Mantovanny Tapung
Jumat, 10 Juni 2022 20:23 WIB
Penulis:redaksi
RUTENG (Floresku.com) - Dosen Unika St Paulus Ruteng, Dr. Mantovanny Tapung, S.Fil., M.Pd mengungkapkan bahwa mengingat kompleksnya permasalahan pendidikan di Manggarai, baik dari sudut biotik dan maupun abiotik, maka perlu ada pendekatan khusus.
Salah satu yang bisa digunakan oleh para pengambil kebijakan dari pusat, daerah sampai pada satuan pendidikan adalah pendekatan asimetris dan diferensiatif.
Hal itu disampaikan Dr. Mantovanny di sela rangkaian Pelatihan Komite Pembelajaran (PKP) Pogram Sekolah Penggerak (PSP), khusus materi Perencanaan Berbasis Data kepada para kepala sekolah dan guru-guru di Manggarai Timur dari SMPN 2 Lamba Leda, SMPN 12 Borong, SMPN 2 Elar, dan SMPN 5 Kota Komba, pada 9 dan 11 Juni 2022 secara daring.
Menurut dosen Filsafat Pendidikan di FKIP Unika St. Paulus Ruteng ini, secara umum ada tiga permasalahan pendidikan di Manggarai Raya ini, yakni:
Pertama, infrastruktur pendukung pembelajaran yang masih minim. Bila pemerintah pusat menghendaki pembelajaran berbasis digital di seluruh pelosok tanah air, maka hal ini tidak akan relevan dengan sekolah-sekolah yang ada di Manggarai Raya, di mana listrik dan internetnya belum semuanya terjangkau.
Guru-guru satuan pendidikan yang ada di pelosok kewalahan dalam menerapkan model pembelajaran digital ini.
Para kepala sekolah dan operator sekolah juga tidak maksimal dalam mengisi data digital rapor pendidikan yang menjadi salah satu platform utama sistem data pendidikan.
Sementara rapor digital ini menjadi sumber data utama dan satu-satunya basis untuk melihat profil mutu pendidikan secara satuan pendidikan, mutu pendidikan daerah dan nasional.
Kedua, keterampilan Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) dalam menggunakan perangkat digital belum merata.
Bahkan ada GTK yang belum memiliki keterampilan digital dasar, sementara besar tuntutan bagi mereka untuk harus beradaptasi dan bertransformasi dengan pembelajaran digital saat ini.
Selain faktor individual seperti kurangnya upaya mengenal dunia digital, juga karena faktor sosial, di mana semangat belajar kolaboratif belum menjadi bagian dari iklim dan ekosistem satuan pendidikan.
Ketiga, tingkat kesejahteraan guru-guru (terutama guru Yayasan dan guru komite) belum cukup mendukung aktivitas pendidikan. Dengan gaji 800 ribu sd 1 juta (jauh di bawah Upah Minimum Propinsi, 1.975.000, tahun 2022), maka secara psiko sosio-ekonomi, mereka pasti terganggu dan mengalami ketidakseimbangan hidup.
“Membiaya kehidupan yang standar saja susah, apalagi membeli pulsa internet dan perangkat digital. Syukur kalau ada alokasi dari dana BOS dan BOSDA”, ungkapnya.
Dari perspektif politik pendidikan, mereka ini sangat tidak diuntungkan atau termarginalkan. Sementara pada pihak lain, mereka merupakan garda terdepan dalam membangun dan membentuk generasi Manggarai pada masa yang akan datang.
Untuk ketiga masalah ini, Doktor Lulusan UPI ini menyampaikan tawaran solusi melalui pendekatan asimetris dan diferensiatif.
Pendekatan asimetris dan diferensiatif meliputi, pertama, baik pemerintah pusat maupun daerah sebaiknya perhatikan proporsi pemerataan akses elektrifikasi dan jangkuan internet di beberapa wilayah. Berdasarkan analisis proporsi pemerataan, maka perlakuan atau intervensi terhadap sekolah-sekolah juga bisa berbeda-beda, sesuai dengan karateristik biotik (guru, siswa) dan abiotik (lingkungan topografis dan geografis).
Perlu ada perhatian intens dan berkelanjutan kepada sekolah-sekolah di pelosok, dengan melakukan koordinasi yang intensif, pendampingan dan pemberdayaan yang berkelanjutan.
Dinas pendidikan daerah sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan pendidikan pusat, mesti proaktif dan progresif dalam melakukan koordinasi, pendampingan dan pemberdayaan.
Bila perlu libatkan pemangku kepentingan di daerah seperti perguruan tinggi, LSM, dan komunitas-komunitas yang bergerak di dunia literasi digital.
Kedua, pembangunan infrastruktur sekolah yang memadai. Jangankan berbicara pemenuhan perangkat digital, insfrastruktur standar, seperti sarana pra sarana, gedung sekolah, ruang kelas, perpustakaan, WC, ruang guru dan kepala sekolah untuk sebagian besar sekolah-sekolah di Manggarai Raya, belum semuanya memenuhi standar.
Menganggarkan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) dengan memperhatikan karateristik riil sekolah-sekolah di pelosok merupakan bagian pendekatan asimetris dan diferensiatif.
Pembangunan sekolah-sekolah di wilayah kota juga diperhatikan, tetapi lebih fokus pada pembangunan dan perbaikan sarana pra sarana di sekolah di pelosok, sehingga proses pembelajaran bisa berjalan sesuai dengan harapan pemerintah dalam semangat ‘merdeka belajar, kurikulum merdeka’.
Ketiga, perlu perhatian pada peningkatan kesejahteraan yang berkeadilan bagi guru-guru Yayasan dan komite yang berada di sekolah-sekolah pelosok Manggarai Raya.
Kebijakan politik pendidikan harus asimetris dan diferensiatif, artinya, perhatikan secara serius kondisi riil kehidupan sosial ekonomi guru-guru. Amanat UU, di mana 20 persen APBD/N dialokasi untuk membiaya pendidikan, sebaiknya prioritas pertama dimanfaatkan demi peningkatkan kesejahteraan guru-guru ini. (Jivansi). ***
3 tahun yang lalu
3 tahun yang lalu