pariwisata
Selasa, 24 Agustus 2021 11:26 WIB
Penulis:MAR
Editor:Redaksi
JAKARTA (Floresku.com) - Hari ini Kementerian Pariwisata memilih 50 Desa Wisata Terbaik di Indonesia. Ada dua dari propinsi Nusa Tenggara Timur yang masuk dalam daftar itu, yakni Desa Waerebo, Manggarai dan Desa Detusoko Barat, Kabupaten Ende. Keduanya berada di Pulau Flores.
Desa-desa tersebut bisa Anda kunjungi bila Anda melintasi Pulau Nusa Bunga ini dari Labuhan Bajo ke arah timur menuju Dana Tiga Warna, Kelimutu. Waerebo masih berdampingan dengan Labuhan Bajo, kendati untuk mencapainya membutukan waktu beberapa jam. Desa Detusoko Barat harus Anda lewati bila ingin mencapai Gunung Kelimutu dari Ende. Tak jauh dari situ ada Desa Wisata Waturaka.
Untuk memilik bayangan bagaimana mencapai tempat-tempat eksotis tersebut, mari baca kisah perjalanan seorang wisatawan dari Jakarta. Namanya Mardiana Sukardi yang sehari-hari bekerja sebagai dosen di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta.
Mardiana menulis sebagai berikut:
“Ini tulisan lanjutan saya, trip selama Overland Flores dengan start di Labuan Bajo, Waerebo, Ruteng, Aimere, Bajawa, Bena, Ende, dan Kelimutu. Sayang ah klo gak dishare.”
Selesai 3 hari trip Sailing Komodo, kami berenam lanjut Overland Flores. Hari keempat jam 3 pagi kami sudah siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Denge, yang masuk dalam Kabupaten Manggarai. Tujuan utama kita adalah Desa Waerebo, desa adat yang memiliki rumah khas kerucut yang dikenal dengan nama Mbaru Niang.
Perjalanan dari Labuan Bajo ke Desa Denge kurang lebih 6 jam dengan beberapa kali berhenti untuk foto, sarapan, atau mencari toilet. Jam 11 kita sampai di Desa Denge, makan siang di salah satu resort yang ada di tengah sawah. Setelah istirahat sejenak, kita lanjut ke tempat terakhir dapat dilalui mobil. Kami bersiap untuk melakukan trekking sejauh 9 KM, jarak dari Desa Denge ke Desa Waerebo. Setelah semua persiapan siap, beberapa barang kami titipan ke 2 orang porter yang sudah kami sewa.
Sebelum berangkat saya sudah sempat browsing mengenai rute trekking ini, tapi tak satupun yang menulis seperti apa medannya. Ternyata dari 9 KM, 8 KM-nya adalah tanjakan, tersisa 1 KM yang jalan landai menuju desa. Ada 3 pos yang kami lalui, POS 1 berjarak 4,5 KM dari Desa Denge. Ada 2 rute yang bisa dilewati, jalan lebar dengan bebatuan atau jalan setapak yang ternyata tidak terlalu menanjak (kami tahunya setelah menggunakan jalur itu ketika balik). Kami pilih jalur dengan jalan lebar dan berbatu.
Menurut informasi rencana akan dilakukan pengaspalan jalan sampai dengan POS 1 ini. Lumayan loh, separo perjalanan. Akan tetapi sepertinya masih lama, karena sempat ngobrol dengan salah satu mandornya kalau mereka kesulitan untuk mendatangkan pasir kuliatas yang bagus.
Akhirnya dengan beberapa kali berhenti, minum, meluruskan kaki, sampailah kami di POS 1 kurang lebih setelah berjalan 2 jam. Di POS 1 dilewati sungai dengan air jernih dan segar. Setelah istirahat cukup, cuci muka dan minum air sungai, mengisi botol air, kami pun melanjutkan perjalanan.
Menuju POS 2 kami bertemu dengan Pak Sabinus dan putrinya Yuyun, yang juga akan kembali ke Desa Waerobo. Mereka membawa beberapa barang, termasuk ayam dengan bulu putih untuk Upacara Penti. Soal Upacara Penti nanti akan saya bahas di satu tulisan khusus ya.
Jalur ke POS 2 dan 3 ini menyisakan jarak yang hanya bisa dilalui satu orang saja. Di beberapa tempat kami menemukan bungkus biskuit yang dibuang sembarangan. Nyebelin ya, apa sih susahnya buat dikantongin dulu, nanti sampai di tujuan baru dibuang. Akhirnya kami pungut bungkus tersebut dan kami simpan di tas, sampai di desa kami mencari tempat sampah untuk membuangnya. Selama perjalanan kami bertemu dengan sesama tamu yang akan turun kembali ke Desa Denge. Dan mereka hanya cukup memberikan 1 kata “cemunguutt…..” hihihi…, dan kami pun tahu artinya
Selain itu kami juga ketemu dan papasan dengan penduduk desa baik yang turun ataupun yang akan naik ke Desa Waerebo. Duhh…., lincah sekali mereka ya, kitanya sudah ngos2an mereka mah nyantai, walaupun beberapa kali juga terlihat istirahat.
Oh iya, anak-anak Desa Waerebo bersekolah di Desa Denge. Mereka akan tinggal di Denge, akhir pekan mereka akan kembali ke Waerebo. Jadi tiap minggu setidaknya mereka akan jalan kaki PP Denge-Waerebo sejauh 18 KM. Wahh hebat ya semangatnya. Sempat kami berkelakar coba ada gojek lumayan kan hihihi…
Finally, setelah 3,5 jam akhirnya kami ber 4 sampai juga di Desa Waerebo. Desa yang kami sebut sebagai “Negeri di Awan”, nyuplik judul lagunya mas Katon.
Desa Waerebo ini terletak di ketinggian 1200 Mdpl. Kami sempat berhenti untuk foto di jembatan bambu, sebagai penanda bahwa perjalanan ini sudah mendekati tujuan. Sampai di ujung desa kami mampir meluruskan kaki di Rumah Kasih Ibu, sambil menunggu rombongan berikutnya sampai. Di sini Pak Sabinus pun menawari kami untuk menunggu saja di rumahnya, sambil ngopi. Wah tawaran yang tidak boleh dilewatkan.
Setelah mengambil beberapa foto desa dari atas Rumah Kasih Ibu, kami pun mengikuti Pak Sabinus ke rumahnya. Sampai di rumah kami disuguhi kopi dan kue srabe bikinan Bu Sabinus. Yang lucunya air yang digunakan untuk bikin kopi adalah air teh tawar, bukan air putih panas. Tapi ternyata tetep aja sedap loh, ditambah kue srabe bikinan Bu Sabinus. Karena besok ada Upacara Penti, warga Desa Waerebo memang sedang mempersiapkan beberapa keperluan, termasuk makanan dan minuman untuk pesta besok pagi. Bu Sabinus tidak hanya menyediakan kopi dan kue, tetapi juga menawari kami makan. Karena sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menyambut dan memperlakukan tamu dengan sangat baik. Tapi kami menolaknya, rasanya kopi dan kue ini sudah sangat cukup menemani kami sambil menunggu teman rombongan berikutnya.
Setelah satu jam kami menunggu dan ngobrol-ngobrol dengan Pak Sabinus, istrinya dan bapaknya, rombongan teman kami pun datang. Setelah mengucapkan dan terima kasih atas penerimaannya, kami pun pamit. Pak Sabinus pun mengantar kami ke rumah utama. Di sana kami akan disambut dengan upacara sederhana, sebagai arti bahwa kami sudah diterima sebagai bagian dari warga Desa Waerebo. Setelah itu kami diantar ke penginapan khusus tamu yang posisinya lebih di atas, disana sudah ada beberapa tamu yang tiba sehari sebelumnya.
Penginapan yang disediakan di Desa Waerebo cukup representatif, tikar tebal dan selimut hangat. Air teh dan kopi yang diisi ulang setiap saat. Saatnya makan malam tiba, kami bergabung dengan beberapa tamu lain, dan bertukar info asal kota dan pengalaman seputar perjalanan ke Waerebo. Selama tinggal disini menunya nasi campur jagung, cah sawi yang ditanam sendiri oleh warga, lauknya ayam. Sambil makan sempat kita sedikit bercanda, daging ayamnya agak alot, maklum ayamnya naik turun gunung jadi berotot deh hihihi…
Ada 1 kamar mandi di sana, airnya dingiiinn…, dialirkan langsung dari gunung. Ada 1 kamar mandi terbuka bisa untuk cuci muka, atau berwudhu. Dapur ada di belakang rumah penginapan ini. Apabila kita datang bukan di perayaan Penti, bisa menginap di salah satu Mbaru Niang yang ada di bawah. Tapi karena dalam perayaan ini banyak yang datang, maka kami pun diinapkan di rumah yang dibangun khusus untuk tamu. Sore dan malam hari tidak banyak kegiatan yang kami lakukan disana. Selain mencoba untuk mengabadikan Desa Waerobo dari atas. Kadang-kadang apabila kabut datang, desa tidak nampak sama sekali. Persis seperti negeri di awan deh.
Pekerjaan penduduk Desa Waerebo adalah bertani kopi, jagung, markisa, dan beberapa lainnya. Kopinya enak banget. Ada beberapa pilihan, saya pun membeli jenis robusta. Kata teman yang alergi minum kopi pagi, katanya kopi Waerebo gak bikin perut melilit. Klo sehari-hari saya hanya ngopi pagi aja, di sini saya ngopi pagi dan sore, alhamdulillah sehat wal afiat. Klo buah markisa kita gak perlu beli, banyak warga yang menawarkan buah ini untuk dicicipi.
Selain bertani, bertenun juga menjadi kegiatan warga terutama ibu-ibu. Motifnya cantik, ada beberapa model seperti kain sarung, pasmina ato shawl. Di desa ini sudah ada semacam lembaga yang mulai melakukan pendampingan kepada warga untuk keberlangsungan ekonomi warga Desa Waerebo. Berbagai brosur wisata Waerebo dan desa sekitar pun tercetak dengan rapi. Beberapa jenis kopi pun sudah dikemas dengan baik. Cakep buat oleh-oleh dan souvenir.
Besok paginya, hari kelima trip, kami bangun pagi-pagi, karena tidak ingin ketinggalan sunrise yang muncul di Desa Waerebo. Kita juga sempat ngobrol-ngobrol dengan anak-anak warga desa yang sangat welcome dengan tamu yang datang. Suasana desa pagi hari sangat luar biasa indah, udara dingin berganti segar. Perlahan-lahan matahari pun muncul, sinarnya bagaikan kilauan yang jatuh dari langit.
Setelah sarapan dengan menu yang hampir mirip dari menu semalam plus tambahan kerupuk (kebayang bahagianya saya ketemu kerupuk hihihi…), kami pun bersiap turun untuk mengikuti Upacara Penti. Semua yang mengikuti upacara ini diwajibkan menggunakan baju yang sopan, celana/rok panjang atau sarung. Upacara Penti dimulai di rumah besar. Ketua memimpin semacam doa dan lagu-lagu yang tentunya saya gak tau deh artinya. Setelah selesai beberapa terbagi jadi 2 kelompok. Tiap-tiap kelompok menuju ke sumber mata air terdekat. Setelah membuka sesaji di altar, maka selanjutnya adalah acara potong ayam. Saya skip dong pastinya, wuiihh bisa kacau mood saya klo liat yang berdarah-darah, hiiii……….
Selesai acara ini, lanjutannya adalah sajian tari Caci. Tarian pecut yang dibawakan oleh penduduk desa Waerebo dan beberapa desa terdekat yang diundang di acara ini. Dari motif dan warna kainnya dapat dibedakan mana yang penduduk asli Waerebo dan tamu dari desa sekitar yang diundang. Tarian ini akan berlangsung sepanjang hari. Di sela-sela acara pun disuguhkan arak lokal. Saya mah gak nyoba lah, bisa langsung mengeluarkan api kyk naga gitu dah hahhahha…, ngayal.
Waktunya makan siang kami naik kembali ke penginapan, sesi foto pun sudah puas untuk segala pose dan background :D. Setelah itu kami pun siap-siap untuk turun kembali ke Desa Denge. Siap untuk menjalani 9 KM dengan jalur turunan. Porter yang menemani kami kemarin sudah turun pukul 8 pagi, karena sore mereka akan mengikuti acara Penti ini. Sehingga dari pagi kami sudah menyiapkan barang apa saja yang akan dibawa turun porter dan dititip ke mobil yang menunggu di Denge. Tipnya, bawa barang seminimal mungkin lah, cukup untuk menginap semalam disana.
Yak, akhirnya kami pun pamit, sempat mampir ke rumah Pak Sabinus, untuk membeli kopi yang sudah digiling oleh Bu Sabinus. Mungkin karena turun medannya tidak secapek waktu naik. Tetapi tetap hati-hati, kan sebelah kanannya jurang. Di jalan kami papasan dengan beberapa tamu yang baru akan naik, dan seperti biasa satu kata yang terucap adalah “cemunguuuttt…”. Kali ini kami lebih semangat, tanpa terasa POS 3 dan POS 2 terlewati. Kami istirahat agak lama di POS 1, seperti biasa untuk cuci muka dan minum air segar dari sungai yang mengalir di dekat POS 1.
Dari POS 1 kami turun menggunakan jalur yang berbeda dengan waktu naik. Jalurnya hanya cukup untuk 1 orang saja, tp lebih nyaman sih, walau ada beberapa tempat yang perlu meloncati pohon atau batu besar.
Akhirnya 3 jam kami tiba di Denge, sehingga total 18 KM kami tempuh dalam waktu 6,5 jam. Sambil menunggu teman yang belum sampai kami mampir ke penginapan Pak Blasius, untuk beli kopi dan beberapa teman pun pesan mie instan rebus.
Penginapan di sini biasanya digunakan bagi yang ingin naik ke Waerebo pagi hari. Per orang semalam 250 ribu, dengan 3 kali makan. Setelah teman kami sampai juga, kami pun bersiap untuk kembali ke mobil. Bersyukur banget selama trip ke Waerebo ini cuaca terang. Karena sebelum naik mendung sudah mengantung. Rasanya medan akan makin berat kalau hujan, karena pasti licin.
Keluar dari Denge, kami disambut sunset di sepanjang jalan dengan pemandangan sawah menguning yang siap di panen. Dari pak supir dengar-dengar akan dilakukan panen raya yang menghadirkan menteri pertanian. Walaupun kemarau panjang, persediaan airnya masih cukup, dilihat dari sawah yang tetap hijau di sepanjang perjalanan. Disini barulah kami mendapat sinyal walau masih belum stabil. Karena selama di Waerebo tidak ada sinyal sama sekali. Gadget hanya berfungsi untuk foto aja.
Perjalanan dari Denge dilanjutkan ke Ruteng yang mencapai hampir 6 jam. Wooww….lumayan bingit, badan udah capek, keringeten, ditemani oleh Yudika dan Ari Lasso yang sudah pasti capek karena mengulang lagunya puluhan kali hahhaha…., sampe apal deh. Untung mba Detri akhirnya mengeluarkan stok lagu di iphone-nya, terselamatkan kita semua.
Dalam perjalanan ke Ruteng kami nyaris tidak ketemu dengan mobil yang lain. Sekitar pukul 9 kami sampai Ruteng, mampir ke resto untuk makan malam. Karena sudah malam, kota Ruteng ini berasa sepi sekali, hampir sudah tidak ada kendaraan yang lewat. Ternyata kotanya ini dingin, jadi suguhan menu sup ikan yang hangat plus teh amnis anget cukup menawarkan rasa dingin.
Menuju Bena di Bajawa
Pagi hari keenam, wah rasanya tetap sayang klo melewatkan pagi dengan tidur. Keluar kamar untuk menikmati pemandangan sekitar penginapan yang ternyata di tepi sawah. Luar biasa ya, biasanya menghadapi riwehnya pagi di Jakarta, di sini disuguhi hamparan sawah yang hijau dan sejuk di mata. Setelah mandi, dannnn……….. baru kali ini saya bisa keramas pagi hari hahhaha… (penting banget), kami pun sarapan. Setelah itu kami bersiap untuk beberapa tempat yang akan kami kunjungi selanjutnya.
Danau Ranamese, adalah persinggahan kami yang pertama di hari keenam ini. Asli deh sy dengernya tuh danau wese, mana baunya juga rada-rada pesing sih, kayaknya tempat mojok buat pipis juga neh. Ternyata danau yang kliatan jauh ini nama aslinya Ranamese, dulunya adalah kawah yang berair (hasil googling ni), dan kita hanya menikmatinya dari atas saja, tidak sampai turun ke bawah.
Aimere, adalah persinggahan berikutnya. Tempat pembuatan arak yang terkenal di Flores. Di sini kami dapat melihat cara pembuatan arak. Dan di sini pun disediakan tester berbagai jenis arak yang dihasilkan. Dari mulai Level 1, 2, 3 sampe Premium. Wuiddihh aku pun cukup numpang ke toilet dan foto aja hahhahha…, gak nyobain ntar takut jadi naga, nyembur api :D.
Dari Aimere, kami pun lanjut ke Bajawa, makan siang sebelum ke Desa Bena. Menunya kali ini masakan Padang. Dari Bajawa ke Bena tidak jauh. Dan Desa Bena ini letaknya ada di pinggir jalan utamanya. Jadi gak perlu trekking atau jalan kaki jauh. Lumayan lah ya kaki istirahat sehari sebelum lanjut trekking lagi besoknya. Desa Bena ini mengingatkan kita dengan desanya Asterix.
Desa dengan batu-batu besar atau Menhir yang masih terawat. Beneran loh kayak di negara antah berantah deh. Kami berjalan sampai di ujung desa. Naik ke atas semacam gazebo yang sudah disiapkan. Dari atas, kami bisa melihat landscape desa keseluruhan. Di belakang gazebo ada beberapa batu besar yang kece buat foto. Awalnya sih saya ragu-ragu, karena kebetulan pake dress yang disebut daster oleh mba Dede hihihi…. kebayang aja bakal terbang-terbang terkena angin. Tapi karena sudah jauh, akhirnya teteplah saya berfoto yang diabadikan oleh para fotografer profesional yang ada di rombongan kami hahhaha….
Turun ke desa, kami mampir ke rumah Mama Tina. Mama Tina ini marketingnya oke bingit lah. Terjadi lah tawar menawar yang alot, kain pasmina dari warna alam pun dilepas dengan harga 250 ribu, dari harga 350 ribu yang ditawarkan. Untuk sarung 500 rb dari 600 ribu yang ditawarkan. Saya sih cukup menikmati cara Mama Tina menenun, plus suguhan kopinya. Gak beli kain, inget-inget tumpukan kain di rumah yang aduhai deh
Pantai Batu Biru
Selesai dari Desa Bena kami melanjutkan perjalanan ke Ende. Karena lokasi besok yang akan kami kunjungi adalah Danau Kelimutu. Sepanjang perjalanan dari Bena ke Ende, kami disuguhi pemandangan laut yang indah. Salah satunya kami berhenti di Blue Stone Beach. Batu-batunya cakep, warna biru telor asin dan bentuknya aneka rupa. Batunya asli dari alam. Cuma sayang sih, sudah banyak penambangan batu yang kemudian dikirim ke Bali dan Jakarta. So, rumah-rumah dan restoran mewah itu impor batunya dari sini. Hikkss…, kira-kira klo 5 tahun lagi kesini masih ada gak ya batunya.
Kondisi jalan yang kami lalui dari Ruteng ke Ende sudah bagus. Jalan Trans Flores ini pun sedang diperbaiki di beberapa tempat, sehingga ada beberapa lokasi yang perlu hati-hati. Kami juga melihat ada beberapa penambangan pasir yang lokasinya dengan jalan raya. Rada ngeri sih ya, klo tiba-tiba longgor gimana. Tetapi kami jarang sekali bertemu dengan angkutan umum. Transportasi umum disana biasanya adalah bus kecil. Di mana di tiap sisi bis bisa saja ditempelin berbagai barang, seperti motor, atau bahkan ada kambing yang diikat di bis. Kadang kita ketemu juga dengan truk yang dikasih bangku dan tutup. Bahkan turun dari Bena kami melihat angkot semacam mikrolet yang pintunya di belakang. Sayang ih gak sempat moto, keburu takjub hahha….
Selepas maghrib kami tiba di Ende. Kami mampir ke supermarket terdekat untuk beli cemilan dan cari ATM terdekat plus toilet. Karena setelah ini kami akan lanjut ke Desa Waratuka, desa terdekat sebelum naik ke danau Kelimutu. Sampai di Desa Waratuka, kami berpisah penginapan, karena kami menginap di rumah penduduk, iihh kok lupa ya nama bapaknya. Setelah makan, mandi, kami pun pamit untuk beristirahat tidur. Tuan rumah menawari kami kain tenun Ende sebagai selimut, karena udara di Waratuka yang dingin.
Pukul 4 pagi hari ketujuh kami sudah siap bangun, karena target menunggu sunrise di puncak Danau Kelimutu. Perjalanan dari Waratuka ke Kelimutu tidak jauh hanya sekitar 30 menit. Setelah parkir kami pun mulai meniti jalan menuju danau, yang sebagian besar sudah dalam bentuk tangga. Rapi dan lebih nyaman sih, tapiiiii…. tetap aja naik dan jauh.
Woooww hari terakhir pun tak lepas dari naik-naik ke puncak gunung deh. Sampai di tengah perjalanan sebagian wujud danau sudah kelihatan, jadi gak sabar untuk sampai atas. Ternyata 3 danau di Danau Kelimutu ini terpisah dalam 2 RT hihihi…, 2 danau berdekatan dan 1 nya lebih jauh lagi. Hari ini warna danaunya biru muda, hijau, dan hijau tua. Warna air di danau ini akan berubah-ubah, kadang juga berwarna merah.
Wah sayang waktu kesana warnanya standar air, coba kalo merah ya pasti keren. Kalau menurut kepercayaan masyarakat disana warna danau berhubungan dengan berkumpulnya jiwa-jiwa yang telah meninggal, hiiii seyem ya. Tapi kalau dari sisi ilmiah, warna ini dipengaruhi zat kimia dari unsur-unsur yang ada di dalamnya.
Sunrisenya cakep banget, cuma agak kesel banyak “cendol” alias orang yang lalu lalang. Kadang mager gak mau geser gantian foto. Alhasil harus pinter-pinter pasang posisi, begitu longgar langsung klik klik ambil beberapa pose. Di atas ada yang jualan kopi dan teh kalau ingin mengusir dingin. Beberapa motif kain Ende pun ditawarkan. Tiba-tiba kabut turun, sehingga view jadi kurang bagus buat foto. Sepertinya ni kabut gak ada tanda-tanda turun deh, akhirnya jam 8 kami pun turun.
Sambil mampir di beberapa spot foto sepanjang perjalanan. Sudah ada pagar yang membatasi area untuk alasan keamanan. Cuma ada yang keluar pagar demi foto fantastik, dan salah satunya saya. Hikks…, maaf ya rada nakal juga nie. Ketika sik foto-fota tiba-tiba ada serombongan dengan baju tentara berjalan ke arah kami. Duh udah deg-degan kena tegur karena keluar pagar. Eh ternyata mereka tertarik ikutan foto di lokasi kita wkkwkkw….
Sampai kembali di penginapan kami bebersih, sarapan dan siap-siap untuk kembali ke Ende. Setelah berpamitan dan mengisi buku tamu, kami kembali ke mobil. Ternyata warga disini sudah biasa menerima tamu yang keesokan harinya akan naik ke Danau Kelimutu. Btw disini masyarakatnya juga bercocok tanam. Karena suhu udaranya maka tanaman disini tumbuh dengan baik. Kami menemukan sawah, ladang sayuran, pohon buah termasuk alpukat pun tumbuh subur. Tapi disini banyak anjing, biar gak galak, tapi takut juga.
Setelah pamit dengan warga, jam 10 kami melanjutkan perjalanan ke Ende. Karena ada perbaikan jalan maka ada lokasi yang menggunakan sistem buka tutup. Kalau kemarin kita lewat jalan ini malam hari, sekarang siang hari, wahh kliatan batu-batu besar di atas bukit selama melewati jalan yang sedang dalam proses perbaikan ini. Serem boo liatnya, kebayang lagi kalo nglinding gimana. Tapi untungnya selamat dan lancar sampai Ende.
Sebelum diantar sampai bandara kami mampir makan siang ke rumah makan dengan menu masakan lokal. Kebanyakan ikan, tapi berhubungan tangan sudah mulai gatal-gatal entah alergi, saya memilih menu oseng kangkung dan bakwan jagung. Hahhaha standar banget ya, demi keamanan dan kenyaman karena perjalanan masih panjang. Setelah makan siang, akhirnya kami berenam diantar ke Bandara H. Hasan Aroeboesman. Nama bandaranya aja baru dengar sekarang, gak update banget ya. Setelah cipika cipiki sama Detri, lainnya mah salaman aja, kita masuk terminal yang awalnya kita kira seperti stasiun. Terminalnya memang kecil, jadi kita bisa lihat langsung lalu lalang pesawatnya.
Jam untuk bording pun tiba, pesawat dari Kupang datang, dan akan membawa kami terbang menuju Labuan Bajo dan kemudian terbang kembali ke Denpasar. Bye bye Ende…, sampai ketemu lagi.
Rela deh kulit sampe hitam begini demi menikmati keindahan tempat demi tempat yang terbentang sepanjang Pulau Flores.
Sesampainya di Labuhan Bajo, kami turun ke bandara. Cuma mba Nova dan mba Evi yang tetap tinggal di pesawat, karena kaki mba Nova ada sedikit cidera hasil dari foto loncat sewaktu sailing. Tapi ada untungnya, ternyata di Bandara Komodo ini ada toko souvenir, jadi deh berburu dl souvenir disini.
Dari Labuan Bajo pesawat terbang menuju Denpasar. Tapi belum selesai karena kami harus melanjutkan penerbangan ke Jakarta. Mata rasanya sudah berat, badan capek, sehingga satu setengah jam penerbangan Denpasar – Jakarta berasa lama banget.
Finally, safely landing di Jakarta. Kami pun berpisah, dan seperti biasa lanjut ngobrol di grup wa, sambil sharing foto, dan apa rencana trip berikutnya. (*)
BACA JUGA: https://floresku.com/read/desa-waturaka-ende-dan-desa-waerebo-manggarai-masuk-50-desa-wisata-terbaik