Sepak bola
Jumat, 11 November 2022 09:24 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Agustinus Tetiro
BEBERAPA tahun lalu, tim kesebelasan sepak bola kecamatan Detusoko mungkin (pernah) dianggap remeh. Seorang senior Lio bahkan menulis di media sosialnya menjelang partai final, Kamis, 10 November 2022, bahwa Detusoko adalah lumbung gol bagi tim lawan.
Saya bisa jamin senior ini punya dua kesalahan. Pertama, dia tidak tahu aslinya Detusoko sebenarnya. Kedua, dia kudet alias kurang up-(to-) date.
Sampai dengan satu dekade lalu, fokus orang Detusoko memang tidak di sepak bola dalam arti memikirkan sebuah tim kecamatan yang cukup representatif dan komprehensif.
Jika ada kejuaraan di tingkat kabupaten, yang dibuat oleh Detusoko adalah mengutus salah satu desa atau membentuk tim kesebelasan dadakan. Dengan cara begini, tentu saja hasilnya menjadi mudah ditebak.
Dalam 10 tahun terakhir, sepak bola adalah ‘virus’ baru bagi Detusoko. Kompetisi antar-desa berjalan, antar-dusun di kumpulan beberapa desa juga aktif.
Dengan cara itu, bakat-bakat ditemukan, lebih mudah diseleksi dan lebih fokus diasah. Mau bukti? Masuk ke setiap desa di kecamatan Detusoko hari ini, anda akan menemukan ada tim sepak bola dengan pendukung yang fanatik.
Mau tahu hasil nyata besarnya kekuatan tim desa di Detusoko? Kesebelasan Desa Wolomasi menjadi runner-up di Otoleke Cup setelah kalah dari tim (kecamatan) Nangapanda.
Optimisme terbentuk. Kohesi antar-kampung terjalin dan diperekat melalui satu nama: sepak bola. Dengan sepak bola, seorang pemain Desa Rateroru atau Turunalu bisa berkenalan makin banyak dengan teman-teman pemainnya dari Ekoleta atau Wolofeo.
Para pemain Saga menjalin pertemanan akrab dengan rekan-rekan pesepak bola dari Ranga. Semacam suatu konstruksi sosial yang dibangun tidak sengaja tapi indah.
Tibalah saatnya bertemu ajang yang harus berdiri di bawah satu panji: tim kecamatan. Camat, para kepala desa, mosalaki, dan sejumlah aktivis berinisiatif agar tim Kecamatan Detusoko bisa naik kelas.
Inisiatif ini disambut baik oleh hampir semua pihak di setiap lapisan masyarakat. Dalam waktu yang relatif singkat tim dibentuk, komunitas supporters dibangun, dan setiap orang ingin berkontribusi.
Sungguh merinding melihat mama-mama datang bawa sayur segar ke penginapan para pemain, bapak-bapak antar beras, anak-anak muda kumpulkan uang secara sukarela untuk bisa sumbang. Kekuatan dari kebersamaan.
Kepala desa Detusoko Barat Nando Watu menelpon saya bulan lalu meminta bantuan saran, pemikiran dan terutama jaringan agar tim kesebelasan kami bisa berlaga tanpa kendala berarti.
Kepala desa Wolotolo Vester Soba lebih to the point: “Aji wajib berkontribusi. Ini perintah!” Nando adik kelas saya di Mataloko. Vester kakak kelas kami di sekolah yang sama. Kalau berdua ini sudah omong, ya sebagai warga saya siap sumbang saran dan berkontribusi.
“Optimalkan semua jaringan orang Detusoko di manapun,” pesan saya seadanya. Mujarab. Bali, Surabaya, Jakarta, dan sejumlah kota lain bereaksi positif.
Teman kelas saya Emil Beo di Bali adalah salah satu yang paling antusias membantu. Mantan petinju ka’e Anies Roga memompa semangat dari Surabaya. Banyak nama-nama senior dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semua berjasa baik.
Saat kompetisi berjalan, WhatsApp Group (WAG) supporters Detusoko terbentuk. Cerita, berita, inspirasi, silang pandang dan segala macam ada dalam WAG itu.
Seorang senior kebanggan kami, Ka’e Kanis Se memberi kesaksian: sepanjang hidupnya rasanya inilah untuk pertama kali orang-orang sekecamatan Detusoko begitu bersatu, kreatif dan tetap terbit-sportif.
Saya baca kesaksian itu merinding, asli.
Lalu, Nando menyapa saya, tentu maksudnya supaya saya agak aktif di grup. Saya kenal Nando dari kecil, jadi pasti tahulah mau-maunya. “Need for Achivement (N-Ach)” itulah pesan singkat yang saya tulis, Nando sangat paham. Kecamatan ini mau juara!
“N-Ach” itu jadi motivasi. Fight! Kita mau juara. Semua mesin harus menyala. Semua roda harus berputar lebih cepat, lebih tepat sasaran.
Semesta mendukung, Dewi Fortuna berpihak. Kami memenangkan setiap pertandingan. Dengan sportivitas yang tinggi. Minimal, tidak ada tim lain yang tidak suka sama tim Detusoko karena diperlakukan tidak adil. Tidak ada stel-stel-an. Kami menyerahkan diri kepada stel-an semesta, dewi fortuna, nenek moyang dan Tuhan dalam lantunan nggo-lamba yang indah dan dalam.
Memasuki 8 besar, adik saya Bobi Bhoka dari tim medis PS Detusoko meminta hal yang menurut saya agak aneh: “Ka’e demi ngala rina ola imu o presenter pati motivasi pati tim Detusoko gha.”
Saya awalnya tidak mengindahkan permintaan ini. Apa hubungannya main bola di Ende sama minta dukungan orang-orang yang tidak paham bola di sini, yang juga mungkin tidak tahu kalau jalan raya Ende-Maumere lewat Detusoko. Bobi main desak terus, ya sudahlah, toh bukan hal yang sulit juga minta barang ini ke teman-teman di sini.
Secara anekdoktal, ternyata memang ada gunanya. Hahaha. Dengan jedah hanya sehari dari semifinal ke final, banyak pemain Detusoko kelelahan, bahkan beberapa ada yang terluka.
Nando kelakar di WAG kami, “Ka’e ebe ana lo’o pemain gha tei o nia nuwa gaga puji ebe, neka-neka ji’e, ro iwa rowa rasa” :D
Dan, hari ini, anda sekalian menjadi saksi bahwa kami menjadi juara. Kami memiliki semua syarat untuk menjadi juara sejati: pelatih yang hebat, disiplin pemain, sportivitas, dukungan internal dan eksternal.
Ini hanyalah awal. Sungguh saya katakan dari dalam hati, Detusoko adalah Firdaus dengan begitu banyak sumber daya dan potensi di dalamnya. Tentang masa depannya, kami para pemudanya siap memperkinclongnya dalam setiap kerja dan karya nyata kami.
Detusoko memang butuh makin banyak prestasi untuk menggenjot kepercayaan diri. Need for Achivement, the power of N-Ach! Terima kasih. ***
4 bulan yang lalu