Pemda Matim tidak serius menangani masalah stunting.
Bahkan, katanya lagi, data tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan publik. Sebab sebelumnya, Pemda Matim merilis bahwa bahwa prevelensi stunting di Matim hanya tinggal 13,7 persen.
“Terkait dengan hal tersebut, maka Pemda Matim merasa perlu untuk menyampaikan beberapa hal sebagai bentuk pertanggungjawaban,” ujarnya.
Ia kemudian menjelaskan bahwa stunting adalah masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak.
"Stunting juga merupakan salah satu penyebab pertumbuhan tinggi badan anak terhambat dan tidak sesuai dengangan usianya. Stunting merupakan masalah penting dalam kaitannya dengan persiapan generasi cerdas di masa yang akan datang," jelas Boni.
Menurut Boni, untuk mengukur status stunting di suatu wilayah digunakan presentase prevalensi stunting, yaitu jumlah anak yang sangat pendek (stunting) dibandingkan dengan jumlah anak balita pada waktu yang sama.
Data SSGI dan e-PPGBM
“Prevelensi stunting di Matim yang 42,9 persen itu menurut SSGI (Studi Status Gizi Indonesia), sedangkan menurut Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat secara online (e-PPGBM), tingkat prevelensinya memang 13,7 persen,” karanya.
Boni menambahkan, SSGI adalah sebuah survei berskala nasional yang dilakukan untuk mengetahui perkembangan status gizi balita (stunting, wasting, dan underweight) secara nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Survei ini dilakukan secara periodik setahun sekali dengan menggunakan tenaga enumerator terlatih pada 514 kabupaten/kota se-Indonesia dengan jumlah balita sebanyak 153.228.
“Pada November 2021 SSGI melakukan pengukuran balita di 8 desa di Kabupaten Matim dengan sampel 10 balita per desa. Hasil dari studi diperoleh baha prevalensi stunting di Matim sebesar 42.9,” ujarnya.
"Sedangkan, untuk pertumbuhan balita setiap bulannya, data yang digunakan adalah data e-PPGBM. Data e– PPGBM berasal dari data yang diinput oleh petugas gizi puskesmas sesuai hasil penimbangan di Posyandu setiap bulannya. Berdasarkan data e–PPGBM untuk tahun 2021, prevelansi stunting Kabupaten Matim sebesar 13,7 persen," jelasnya.
Dengan demikian, menurut Boni, diketahui bahwa SSGI dan e-PPGBM merupakan dua cara yang berbeda untuk mengetahui prevalensi stunting di sebuah Kabupaten.
Boni mengatakan, penanganan stunting dilaksanakan secara nasional, termasuk di Provinsi NTT dan di Kabupaten Matim melalui konvergensi stunting. Konvergensi percepatan pencegahan stunting adalah intervensi yang dilakukan secara terkoordinir, terpadu, dan bersama-sama dengan mensasar kelompok sasaran prioritas yang tinggal di desa untuk mendorong penurunan prevelensi stunting.
Sebagai bagian dari upaya percepatan penurunan stunting Pemprov NTT melakukan lomba Konvergensi Stunting untuk Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi. Tahun 2020 Matim menduduki peringkat 19 konvergensi stunting dengan prevelensi 16.5 persen, dan pada tahun 2021 berhasil menekan angka prevalensi stunting hingga13.7 persen. Capaian ini membuat Kabupaten Matim berada di posisi 4 setelah Ngada 11,7 persen, Nagekeo 9,2 persen dan Sumba Tengah 8,1 persen untuk Konvergensi Stunting di Provinsi NTT,” jelasnya.
“”Komitmen Provinsi NTT juga tertuang dalam komitmen bersama antara Gubernur NTT dan Bupati/Walikota se NTT untuk menurunkan stunting sebesar 10 persen di tahun 2022," ujarnya.
Menindaklanjuti hal tersebut, kata Boni, Bupati Matim mengeluarkan Surat Edaran Nomor: Ekbang.050.13/1185/XII/2021 tanggal 28 Desember 2021 tentang Penggunaan Dana Desa Tahun Anggaran 2022 untuk mendukung Penurunan Stunting dan Penurunan Kemiskinan Ekstrem di Kabupaten Manggarai Timur.
Dalam surat edaran ini, Bupati Manggarai Timur menghimbau Desa untuk ikut serta dalam penanganan stunting dengan mengalokasikan anggaran untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa susu dan telur bagi ibu hamil dan bayi di bawah dua tahun.
“Jadi, perbedaan setiap sumber data memiliki fungsi dan kegunaan masing-masing. Prevelensi Stunting 42,9 persen untuk Matim adalah data SSGI untuk kepentingan monitoring dan evaluasi intervensi gizi, sedangkan Prevalensi Stunting 13,7 adalah data e-PPGBM yang digunakan untuk monitoring pertumbuhan balita setiap bulannya,” katanya menyimpulkan.
"Oleh karena sifatnya yang real time, data e-PPGBM juga digunakan sebagai dasar dalam perencanaan dan penetapan sasaran program. Sebagai informasi tambahan, data e-PPGBM juga didukung dengan nama dan alamat balita, by name and address," tutupnya. (Filmon Hasrin) ***
sebulan yang lalu
2 bulan yang lalu