Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero
Selasa, 26 Oktober 2021 14:36 WIB
Penulis:redaksi
Editor:Redaksi
Pater Alex Beding SVD, Pastor paling senior di Flores dan Nusa Tenggara Timur (NTT) merayakan 70 tahun hidup dalam imamat.
Pater Alex beding SVD ditahbiskan di Nita pada 24 Oktober 1952. Berkenaan dengan ulang tahun imamat ke-70, Pater Alex Beding SVD pada 24 Oktober 2021, Ans Gregory da Iry di Bogor menyajikan bagi kita artikel berikut ini.
HARI MINGGU, 24 Oktober 2021 adalah Hari Minggu Misi dalam kalender Liturgi Gereja Katolik se Dunia. Karena itu dipersembahkan misa khusus untuk mendoakan kelangsungan dan keberhasilan upaya-upaya misioner Gereja dalam penyebaran kabar gembira lnjil ke seluruh dunia.
Di lingkungan Seminari Tinggi Ledalero, khususnya di biara Simeon, rumah para biarawan senior, hari itu juga dirayakan peringatan ulang tahun ke 70 dalam Imamat bagi Pater Alex Beding SVD, imam religius dan misionaris paling senior di Flores dan Nusa Tenggara Timur saat ini. Beliau saat ini berusia 97 tahun dan 13 Januari 2022 akan genap berusia 98 tahun.Alex Beding ditahbiskan sebagai imam di gereja paroki Nita pada 24 Oktober 1951 oleh Mgr. Antonius Thijssen SVD.
Baca juga: Wajah Orang Lain Menurut Levinas dan Tanggapan Terhadap Pandemi Covid-19
Karena situasi pandemi Covid 19 yang masih terjadi, maka perayaan ini dilangsungkan secara sederhana, dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat. Misa dipimpin oleh Provinsial SVD Ende, Pater Lukas Jua SVD, dihadiri kalangan terbatas, yakni anggota keluarga dari Lamalera, kampung halaman Alex Beding, dan komunitas Ledalero.
Saya menerima pesan mengenai perayaan ini lewat WA Sabtu pagi, dan Minggu pukul 05.00 WIB mengikuti misa secara virtual untuk ulang tahun Imamat tersebut. Meskipun agak kecewa karena gangguan-gangguan teknis, saya tetap bertahan sampai misa selesai.
Tokoh Gereja dan Masyarakat
Sudah banyak tulisan mengenai sang jubilaris Pater Alex Beding, yang dapat dibaca di internet atau buku-buku. Beliau adalah seorang tokoh Gereja dan tokoh masyarakat di Flores dan NTT, karena karya-karyanya di bidang publikasi dan media massa serta sebagai seorang pendidik/guru.
Namanya selalu dikaitkan dengan peran dan kontribusinya di bidang pendidikan Imam di Seminari St. Johanes Berchmans, Mataloko, Ngada – Flores, karena pernah menjadi rektor dan idirektur dari seminari tertua di Nusa Tenggara tersebut.
Dia juga adalah pastor pribumi, orang Flores pertama, yang memimpin lembaga pendidikan menengah calon-calon imam tersebut, setelah sebelumnya biasa dipegang oleh misionaris asing. Di sisi lain, Alex Beding juga adalah putera sulung Lembata yang menjadi imam, yang kemudian disusul puluhan orang lainnya yang menjadi imam bahkan ada juga yang menjadi uskup.
Baca juga:SENDAL SERIBU: Selasa, 23 Oktober 2021: 'Kecil yang Berkualitas!'
Setelah 10 tahun berkarya di Seminari Mataloko, 1960-1970, Alex Beding pindah ke Ende dan mendirikan dan memimpin penerbit Nusa Indah, disusul kemudian menerbitkan dan memimpin majalah dwimingguan DIAN (almarhum) serta majalah bulanan anak-anak KUNANG-KUNANG. Karya-karya inilah yang membuat pemerintah dan masyarakat Flores dan NTT mengapresiasinya sebagai tokoh pers dan publikasi.
Kenangan Pribadi
Dalam tulisan ini saya akan membatasi pada kenang-kenangan pribadi sebagai salah seorang siswanya di Seminari Mataloko, 1965-1970, dan kemudian menjadi stafnya di penerbit Nusa Indah dan majalah DIAN di Ende, antara penghujung 1971- penghujung 1974.
Pertengahan tahun 1965, ketika kami masuk kelas 1 Seminari Mataloko, Pater Alex adalah rektor dan direktur seminari. Kemudian beliau ke Eropa mengikuti kursus penyegaran (refreshing course) di Nemi, dekat Roma, dan mengunjungi berapa negara Eropa serta berziarah ke Tanah Suci, Israel. Setelah hampir satu tahun beliau kembali ke Mataloko dan menjadi Prefek (Kepala Asrama) SMA, sekaligus juga guru bahasa Indonesia.
Baca juga: Ahli Kebijakan Publik: Revisi PP 109/2012 Tidak Memenuhi Prinsip Good Governance
Selama berkarya di Mataloko, Pater Alex menghadirkan banyak karya-karya yang sangat berarti bagi perkembangan para anak didiknya. Antara lain di bidang seni budaya seperti sandiwara dan pertunjukan-pertunjukan, juga komunikasi dan ketrampilan dalam membawakan presentasi dan diskusi-diskusi, serta pekerjaan tangan (opus manuale) seperti membangun dan memelihara taman-taman, membuat rosasrio dsb.
Di bidang olahraga disediakan fasilitas-fasilitas yang memadai bagi para siswa. Dan yang juga yang tidak boleh dilupakan adalah membangun dan mengelola asrama SMA seminari.
Untuk saya pribadi, kenangan yang utama adalah mengenai majalah FLORETE, karena sejak naik ke kelas IV (kelas 1 SMA) seminari, saya ditugaskan oleh Pater Alex, menjadi anggota redaksi. Hal ini mendorong saya untuk belajar menulis dan mengetik 10 jari sehingga menjadi trampil dan cekatan.
Demikian juga membuat lay-out dan memproduksi majalah ini dalam bentuk stensilan. Tidak ada hal-hal yang istimewa dalam hubungan dengan pelajaran di kelas atau pekerjaan tangan serta olahraga dan rekreasi.
Baca juga: Soal Dugaan Caplok Lahan KSDA oleh Masyarakat Lemes, Pembeli: 'Saya Sudah Kasih DP'
Akan tetapi saya teringat akan suatu pengalaman pada waktu rekreasi malam. Biasanya pada waktu rekreasi saya ke bilik redaksi Florete untuk belajar mengetik 10 jari menggunakan mesin tik satu-satunya yang ada, dengan mengikuti pedoman dari buku Ketrampilan Mengetik 10 Jari.
Rupanya saking semangatnya belajar mengetik, saya tidak mendengar kalau pluit berbunyi tanda siswa pergi ke kapel untuk doa malam. Sambil terus mengetik dengan serius, tiba-tiba pintu ruangan terkuak, Pater Alex berdiri dan melihat ke arah saya sambil berkata, “Sudah mau doa malam sekarang”.
Saya terkejut, berhenti mengetik serta menjawab: “Maaf, Pater, saya tidak dengar bunyi pluit. Tapi ini saya stop..” Setelah Pater pergi, saya mematikan lampu, mengunci pintu dan berlari ke kapel untuk doa malam, walaupun agak terlambat.
Hal berikutnya adalah ketika saya tidak diterima untuk melanjutkan ke kelas 7 seminari pada pertenghan 1971. Saya bingung memikirkan mau cari kerja atau kuliah. Sebenarnya saya ingin kuliah, tetapi tidak mampu dari segi keuangan. Orang tua saya hanyalah petani di desa terpencil di Halehebing, dan masih harus membiayai adik saya Marsel di Seminari Lela. Tidak mungkin bisa membiayai saya kuliah di Jawa.
Baca juga:Konstantinopel Berubah Nama Menjadi Istanbul. Kapan dan Mengapa?
Waktu itu teman-teman siswa lain sudah pulang libur, tetapi saya minta izin tinggal dulu di seminari karena sebagai ketua redaksi Florete saya masih mempunyai tanggungan untuk menerbitkan edisi terbaru majalah tersebut. Pater Rektor Willy Lehman SVD mengizinkan saya tinggal seminggu atau 10 hari untuk menyelesaikan publikasi tersebut.
Suatu hari saya bertemu Pater Kurt Bard SVD, salah seorang guru seminari. Dia bertanya kepada saya mengenai rencana hidup saya selanjutnya, dan saya bilang bahwa saya ingin kuliah tapi tidak mempunyai dana, jadi saya akan mencari kerja dulu.
Pater Bard menceriterakan bahwa Pater Alex Beding di Ende memerlukan karyawan untuk bekerja di penerbit Nusa Indah. Jadi, kalau mau saya bisa melamar kerja di Nusa Indah. Dia juga bilang bahwa dia dengar sudah ada beberapa mantan seminarist Mataloko yang bekerja dengan Pater Alex. Dan para mantan ini, ternyata adalah Albert Pantaleon dan Aloy L. Madja, dua orang senior yang sudah keluar dari seminari dan bergabung dengan Pater Alex di Nusa Indah.
Baca juga:LKDP Sikka Dapat Opini WTP dari Kemenkeu RI Lima Kali Berturut-Turut
Maka dengan semangat saya menulis surat lamaran kerja dan akan menyerahkannya di Nusa Indah waktu saya mampir di Ende dalam perjalanan pulang ke Maumere. Dalam hati saya berharap dan berdoa semoga Pater Alex ada di Ende sehingga saya bisa bertemu dan menyerahkan langsung surat lamaran kerja tersebut.
Setelah menyelesaian penerbitan Florete, saya berangkat ke Ende dan bermalam di Biara Bruder Conradus (BBC). Keesokan paginya naik truk bersama para bruder ke Nusa Indah, dan saya beruntung karena Pater Alex ada dan saya bisa bertemu dan menyerahkan surat lamaran kerja.
Lamaran saya diterima dan ditanya oleh Pater kapan bisa mulai bekerja. Saya minta izin pulang kampung dulu selama 3 minggu untuk bertemu orang tua dan sanak saudara, dan untuk mengabarkan bahwa saya berhenti dari seminari dan akan mulai bekerja di Nusa Indah.
Hari itu juga saya bertemu dan berkenalan dengan staf Nusa Indah seperti Thom Wignyanta, E. P. Boleng dan dua senior ‘senasib’ dari Mataloko: Albert Pantaleon dan Aloy L. Madja. Kelak Albert Pantaleon menjadi pegawai Dinas Pertanian propinsi NTT di Kupang, sedang Aloy L. Madja merantau ke Jakarta kemudian masuk Departemen Luar Negeri RI dan kelak menjabat Duta Besar Indonesia untuk Republik Chili.
Setelah liburan, saya berangkat ke Ende untuk bekerja di Nusa Indah. Mula-mula saya menumpang di BBC, kemudian di rumah keluarga Bapak Benyamin Ladjar di Jl. Kelimutu.
Waktu itu para staf Nusa Indah tinggal di “Wisma Paupire”, sebuah rumah di komplek BBC dekat asrama Wirajaya. Di sini tinggal Thom Wignyanta, Pax Boleng dan Albert Pantaleon. Rumah itu juga sedang dibangun tambahan kamar untuk staf yakni saya dan El Moritz Parera yang baru dipanggil pulang dari kuliahnya di Jakarta untuk memperkuat tim Nusa Indah.
Baca juga: Yuk! Ikut 'Misa Live Berbahasa Latin' Bersama Padre Marco SVD, Linknya Ada di Sini!
Tiga tahun lebih saya bekerja di bawah Pater Alex Beding bersama rekan-rekan, baik di penerbitan buku-buku oleh Nusa Indah maupun kemudian pada Oktober 1973 pada majalah dwimingguan DIAN. Dalam periode itu saya menerjemahkan/menyadur dua buku berbahasa Inggris yaitu buku kecil berjudul “Pierre Teilhard de Chardin – Priest and Evolusionist” serta buku “Great Ideas from the Great Books” karya Mortimer J. Adler. Buku kedua ini dalam edisi Indonesia dibagi menjadi tiga seri dengan judul “Tanya Jawab Aneka Masalah I, II dan III”.
Pada tanggal 24 Oktober 1973, kami terbitkan majalah dwimingguan umum DIAN, dengan P. Alex Beding sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi, Ben Oleona sebagai Redaktur Pelaksana, Thom Wignyanta sebagai Sekretaris Redaksi. Kami para staf Nusa Indah merangkap jadi wartawan/reporter DIAN.
Pada waktu yang bersamaan juga terbit majalah bulanan anak-anak “KUNANG-KUNANG” yang redaksinya ditangani oleh Sr. Emmanuel Gunanto, OSU dari Santa Ursula, Ende.
Selama bekerja di Nusa Indah dan DIAN, dari akhir 1971 sampai akhir 1974, saya mendapat banyak pelajaran dan pengalaman yang sangat berarti, yang menjadi bekal bagi karya profesional saya selanjutnya. Dan ini semua selalu berkaitan dengan dunia tulis-menulis, perbukuan, jurnalistik dan public relations atau corporate communications. Dari Thom Wignyanta, saya belajar tentang menulis, menerjemahkan/menyadur buku; dari Ben Oleona saya belajar menjadi wartawan/reporter, dan baik untuk buku maupun majalah, profesor saya adalah Pater Alex Beding SVD.
Melapor ke Kapolri atas penganiayaan wartawan Chris Nau oleh polisi di Bajawa
Meskipun senang bekerja di Nusa Indah dan DIAN, tetapi cita-cita saya ingin kuliah di Jawa. Maka berangkatlah saya bersama El Moritz pada Desember 1974 ke Jakarta. Tujuan saya: mencari kerja dan kuliah. Ketika kami meminta izin untuk keluar dari pekerjaan, Pater Alex tidak berkeberatan. Tetapi belakangan baru saya tahu dari beliau sendiri, kalau sebenarnya beliau merasa berat melepas kami, terutama El Moritz, tetapi beliau melepas kami agar kami bisa menentukan nasib dan masa depan kami sendiri.
Lama tidak ada kontak, karena memang masa itu komunikasi masih sulit, hanya bisa dengan surat lewat pos dan tibanya juga lama. Pada suatu hari di pertengahan 1976, waktu saya bekerja pada surat kabar harian Suara Karya, saya menerima surat dari P. Alex Beding, yang meminta bantuan saya menyerahkan laporan kepada Kapolri mengenai insiden pemukulan/penganiayaan wartawan DIAN Christianus Nau oleh oknum-oknum polisi di kota Bajawa.
Baca juga:Jangan Panik Jika Terjerat Pinjol Ilegal! Begini Cara Mengatasinya
Sebagai wartawan di Departemen Pertahanan dan Keamanan/Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Hankam/ABRI), saya mempunyai akses ke Hankam dan Polri lewat Pusat Penerangan Hankam/ABRI.
Dengan rekomendasi dari Pusat Penerangan Hankam/ABRI saya bertemu dengan Kapolri, Jenderal Polisi Drs Widodo Budidarmo di rumah dinasnya di Kebayoran Baru. Saya menyerahkan surat dari P. Alex tersebut dan Kapolri mengatakan akan mempelajari dan menindaklanjuti kasus tersebut. Beberapa bulan kemudian saya mendapat informasi dari seorang wartawan DIAN bahwa oknum-oknum polisi di Bajawa yang terlibat penganiayaan Chris Nau telah diberi hukuman.
Sekitar 30 tahun berpisah di Ende pada akhir 1974, saya baru bertemu lagi dengan Pater Alex Beding pada Desember 2004 di Timika, Papua. Suatu hari saya menerima telepon dari Uskup Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar bahwa Pater Alex dan adiknya Suster Benedicta, CIJ sedang berada di Jayapura.
Mereka dalam “Tour of Papua” dan akan ke Timika, dan kalau kami ada di rumah, mereka akan menginap di rumah kami di Kuala Kencana, kota tambang Freeport. Saya dan istri sangat senang menerima mereka tinggal dengan kami selama 3 hari 2 malam sebelum mereka terbang ke Bali untuk pulang ke Flores. Sebelum ke Jayapura Pater dan Suster mengunjungi Sorong dan Manokwari dan menjadi tamu Uskup Sorong-Manokwari Mgr. Hilarion Datus Lega.
Buku-buku “Yang Terpanggil Yang Melayani” dan “Ite Missa Est”
Pada tahun 2013, para ex siswa Seminari Mataloko angkatan 1960-1970 yang tergabung dalam ALSEMAT (Alumni Seminari Mataloko) merencanakan penerbitan sebuah buku mengenai Pater Alex Beding yang akan berulang tahun ke 90 pada tanggal 13 Januari 2014.
Ide ini datang dari ALSEMAT Kupang dengan Georgius Soter Parera, almarhum, sebagai ketua dan Frans D.Sowo, sekretaris. Mereka mulai menghubungi para ALSEMAT 1960-1970, yang terpencar di seluruh Indonesia untuk membuat tulisan tentang pengalaman dengan Pater Alex ketika mereka sekolah di Seminari Mataloko.
Selain alumni, diperluas pula lingkupnya kepada mantan anak buah (karyawan) Pater Alex, kerabat bahkan mereka yang hidup dan karya profesionalnya terinspirasi dan termotivasi oleh hidup dan karya-karya Pater Alex Beding. Para penulis ini juga termasuk kaum awam (tidak tertahbis) dan biarawan (tertahbis).
Tercatat 32 orang kontributor tulisan untuk buku tersebut. Soter Parera di Kupang sebagai editor dan contact person dengan semua kontributor tulisan, dan saya di Bogor sebagai editor, dan Pit Puli di Ende penyunting.
Buku tersebut berjudul “Yang Terpanggil Yang Melayani – 90 Tahun Pater Alex Beding SVD – 13 Januari 2004” setebal 364 halaman, diterbitkan oleh Nusa Indah, Ende. Judul buku ini diambil dari penggal kutipan dari surat pribadi Pater Alex kepada saya pada awal Januari 2005, setelah beliau dan Suster Benedicta berkunjung ke Papua dan singgah di rumah kami. Istilah yang digunakan Pater adalah bahwa kita sebagai orang Katolik harus “Memainkan Peranan sebagai Orang Terpanggil dan Memberikan Pelayanan kepada Masyarakat dan Gereja”.
Dua tahun kemudian, 2016, Romo Johanes Bosco da Cunha, O.Carm, pakar Liturgi Gereja Katolik Indonesia, meninggal dunia. Atas inisiatif ALSEMAT, kami menulis dan menerbitkan sebuah kenangan buku berjudul “Ite Missa Est – Pergilah Misa Sudah Selesai”.
Kontributor tulisan berasal dari rekan-rekan imam almarhum di Ordo Kamerlit Indonesia, kakak adik dan kerabat, serta teman-teman ex Seminari Mataloko angkatan 1960-1970 waktu Romo Bosco sebagai sebagai siswa dan Pater Alex, rektor/direktur dan prefek SMA.
Penulisan dan penerbitan buku ini juga atas dorongan dari Pater Alex setelah mendapat berita tentang meninggalnya Romo Bosco dari Soter Parera. Dalam penulisan dan penerbitan buku setebal 2008 halaman ini, Soter sebagai koordinator proyek dan saya editor. Buku diterbitkan oleh penerbit Titus Brandsma – Maumere, Flores, 2016.
Menulis Biografi P. Frans Cornelissen SVD, 2019
Meskipun usianya sangat lanjut, ternyata Pater Alex masih aktif dan produktif dalam menulis. Pada usia 95 tahun di tahun 2018, beliau merampungkan penulisan buku biografi Pater Frans Cornelissen SVD, pendiri dan rektor/direktur Seminari Mataloko selama 20 tahun, 1926-1946. Lagi-lagi pak Soter dan saya terlibat aktif dalam proses penyelesaian buku tersebut: Soter sebagai koordinator proyek, saya editor.
Obsesi Pater Alex menulis biografi P. Cornelissen adalah karena dia sangat mengagumi dan mengidolakan P. Cornelissen sebagai guru dan mentornya. Pada tahun 1936-1943, remaja Alex Beding sekolah di Seminari Mataloko yang dipimpin oleh Pater Cornelissen, karena itu sangat mengenal gurunya tersebut. Dan sebagai tanda hormat dan penghargaannya kepada sang guru, Pater Alex menulis biografi P. Cornelissen, dengan judul “Pater Frans Cornelissen SVD – Pahlawan Pendidikan di Flores dan Nusa Tenggara Timur”.
Sebagai editor yang memeriksa dan menyempurnakan isi buku setebal 398 halaman itu, saya selalu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Pater Alex dan Soter Parera. Termasuk berkomunikasi dari Sydney dan Liverpool, NSW – Australia, waktu saya melakukan editing akhir saat berlibur bersama anak-menantu dan cucu yang tinggal di sana.
Buku tersebut terbit pada Agustus 2019 dan pada minggu pertama September tahun itu, kami membawa ke Maumere untuk digunakan pada acara peluncuran (launching) pada hari Kamis, 5 September 2019 bertepatan dengan peringatan 50 tahun Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero.
Baca juga: Rektor Unika St. Paulus Ruteng Jadi 'Profesor Bidang Ilmu Religi dan Budaya'
Pertemuan dengan Pater Alex berlangsung Sabtu, 7 September 2019 di kamarnya di biara Simeon bersama Soter Parera dan Marsel da Iry, adik saya. Pater Alex tampaknya sangat senang dan terhibur karena akhirnya buku tersebut dapat terbit setelah terkatung-katung beberapa bulan karena masalah non teknis tertentu.
Pada hari berikutnya, Minggu, 8 September, dengan wajah berseri-seri dan suara yang mantap pada usianya itu, P. Alex menjelaskan mengenai isi buku dan mengapa buku itu dia tulis.
Inilah saat acara peluncuran (launching) buku “Pater Frans Cornelissen SVD – Pahlawan Pendidikan di Flores dan Nusa Tenggara Timur”. Tamu undangan, antara lain Uskup Maumere, Mgr. Edwaldus M. Sedu, Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Superior General SVD P. Paulus Budi Kleden, Provinsial SVD Ende P. Lukas Jua, pimpinan STF serta pejabat pemerintah dan umat hadir dan menyaksikan acara tersebut.
Selamat ulang tahun ke 70 dalam Imamat, Pater Alex terkasih. Semoga Tuhan memberikan kesehatan dan usia yang panjang, agar bisa mencapai 100 Tahun atau bahkan lebih.
Bogor, 25 Oktober 2021.
(Ans Gregory da Iry: Penulis, editor dan kontributor tulisan untuk belasan buku, termasuk: Dari Papua Meneropong Indonesia, Grasindo, 2006; Hidup dan Kerja yang Membahagiakan, Grasindo, 2014; Anak Kolong di Kaki Gunung Slamet, Aksara Buana 2017; Setia Pada Sebungkus Nasi, Bajawa Press 2019; dan memoir-otobiografinya: Dari Desa sangat Terpencil di Flores Survive di Jakarta – Suatu catatan kenangan Jurnalistik, Bajawa Press, 2019. Dapat dihubungi lewat WA, messenger, telpon dan SMS di +62 813 9962 2840).
3 tahun yang lalu