Menyambut dan Mewaspadai Teknologi Canggih, ChatGPT

Rabu, 18 Juni 2025 13:50 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

usig chat gpt.jpg
Seseorang membaca panduan penggunaan aplikasi Open AI: ChatGPT. ( Iryna Imago/techradar.com)

Oleh: Maxi Ali Perajaka*

AWAL pekan ini, terjadi insiden di sebuah ruang ujian di sebuah kampus di kawasan Jakarta Selatan. Waktu Ujian Akhir Semester (UAS) salah satu mata kuliah, sejumlah mahasiswa terdeteksi oleh dosennya bahwa mereka  telah melakukan ‘kecurangan’, menyontek dengan menggunakan aplikasi canggih ChatGPT’. Alhasil, mereka yang terlibat diwajibkan melakukan UAS ulang.

Apa Itu Chat GPT?

Chat GPT adalah model kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh OpenAI dan  diluncurkan pada November 2022. Teknologi ini mampu memproses dan menghasilkan teks dalam berbagai bentuk, termasuk artikel, jawaban pertanyaan, dan bahkan percakapan.

Oleh karena menawarkan berbagai kemudahan, ChatGPT dengan cepat meraih minat banyak pengguna. Tercatat, hanya dalam lima hari.ChatGPT sudah mencapai 1 juta pengguna 
Per Februari 2025, ChatGPT memiliki lebih dari 400 juta pengguna aktif mingguan. di seluruh dunia. Di AS saja, ada 67,7 juta orang menggunakan ChatGPT.

ChatGPT Plus memiliki sekitar 10 juta pelanggan berbayar. ChatGPT juga menguasai 62,5 persen pangsa pasar perangkat AI sehingga pendapatan bulanan OpenAI mencapai USD300 juta, dan OpenAI saat ini bernilai USD 157 miliar dan mengkaryakan  2.000 karyawan di seluruh dunia.

Makanya, tak mengherankan, kalau saat ini, ChatGPT menjadi situs web ke-8 yang paling banyak dikunjungi di dunia, melampaui banyak platform populer. 

Menurut data Semrush pada Maret 2025, ChatGPT.com dikunjungi sekitar 5,2 miliar kali setiap bulan; 601,5 juta di antaranya adalah pengunjung unik; ChatGPT.com memiliki rasio pentalan sebesar 38,70 persen; Setiap pengunjung melihat rata-rata 2,77 halaman per kunjungan; dan setiap pengguna menghabiskan rata-rata 8 menit dan 13 detik di situs ChatGPT.

Bagaimana tren penggunaan ChatGPT di Indonesia? Angka spesifik untuk pengguna ChatGPT di Indonesia per Mei 2025 tidak tersedia. 

Namun, diketahui bahwa Indonesia menyumbang sebagian besar pengguna aplikasi seluler ChatGPT global, sekitar 6 persen per April 2025. Lebih jauh lagi, Indonesia termasuk dalam 5 pasar ChatGPT teratas secara global.

Tren global dan nasional ini mengisyaratkan bahwa semua kita, terutama generasi muda yang berada di daerah pedesaan Flobamora, harus menyiapkan diri untuk ‘menyambut’ teknologi canggih ChatGPT. Itu menjadi prasyarat mutlak kalau generasi muda Flobamora mau berkompetesisi secara nasional apalagi global. 

Pada sisi lain, kesiapan untuk untuk menyambut ChatGPT perlu dibarengi dengan sikap waspada. Sebab, meskipun menawarkan kemudahan, Chat GPT tidak selalu dapat memberikan informasi yang akurat atau relevan untuk semua topik, terutama yang memerlukan analisis mendalam.
Salah satu bahaya penggunaan ChatGPT yang paling jelas adalah ketergantungan para mahasiswa pada teknologi. 

Mahasiswa yang terbiasa mencari jawaban instan dari ChatGPT bisa kehilangan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan riset yang sangat penting dalam dunia akademis.

Ketergantungan ini dapat membuat mahasiswa cenderung menghindari proses belajar yang sesungguhnya, seperti membaca literatur dan menganalisis sumber-sumber yang lebih valid.

Untuk menghindari bahaya ini, mahasiswa sebaiknya menggunakan Chat GPT hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai sumber utama dalam mencari informasi atau menyelesaikan tugas. Penting untuk tetap mempertahankan kebiasaan membaca buku dan jurnal ilmiah yang lebih terpercaya.

Chat GPT dalam dunia tulis menulis

Chat GPT, memang tidak dimanfaatkan di lingkungan kampus, tetapi semakin luas digunakan di dunia bisnis dan insutri, terutama dalam dunia tulis menulis, baik untuk menulis konten media sosial, menulis artikel untuk media online, bahkan untuk menulis buku.

Makanya, jangan heran, di media sosial, muncul sejumlah penulis yang mengklaim penulis profesional dan mampu menulis sebuah buku hanya  dalam tempo beberapa jam saja. Tak dapat diragukan mereka ini adalah pengguna ChatGPT.

Fenomena ini memberi petunjuk bahwa batas antara karya orisinal manusia dan hasil produksi mesin semakin kabur. 

Salah satu aspek yang hendak diangkat melalui tulisan ini adalah apabila AI seperti ChatGPT semakin berkontribusi dalam penciptaan karya tulis, artikel, termasuk buku, lalu bagaimana status orisinalitas gagasan serta hak cipta? 

Tulisan ini mencoba mengulas masalah-masalah yang muncul terkait orisinalitas ide, perlindungan hak cipta, serta tantangan dan peluang yang ditawarkan oleh AI dalam konteks penulisan buku.

1. Orisinalitas Gagasan dalam Dunia Literasi

Orisinalitas dalam menulis merujuk pada kemampuan seorang penulis untuk menghasilkan ide-ide yang baru, unik, dan tidak secara langsung meniru atau menjiplak karya yang telah ada. 

Dalam praktiknya, tidak ada gagasan yang benar-benar “murni orisinal” karena semua penulis secara sadar atau tidak membangun dari wacana yang telah ada sebelumnya. 

Namun, kreativitas dan cara seseorang menyampaikan ide itulah yang membuat sebuah karya dianggap orisinal.

Masuknya AI seperti ChatGPT ke dalam dunia tulis-menulis mempersulit parameter penilaian orisinalitas tersebut. AI dilatih dengan menggunakan miliaran kata dari internet, buku, artikel, dan berbagai sumber lainnya. 

Sehingga, ketika seseorang meminta bantuan AI untuk menulis, hasilnya adalah campuran dari pola, struktur, dan gaya yang telah dipelajari dari data tersebut.

Hal yang menjadi pertanyaan: Apakah hasil tulisan yang dihasilkan AI bisa dianggap orisinal, padahal “gagasan”-nya dibangun dari rangkuman dan prediksi kata berdasarkan data yang telah ada sebelumnya?

Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah sederhana. Meskipun teks yang dihasilkan tidak meniru secara langsung karya tertentu, AI tidak menciptakan dengan kesadaran atau tujuan. 

Maka, AI sebenarnya tidak “memiliki” ide; ia hanya menghasilkan ulang gagasan berdasarkan perintah pengguna. 

Dalam konteks ini, pengguna manusialah yang memiliki peran penting dalam menentukan sejauh mana teks itu memiliki nilai orisinal.

2. AI dan Hak Cipta: Siapa Pemiliknya?

Masalah kedua yang tak kalah penting adalah hak cipta. Hak cipta melindungi ekspresi ide, bukan ide itu sendiri. Jika seseorang menulis buku dengan bantuan ChatGPT, siapa yang memiliki hak cipta atas buku tersebut? Pengguna, pembuat model AI, atau tidak ada yang memiliki?

Di banyak yurisdiksi hukum, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, hanya karya yang diciptakan oleh manusia yang dapat dilindungi hak cipta. Karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh mesin atau AI tidak memenuhi syarat. 

Namun, jika manusia berperan secara signifikan—misalnya dalam memberikan arahan, mengedit, menyusun ulang, atau memformulasi struktur cerita—maka hasil akhir dapat dianggap sebagai karya manusia, dan hak cipta dapat melekat pada penulis manusianya.

Di Indonesia, UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta masih belum mengatur secara eksplisit tentang karya yang dibuat bersama AI. 

Namun, secara prinsip, perlindungan hak cipta melekat pada pencipta manusia. Artinya, jika pengguna AI memberikan kontribusi kreatif yang cukup besar terhadap hasil akhir, maka hak cipta bisa saja diakui kepadanya. 

Tetapi apabila hanya mengandalkan hasil mentah dari AI tanpa proses kreatif tambahan, maka kemungkinan besar karya tersebut tidak bisa diklaim sepenuhnya sebagai milik pribadi.

3. AI Sebagai Alat, Bukan Pencipta

Perlu ditegaskan bahwa AI seperti ChatGPT bukanlah penulis. Ia tidak memiliki kesadaran, niat, atau pemahaman terhadap teks yang dihasilkannya. AI hanyalah alat bantu. 

Sama seperti pena, komputer, atau software pengolah kata, AI hanya menjadi media bagi manusia untuk mengekspresikan ide.

Namun, perbedaannya terletak pada kapasitas AI untuk menghasilkan konten secara otomatis dan cepat. 

Di sinilah muncul perdebatan: Jika seseorang hanya memasukkan perintah sederhana seperti “tuliskan novel tentang cinta segitiga di era kolonial” dan langsung menerbitkan hasilnya tanpa banyak modifikasi, apakah ia benar-benar penulis dari karya itu?

Ini menimbulkan persoalan etis dan profesional, terutama di kalangan penerbit, penulis, dan akademisi. Penulis yang sesungguhnya menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk menulis bisa merasa dirugikan jika karya “instan” dari AI dianggap setara.

4. Etika Penggunaan AI dalam Penulisan Buku

Etika menjadi faktor penting dalam penggunaan AI. Tidak ada larangan legal bagi seseorang untuk menggunakan AI dalam membantu proses kreatif, selama ia transparan dan bertanggung jawab terhadap hasil akhirnya. Namun, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

• Transparansi: Sebaiknya penulis menjelaskan sejauh mana AI digunakan dalam proses penciptaan buku. Apakah hanya sebagai referensi, pembantu penyusunan struktur, atau sebagai penulis utama?

• Orisinalitas & Revisi: Jika hasil AI hanya digunakan sebagai draf kasar dan penulis mengolahnya lebih lanjut dengan gaya, nuansa, dan kedalaman pribadi, maka nilai orisinalitas tetap bisa diklaim.

• Plagiarisme Terselubung: Karena AI dilatih dari karya orang lain, ada risiko teks hasil AI menyerupai karya yang sudah ada. Maka, pengguna harus tetap melakukan pengecekan plagiarisme, terutama jika ingin mempublikasikan hasilnya.

5. Peluang: Demokratisasi Penulisan dan Kreativitas Baru

Terlepas dari tantangannya, AI juga membuka peluang luar biasa dalam dunia literasi:
• Membantu Penulis Pemula: Banyak orang yang memiliki ide namun kesulitan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dengan bantuan AI, mereka bisa lebih percaya diri dan produktif.

• Eksperimen Gaya dan Struktur: AI bisa menghasilkan berbagai versi cerita dengan pendekatan yang berbeda, sehingga menjadi laboratorium ide bagi penulis kreatif.

• Aksesibilitas dan Efisiensi: AI mempercepat proses drafting dan editing, memungkinkan lebih banyak karya yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat.

6. Risiko: Penurunan Kualitas dan Banjir Karya Instan

Di sisi lain, ada sejumlah risiko yang perlu diwaspadai:
• Penurunan Standar Kualitas: Jika terlalu banyak karya buku yang dihasilkan secara instan oleh AI tanpa kontrol kualitas, bisa terjadi inflasi konten yang membuat pembaca kesulitan membedakan mana karya bermutu dan mana yang generik.

• Disinsentif bagi Penulis Asli: Penulis yang mencurahkan energi dan waktu mungkin merasa tersaingi oleh orang yang hanya menyalin hasil dari AI.

• Kebingungan Hukum dan Pasar: Ketika banyak buku diterbitkan tanpa kejelasan siapa penulisnya atau dari mana idenya berasal, industri penerbitan bisa menghadapi krisis kepercayaan.

7. Peran Regulator dan Komunitas

Agar pemanfaatan AI tidak menjadi bumerang, diperlukan langkah-langkah strategis dari berbagai pihak:
• Regulasi Pemerintah: Negara perlu memperbarui undang-undang hak cipta dan perlindungan kekayaan intelektual agar relevan dengan era AI. Ini mencakup definisi pencipta, batas tanggung jawab, dan perlindungan terhadap karya manusia.

• Pedoman Etik dari Komunitas Penulis dan Penerbit: Asosiasi penulis dan penerbit bisa merumuskan kode etik tentang penggunaan AI, misalnya bagaimana mencantumkan peran AI dalam buku, atau kriteria minimum keterlibatan manusia dalam proses kreatif.

• Pendidikan Literasi Digital: Penulis, pelajar, dan masyarakat luas perlu diberi pemahaman tentang apa itu AI, batas-batas penggunaannya, dan bagaimana menggunakan teknologi secara etis dan produktif.

Akhir kata

Masalah orisinalitas gagasan, hak cipta, dan peran AI seperti ChatGPT dalam menulis buku merupakan topik yang kompleks dan terus berkembang. 

AI adalah alat yang kuat dan menjanjikan, tetapi penggunaannya memerlukan kesadaran, tanggung jawab, dan kejelasan etis. 

Selama AI digunakan sebagai pendukung kreativitas manusia, bukan pengganti sepenuhnya, maka teknologi ini bisa menjadi mitra yang luar biasa dalam memperkaya dunia literasi.

Namun jika tidak diatur dengan baik, kita bisa menghadapi krisis identitas kreatif, banjir karya artifisial, dan kerancuan hukum yang merugikan semua pihak. 

Di sinilah peran penulis, penerbit, akademisi, regulator, dan pembaca menjadi penting dalam menciptakan ekosistem literasi yang seimbang di era AI. *
 *Pemimpin redaksi Floresku.com. ***