KPU: Integritas vs Tekanan

Senin, 26 Agustus 2024 18:43 WIB

Penulis:redaksi

romo.jpg
Dr. Benny Susetyo (Dokpri)

Dr. Benny Susetyo

INDONESIA tengah menghadapi berbagai ancaman serius terhadap keberlangsungan demokrasinya, salah satunya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang secara arogan menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2025. 

Bukan hanya ketidaksepakatan, hal ini juga memunculkan pertanyaan komitmen DPR terhadap prinsip-prinsip dasar hukum dan demokrasi. 

Penolakan ini telah memicu gelombang protes besar-besaran di berbagai daerah, sebuah reaksi keras yang menandakan semakin dalamnya jurang ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan penegak demokrasi. 

Dalam konteks yang semakin memanas ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan kemandiriannya di tengah tekanan politik yang semakin intens. 

Sebagai lembaga independen, KPU seharusnya menjadi benteng terakhir yang melindungi demokrasi dari intervensi dan manipulasi politik.

 Namun, pertanyaan yang mendesak adalah apakah KPU mampu berdiri tegak, menegaskan integritasnya, dan mengambil keputusan yang benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat, bukan sekadar kepentingan politik sempit yang berpotensi merusak fondasi demokrasi bangsa ini.

Realitas politik tak bisa dipisahkan dari permainan kekuasaan, yang sejatinya adalah inti dari setiap proses politik. Namun, kekuasaan tidak seharusnya menjadi milik segelintir elit yang memanipulasi sistem demi kepentingan sempit.

 Kekuasaan politik seharusnya menjadi instrumen yang dikelola secara adil, melibatkan berbagai pihak dengan beragam kepentingan. 

Relasi kuasa ini, yang melibatkan individu, kelompok, dan lembaga, selalu berada dalam fluktuasi, mencerminkan dinamika politik yang kerap berubah. 

Dalam konteks ini, KPU berada di garis depan dengan mandat untuk mengawal demokrasi. KPU harus menyadari bahwa kekuasaan yang dipegangnya bukanlah alat bagi kepentingan kelompok tertentu, melainkan amanah yang harus digunakan untuk memperkuat dan memperbaiki demokrasi, tanpa kompromi terhadap intervensi eksternal yang mengancam integritasnya.

KPU harus menyadari bahwa penolakan DPR terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang final dan mengikat adalah manifestasi dari relasi kuasa yang timpang dan berbahaya.

DPR, dengan kekuasaan yang dimilikinya, secara terang-terangan berupaya mengintervensi keputusan yang seharusnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh politik. 

Dalam situasi ini, KPU harus berdiri tegak dan menunjukkan bahwa mereka memiliki otoritas serta integritas untuk menolak segala bentuk intervensi semacam itu. 

Dengan mematuhi keputusan MK sebagai hukum tertinggi yang harus dijunjung, KPU dapat memulihkan kepercayaan publik yang telah terkikis akibat berbagai bentuk intervensi politik yang merusak legitimasi demokrasi di Indonesia.

Michel Foucault, seorang filsuf dan sejarawan Prancis, memberikan pandangan yang mendalam mengenai relasi kekuasaan dan bagaimana kekuasaan bekerja dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam proses politik. 

Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu, melainkan sebuah strategi atau praktik yang tersebar di seluruh jaringan sosial. Kekuasaan hadir di mana-mana dan bekerja melalui berbagai mekanisme.

Dalam konteks politik, relasi kuasa mendasari setiap proses politik, baik di tingkat individu maupun kelompok, dan kekuasaan ini senantiasa bergerak dan berubah sesuai dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. 

Relasi kuasa ini tidak pernah tetap atau stagnan, ia selalu bergerak dan bertransformasi. Foucault menggambarkan kekuasaan sebagai sebuah jaringan yang kompleks, di mana tiap posisi dalam jaringan tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. 

Tidak ada satu entitas pun yang secara mutlak memegang kekuasaan, melainkan kekuasaan tersebar di berbagai titik dalam jaringan sosial tersebut. 

Misalnya, dalam proses pemilu, kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu dapat menentukan narasi apa yang dominan dan bagaimana aturan-aturan tertentu diinterpretasikan dan diterapkan. 

Oleh karena itu, KPU sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan dalam proses politik harus menyadari bahwa mereka tidak hanya berperan dalam mengatur teknis pemilu, tetapi juga dalam membentuk cara masyarakat memahami dan menghayati demokrasi.

Dalam kerangka Foucault, relasi kuasa ini adalah esensi dari berpolitik. Berpolitik tidak hanya tentang siapa yang memegang kekuasaan, tetapi bagaimana kekuasaan itu dioperasikan, disebarkan, dan dipertahankan dalam jaringan sosial. 

Kekuasaan dalam politik adalah tentang strategi, bagaimana berbagai aktor dalam sistem politik saling berinteraksi, bernegosiasi, dan berkompetisi untuk mencapai tujuan mereka. 

Oleh karena itu, pemimpin KPU harus memahami bahwa posisi mereka dalam jaringan kekuasaan ini bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi juga sebagai agen yang memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan dan keadilan dalam proses demokrasi. Keberanian KPU dalam mengambil keputusan yang tegas dan jelas adalah kunci dalam mengembalikan kewibawaan lembaga ini di mata publik. 

Selama ini, KPU seringkali dipandang sebagai lembaga yang mudah diintervensi oleh kekuasaan, baik oleh partai politik maupun parlemen. Hal ini tidak hanya merusak citra KPU sebagai lembaga independen, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri.

Mengembalikan kewibawaan KPU tidak hanya membutuhkan keputusan yang adil dan sesuai dengan aturan, tetapi juga keberanian untuk melawan intervensi dari pihak-pihak yang ingin menggunakan kekuasaan mereka untuk memanipulasi demokrasi. 

Dalam konteks ini, KPU harus menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok atau golongan tertentu. 

Mereka harus menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki harapan melalui tindakan yang tegas dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik.

Walter Benjamin, seorang filsuf dan kritikus budaya Jerman, memberikan perspektif yang berbeda mengenai bagaimana kita harus memahami politik dalam konteks yang lebih luas. Benjamin, yang hidup dalam era fasisme Jerman, menyadari bahwa politik tidak dapat dipahami hanya dalam kerangka duniawi, tetapi juga harus melibatkan dimensi yang lebih tinggi, yakni dimensi ilahi.

Dalam pandangan Benjamin, politik yang hanya berfokus pada kekuasaan duniawi cenderung jatuh ke dalam praktik yang hanya mengejar kekuasaan dan kenikmatan semata. 

Politik semacam ini berbahaya karena mengabaikan aspek-aspek moral, etika, dan spiritual yang seharusnya menjadi landasan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. 

Dalam konteks kepemimpinan di KPU, pemikiran Benjamin ini mengajarkan bahwa para pemimpin KPU harus memiliki kesadaran yang lebih tinggi dalam menjalankan tugas mereka. 

Mereka harus menyadari bahwa keputusan yang mereka buat memiliki implikasi yang luas terhadap masa depan demokrasi Indonesia. 

Oleh karena itu, mereka harus mampu mengedepankan nurani dan etika dalam setiap keputusan yang mereka ambil, memastikan bahwa keputusan tersebut tidak hanya berpihak pada kepentingan kelompok tertentu, tetapi juga pada kepentingan masyarakat luas.

Benjamin juga menekankan pentingnya kesadaran kritis dalam berpolitik. 

Dalam menghadapi berbagai tekanan dan tantangan, pemimpin KPU harus memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang benar, meskipun mungkin tidak populer atau bertentangan dengan kepentingan elite politik. 

Mereka harus berani mengembalikan roh demokrasi di atas kepentingan kekuasaan, menjadikan demokrasi sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan kebaikan bersama, bukan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan atau keuntungan pribadi.

Demonstrasi besar-besaran yang terjadi akibat penolakan DPR terhadap keputusan MK adalah cermin ketidakpuasan masyarakat terhadap cara-cara yang tidak demokratis dalam proses politik. 

Masyarakat menuntut KPU untuk mengambil sikap yang jelas dan berpihak pada keadilan dan demokrasi. Demonstrasi ini seharusnya menjadi pengingat bagi KPU bahwa mereka memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga integritas demokrasi Indonesia. 

Tantangan bagi KPU adalah bagaimana mereka dapat mempertahankan independensi mereka di tengah tekanan politik yang sangat kuat.

 KPU harus mampu berdiri teguh di tengah gejolak politik dan menunjukkan bahwa mereka adalah lembaga yang memiliki integritas dan komitmen terhadap demokrasi yang sehat. Hanya dengan cara inilah KPU dapat mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan bahwa proses demokrasi berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila.

Dalam menghadapi tantangan politik yang semakin kompleks, KPU tidak bisa hanya berkutat pada kekuasaan teknis semata, melainkan harus mengadopsi filosofi politik yang lebih mendalam dan bermakna. 

Mereka harus menyadari bahwa peran mereka bukan sekadar menjalankan prosedur, tetapi juga memikul tanggung jawab moral dan etika yang akan menentukan masa depan demokrasi Indonesia. 

KPU harus berani melangkah melampaui kepentingan pribadi dan golongan, mengedepankan nilai-nilai luhur yang mendasari esensi demokrasi.

Jiwa kenegarawanan harus menjadi landasan dalam setiap keputusan yang mereka ambil, dengan fokus utama pada kepentingan bangsa dan negara.

Keputusan KPU dalam merespons manuver politik DPR yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah ujian nyata bagi integritas lembaga ini. 

KPU harus membuktikan bahwa mereka bukan sekadar alat dari kepentingan politik tertentu, tetapi penjaga yang tangguh dari demokrasi yang sehat. 

Hanya dengan menunjukkan keberanian dalam melawan intervensi politik dan berkomitmen pada keadilan dan supremasi hukum, KPU dapat mengembalikan kepercayaan publik yang telah terkikis. Mereka harus menggunakan otoritas mereka untuk memperkuat demokrasi, memastikan bahwa suara rakyat tetap menjadi dasar dari setiap keputusan yang diambil.

Sudah saatnya para pemimpin KPU memahami bahwa mereka bukan hanya pelaksana teknis, tetapi juga penjaga nilai-nilai demokrasi yang lebih besar. 

Mereka harus memiliki keberanian untuk bertindak sebagai negarawan sejati, yang menempatkan integritas dan etika di atas segalanya. 

Dalam menghadapi tekanan politik, para pemimpin KPU harus mampu mempertahankan independensi lembaga ini, mengambil keputusan yang tidak hanya sesuai hukum tetapi juga bermoral. 

Hanya dengan menanamkan jiwa kenegarawanan dan arête keunggulan moral para pemimpin KPU dapat menjadi penjaga sejati demokrasi Indonesia. Mereka harus memastikan bahwa proses politik berjalan adil dan transparan, serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi yang mereka pimpin. 

Inilah saatnya bagi KPU untuk berdiri tegak sebagai benteng terakhir demokrasi yang tidak goyah oleh tekanan politik, tetapi justru menjadi penegak keadilan dan harapan bagi masa depan demokrasi yang lebih baik di Indonesia.

*Dr. Benny Susetyo, Pakar Komunikasi Politik