Kelimutu
Minggu, 11 Juli 2021 12:16 WIB
Penulis:redaksi
Oleh Bone Jehandut
SOEKARNO atau akrab disapa Bung Karno adalah Presiden Republik Indonesia pertama yang lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901. Ia adalah ayah dari Presiden ke-5 sekaligus Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan kakek dari Ketua DPR RI Puan Maharani. Hingga saat ini, sosok Bung Karno seolah-olah tak selesai dibicarakan. Mulai dari sisi humor, drama sampai tragedi kehidupannya. Namun, yang tak kalah menarik adalah pesona sejarahnya.
Sejarawan Inggris yang menghabiskan 40 tahun karier kesejarawanannya untuk meneliti Pangeran Diponegoro melihat, Bung Karno punya banyak kesamaan dengan Diponegoro.
“Saya merasa mereka punya semacam hubungan yang menarik, walaupun terpisah sekira seratus tahun. Mereka berdua punya beberapa persamaan yang membuat Sukarno tertarik pada Diponegoro,” kata pria lulusan Oxford University itu, sebagaimana dirilis tirto.id
Menurut Carey, tulis tirto.id lagi, kesamaan itu adalah Sukarno dan Diponegoro sama-sama lahir di saat fajar. Bahkan, saat masih usia kanak-kanak, kedua tokoh besar ini sama-sama diramal akan menjadi pengganggu Belanda.
Selain itu, keduanya juga punya leluhur non-Jawa: Bung Karno dari Bali dan Diponegoro dari Bima. Sukarno dan Diponegoro menjadi pemimpin besar tapi bukan sekadar mengandalkan garis keturunannya. Carey bilang, Diponegoro memang lahir sebagai pangeran. Ia adalah anak dari sultan Yogyakarta Hamengkubuwana III. Tapi kapasitas kepemimpinannya diasah oleh eyang buyutnya di Tegalrejo.
Sementara Sukarno dikirim ke Dalem Pojok, Kediri, dari 1906 sampai 1908, kemudian ke Tulungagung. “Keduanya lahir di keraton dan di kota besar, tapi diasah di perdesaan,” tutur Peter.
Selain itu, kedua tokoh ini punya kemampuan dalam komunikator massa. Sukarno mahir pidato dan pandai memanfaatkan kisah wayang melalui bahasa sehari-hari untuk menggaet perhatian rakyat. Sedangkan Diponegoro pandai merangkul petani dan orang-orang desa untuk ikut berjuang bersamanya selama Perang Jawa berlangsung.
Entah kenapa, Carey tidak menyoroti kesamaan di antara Diponegoro dan Bung Karno dari aspek agama. Bahwa keduanya adalah sama-sama pemeluk Islam.
Kiai Mojo, salah satu ulama yang setia mendampingi Diponegoro itu selalu menegaskan, Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah jihad yang harus dilakukan semua umat Islam melawan kolonial Belanda. Hal itu diperkuat dengan Diponegoro yang dari kecilnya dikenal sebagai Muslim taat, Islam memang jadi pelecut semangat yang hebat di sisi pribumi.
Sementara Bung Karno memang Islam dari masa kecil juga. Namun, tak diketahui bagaimana ia menjalaninya. Namun yang jelas, baru ketika dewasa Bung Karno berusaha mendalami Islam, agamanya.
Nah, “Surat-Surat Islam dari Ende” adalah salah satu upaya Bung Karno untuk mendalami Islam, agamanya. Berikut petikan surat no.11:
Ende, 18 Agustus 1936.
Assalamu’alaikum,
Surat tuan sudah saya terima. Terima kasih atas tuan punya kecapaian mencarikan penerbit buku saya ke sana-sini. Moga-moga lekas dapat, sayan kalau manuscript yang begitu tebal, tinggal manuscript saja.
Tentang tuan punya usul menulis buku yang lebih tipis, - brosur-, saya akur. Memang brosur itu amat perlu. Tapi sebenarnya saya ingin menyudahi satu buku lagi yang juga kurang - lebih 400 muka tebalnya, yang rancangannya sekarang sudah selesai pula dalam saya punya otak. Rakyat Indonesia, - terutama kaum intellingenzia - , sudah mulai banyak yang senang membaca buku-buku bahasa sendiri yang “matang” , yang “thorough”. Ini alamat baik; sebab perpustakaan Indonesia buat 95% hanya buku-buku tipis saja, hanya brosur-brisur saja, tak sedikit gembira saya, waktu saya menerima buku bahasa Indonesia “Islam di tanah China”.
Buku ini adalah satu contoh buku yang “thorough”. Alangkah baiknya, kalau lebih banyak buku-buku semacam itu di perpustakaan kita! Barangkali nanti kita punya intelligenzia tidak senantiasa terpaksa mencari makanan roh dari buku-buku asing saja. Ini tidak berarti, bahwa saya tak mufakat orang baca buku asing. Tidak! Semua buku ada faedahnya, makin banyak baca buku, makin baik.
Walau buku bahasa Hottentot-pun baik kit abaca! Tapi janganlah perpustakaan kita sendiri berisi nihil, sebagai keadaan sekarang ini. Tuan kata, buku-tipis lebih murah harganya; tapi bagi kaum intelligenzia dan kaum yang sedikit mampu tidaklah menjadi halangan harga buku tebal itu. Toh kaum intelligenzia juga mengeluarkan banyak uang bagi buku asing? Toh kita punya kaum mampu juga banyak mengeluarkan uang buat pakaian, buat bioskop, atau buat kesenangan lain-lain?
Sebenarnya harga sesuatu buku tidak menjadi ukuran laku- tidaknya buku itu nanti; yang menjadi ukuran, ialah kandungan buku itu; isi buku itu, digemari orang atau tidak. Bagi marhaen, ya memang, zaman sekarang ini zaman berat. Tapi tiada keberatan kalau buku-buku tebal itu dijadikan “penerbitan untuk rakyat”, atau dipecah menjadi empat-lima jilid, sehingga meringankan harga bagi marhaen. (Sebenarnya kurang baik memecah buku menjadi jilid-jilid yang kecil). Tapi toh, dalam pada saya menganjurkan penerbitan lebih banyak buku yang tebal dan thorough itu, saya akui juga kefaedahannya brosur. Sebagai alat propaganda, brosur adalah sangat perlu. Insya Allah saya akan tulis brosur tentang paham jaiz di dalam hal keduniaan.
Di dalam salah satu surat saya yang terdahulu, saya sudah sedikit singgung perihal ini. Kita punya perikehidupan Islam, kita punya ingatan-ingatan Islam, kita punya ideologi Islam, sangatlah terkurung oleh keinginan mengcopy 100% segala keadaan-keadaan dan cara-cara dari zaman Rasul s.a.w., dan chalifah yang besar. Kita tidak ingat, bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap, tidak “mati” – tetapi “hidup” mengalir berobah senantiasa, maju, berevolusi, dinamis. Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w. sendiri telah menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak haram atau makruh.
Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat – kafir ; radio dan kedokteran – kafir ; pantalon dan dasi dan topi – kafir ; sendok dan garpu dan kursi – kafir ; tulisan Latin – kafir ; ya pergaulan dengan bangsa bukan Islam-pun – kafir ! Padahal apa – apa yang kita namakan Islam? Bukan roh Islam yang berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyal-nyala, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi …. dupa dan korma dan jubbah dan celak – mata ! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar, - dia, dialah yang kita namakan Islam.
Astaga-firullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengasirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengafirkan radio dan listrik, mengafirkan kemoderenan dank e-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum saja, tinggal kuno saja, yang terbelakang saja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” saja “seperti di zaman Nabi dan Chalifanya”? Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar kabar tentang diadakannya aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?
Islam is progress, Islam itu kemajuan, begitulah telah saya tuliskan di dalam salah satu surat yang terdahulu. Kemajuan karena fardlu, kemajuan karena sunnah, tetapi juga kemjuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh aturan, jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui-batas-batasnya zaman.
Islam is progress. Progress berarti barang baru, barang baru yang lebih sempurna, yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang yang terdahulu. Progress berarti pembikinan baru, creation baru, - bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama. Di dalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy barang yang lama, tidak boleh mau mengulangi zamannya “challifa-challifah” yang besar. Kenap toh orang-orang politik Islam di sini selamanya menganjurkan political system “seperti di zamannya challifa-challifah yang besar” itu?
Tidakkah di dalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu peri-kemanusiaan mendapatkan system-system baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjelamakan system-system baru yang cocok dengan keperluannya – cocok dengan keperluan zaman - , itu sendiri? Apinya zaman “Challifa-challifah yang besar” itu? Ah, lupakah kita bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka “menganggitkan”, bukan mereka yang “mengarangkan”? Bahwa mereka “menyutat” saja api itu dari barang yang juga kita zaman sekarang mempunyainya, yakni dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul?
Tetapi apa yang kita “cutat” dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flamenya, tetapi abunya, debunya, asbesnya. Abunya yang berupa celak-mata dan dan sorban, abunya yang mencintai kemenyan dan tunggangan onta, abunya yang bersifat Islam-mulut dan Islam-Ibadat – zonder taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil saja, - tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu ke ujung zaman yang lain. Tarich Islam, kita baca,tetapi kitab-kitab tarich itu tidak mampu menunjukkan dynamical laws of progress(hokum-hukum yang menjadi sebabnya kemajuan), yang menjadi nyawanya dan tenaganya zaman-zaman yang digambarkan, tidak bisa mengasih falsafatnya sejarah, dan hanyalah habis-habisan-kata memuluk-mulukkan dan mengeramat-ngeramatkan pahlawan-pahlawan saja. Kitab-kitab tarich ada begitu, - betapakah umat Islam umumnya, betapakah si Dulah dan Amat dan Minah dan Maryam itu, kalau mereka malahan lagi hari-hari dan tahun-tahun dicekoki paham-paham kuno dan kolot, takhyul dan mesum, anti-kemajuan dan anti kemodernan, - hadramautisme yang jumud-maha-jumud?
Sesungguhnya, Tuan Hassan, sudah lama waktunya kita wajib memberantas paham-paham yang mengafirkan segala kemajuan dan kecerdasan itu, membelenggu segala nafsu kemajuan dengan belenggunya: “ini haram, itu makruh”, - padahal jaiz atau mubah semata-mata! Insya Allah, dalam dua-tiga bulan brosur itu selesai.
Wassalam,
SUKARNO
sebulan yang lalu
6 bulan yang lalu