Tuhan
Sabtu, 16 Maret 2024 05:56 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
“Alasan mengapa ada begitu sedikit politisi wanita adalah karena terlalu merepotkan untuk merias di dua wajah..”
(Maureen Murphy, artis dan penulis, 1940 – 2018)
P. Kons Beo, SVD
Di hari-hari ini konstruksi penalaran lagi menderu. Itu yang terjadi di kalangan intern Partai Nasdem. Ini soal hasil panen perolehan suara Pileg DPR RI, Dapil NTT II. Protagonista di balik semuanya ialah Ratu Ngadu Bonu Wulla. Raihan suaranya mencapai 76.331. Itu sudah pasti membawanya mulus kembali menuju Senayan. Setelah lewati calon-calon lainnya.
Tercatat, Ratu Wulla ungguli Viktor Laiskodat di selisih 10.972 suara. Itu beda jumlah suara yang tak kecil. Istri mantan Bupati Sumba Barat Daya – Markus Dairo Talu, dan anggota DPRD 2019-2024 itu pasti telah dikenal luas di daerah pemilihannya.
Di Pileg 2019 lalu itu jumlah suara demi Ratu Wulla mencapai 50.572. Namun, di tahun 2024 ini, Ratu Wulla ‘terlibat dalam heboh’ yang memantik tanya jawab penuh tafsir dan rasa ingin tahu yang menggumpal. Telah jadi trending topik di berbagai media sosial. “Caleg Nasdem Ratu Wulla yang Raih Suara Terbanyak Pilih Mundur....” tulis Kompas.
Inti pertanyaan berkharakter tunggal: Jika memang telah raih suara terbanyak (unggul) mengapa harus memilih mundur? Alasan apa di balik ini? Sekedar membawa ke hari-hari ante Pileg, sekiranya semua rancang bangun demi memperoleh kemenangan justru tiba di titik ‘kesia-siaan.’ Terus, di hari-hari ini, sebenarnya aura seperti apa dan bagaimana kah yang kitari si Ratu Wulla sampai ogah untuk ke Senayan (lagi)? Jelas, ini tentu secret penuh misteri bagi publik. Namun tidak bagi Ratu Wula dan Elit Partai Nasdem.
Kisruh Ratu Wulla ini jadinya lahirkan banyak opini, analisis dan tafsiran. Sungguh kah ini adalalah satu geliat pembegalan politik? Gabriel Goa dari Padma Indonesia, misalnya, soroti, bahwa Partai Nasdem telah kangkangi Hak Politik Perempuan kuota 30 %.
Gaby Goa malah telisik lebih serius, “Saat ini perempuan tidak hanya menjadi korban perdagangan manusia atau human trafficking, tetapi juga menjadi korban perdagangan politik.”
Litania tanya tentu bisa lebih mengular di balik fakta politik ini. Benarkah Ratu Wulla sungguh undur diri atas keputusan pribadi? Tidak kah faktor Surya Paloh bisa tampil sebagai mastermind di balik pengunduran diri itu?
Apakah benar bahwa ini hanya unttuk lapangkan jalan bagi Viktor Laiskodat demi menggapai Senayan? Benar kah Pileg 2024 bagi Partai Nasdem di NTT hanya sekedar ‘kalkulator’ untuk mendeksi jumlah suara bagi Ratu Wulla demi ancang-ancang sekiranya ada sinyal positif sebagai Bacagub NTT usungan Partai? Betul kah kisruh ini hanya sebagai satu akrobat politik demi pansos-nya Ratu yang mesti semakin melambung jauh dalam popularitas? Agar semakin dikenal luas seantero NTT, misalnya?
Siapapun bisa berasumsi dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Yang tak mau repot dengan kenyataan ini, pasti gampang untuk mengatakan: Ini masalah intern Partai Nasdem. Jika Pileg dianggap Nasdem seperti papan catur, maka Nasdem punya strategi sendiri untuk pindahkan ‘bidak-bidak catur’ penuh perhitungan politis.
Bagaimana pun, semua pada maklum! Soal Pileg bukanlah rancang bangun demokrasi atas dasar komponen tunggal Partai. Sebaliknya, Pemilu (Pileg) adalah seni bersenyawa dalam simbioisme mutualis antara Partai dan Rakyat (pemilih). Demi sebuah harapan dan cita-cita bersama.
Ke dalam ‘tangan Partai, rakyat (konstituen) gantungkan harapan pada sosok tertentu.’ Sosok tertentu itu diimpikan jadi jembatan penghubung dan saluran aspirasi rakyat demi kehidupan masyarakat yang semakin baik. Sekiranya, “Undur diri Ratu Wulla adalah keputusan pribadi, maka betapa suara rakyat telah disia-siakan.”
Suara bernada lamentatif penuh kecewa bukan tak mungkin bakal terdengar merintih. “Ibu Ratu Wulla, Betapa Teganya Hatimu” tulis Yohanes Mau dari Tanah Sumba melalui Dili Post. 776.331 suara sungguh Pro pada Ratu Wulla, bukan pada siapa-siapa! Bukan pula pada Bung Viktor Laiskodat.
Namun, itulah fakta lapangan (masyarakat)! Yang tetap dipagar dalam bingkai (Partai) Politik. Tetapi, jika sekiranya ini semua adalah sungguh ‘kerjanya elit Partai Nasdem’ maka ini bisa jadi satu bukti: ‘Partai tetaplah di atas segalanya.’
Rakyat tetaplah jadi pelengkap penyerta untuk ‘segala suka-sukanya partai.’ Dalam nada elementa linguae latinae, “Partai Politik tetaplah jadi Nominativus. Sementara Rakyat hanyalah sebatas ablativus atau bahkan di titik accusativus.” Rakyat tetaplah di koridor intrumen pelengkap atau bahkan ‘penderita’ demi kiprah Partai sebagai subyek.
Mungkinkah bagi pemilih Ratu Wullan, Pileg 2024 ini harus dialami sebagai prank politik yang ‘tidak enak punya?’ Bahwa suara mereka telah ‘jadi angus dan digunduli bersama terbakarnya hamparan padang dan bukit-bukit di tanah sabana, Sumba permai?
Sudah jamak terdengar tumpukan kalimat sakti bernada tunggal: ‘Semua tergantung kehendak rakyat, biarkan rakyat yang memilih, demi kebaikan dan kesejahteraan rakyat, demi terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera..” Toh, ujung-ujung para elit (Partai) lah yang menentukan.
Bagaimana pun, pada suatu ketika nanti, yakinlah, Ibu Ratu Ngadu Bonu Wulla akan pulang lagi ke hadapan rakyat (masyarakat). Entahlah untuk apa? Yang jelas wajah pileg 2024 sudah terlewati. Mungkinkah nanti demi sebuah wajah eksekutif (Pilgub)?
Kita mungkin sebatas bertanya pada rumput yang bergoyang. Namun sayang bila hanya angin yang mengerti….. Namun, bila harus meminjam kata-kata dari atas kayu Salib Golgota, kepada Ibu Ratu Ngadu Bonu Wulla, suara itu tetap bergema, “Ibu, inilah anak-anakmu…” (cf Yoh 19:26). Dan, “Ibu Ratu Wulla,Tuhan memanggilmu untuk tak boleh berpaling dari kerinduan dan harapan mereka di kesementaraan hidup ini.”
Ini hanyalah sebatas satu perenungan!
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro - Roma
9 bulan yang lalu