flores
Minggu, 05 Februari 2023 10:51 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Oleh: Gregorius Ganggur – Guru SMAN 1 Satarmese
Dalam kehidupan sehari-hari, kita diperhadapkan dengan berbagai bentuk kerja sama dengan berbagai pihak, komunitas, organisasi, lembaga, dan masyarakat.
Kerja sama itu tentu dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan bersama. Agar tujuan tercapai maka dibutuhkan sebuah komunikasi.
Habermas dalam buku yang ditulis Frans Magnis Suseno Pijar-Pijar Filsafat (2005: 86) mengatakan komunikasi merupakan hubungan yang simetris atau timbal balik; komunikasi bukan hubungan kekuasaan melainkan hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak saling mangakui kebebasannya dan saling percaya.
Dalam membangun kerja sama yang baik maka diperlukan sebuah komunikasi yang baik pula. Komunikasi yang baik akan dapat menghantar kita pada pencapaian sebuah tujuan yang baik pula.
Namun demikian, dalam kenyataan tidak semua sesuai dengan yang diharapkan. Gagasan dan kenyataan seringkali menciptakan ruang atau jarak (gap).
Ruang atau jarak tersebut bisa disebabkan karena kekeliruan dalam memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator ataupun sebaliknya.
Kekeliruan atau kesalahan bisa terjadi oleh karena kesalahan menempatkan diri antara komunikator pun komunikan tanpa memahami hakekat bahwa komunikasi yang baik harus mengakui kebebasan dan saling percaya (trust) serta memahami secara menyeluruh setiap bahasa, simbol, diksi dan budaya bahasa yang digunakan.
Selain itu, memahami unsur-unsur komunikasi yang baik adalah hal penting yang perlu diperhatikan dalam membangun komunikasi yang baik.
Beberapa unsur komunikasi yang baik dimaksud yaitu; (1) Hubungan saling mempercayai dengan memberikan rasa aman dan nyaman dalam sebuah hubungan kerja; (2) Menggunakan data yang benar sehingga tidak terjadi subyektivitas dalam memahami komunikasi yang dibangun; (3) Menuntun rekan bicara kita untuk mampu berefleksi atas diri mereka dan mengenali pesan atau isu yang dibahas dengan benar; dan (4) Komitmen dari sebuah komunikasi sebagai wujud aksi atas komunikasi yang dibangun (Modul 2: Guru Penggerak).
Memahami unsur-unsur membangun komunikasi yang baik tidak serta merta dapat diterima dan diterapkan manakala gaya komunikasi yang digunakan cendrung submisif dan agresif.
Memahami unsur-unsur komunikasi yang memberdayakan pada pribadi yang submisif pun agresif tentu tidak akan memberikan kebermaknaan dari sebuah komunikasi yang memberdayakan dalam sebuah relasi hubungan kerja.
Satu-satunya tipe atau gaya komunikasi yang baik dalam menjalin hubungan kerja sama dalam komunitas, organisasi atau lembaga adalah komunikasi asertif.
Beberapa pekan lalu, dalam sebuah ruang publik maya, penulis mengalami bagaimana sebuah komunikasi yang dibangun dalam sebuah hubungan relasi kerja tampak mengalami pergeseran pemahaman antara pengirim pesan dan penerima pesan.
Kegagalan dalam memahami pesan bukan semata karena pesan yang terkirim memiliki makna ganda, atau kekurangan pengetahuan terkait unsur-unsur dalam membangun komunikasi yang baik.
Kemajuan teknologi dimana komunikasi maya lebih dominan dalam membangun sebuah kerja sama cukup memberikan dampak kurang menyenangkan ketika pihak yang terlibat dalam sebuah kerja sama tidak memiliki karakter komunikasi yang ‘asertif’.
Komunikasi asertif dalam relasi hubungan kerja sama akan sangat baik dan memberikan dampak positif karena ada pencapaian bersama dan kesepakatan dalam pemahaman dari kedua belah pihak.
Komunikasi asertif tentu tidak akan tumbuh pada lingkungan atau situasi ketimpangan. Situasi ketimpangan justru akan mengkerdilkan cara berpikir dan membunuh karakter orang lain yang pada akhirnya hanya akan melahirkan pribadi yang pasif dan cendrung memilih diam dan pada titik tertentu hanya akan melahirkan pribadi yang agresif dimana dirinya akan merasa bahwa sebuah komunikasi dalam hubungan kerja sama merupakan sebuah kompetisi yang perlu diperdebatkan dan menghasilkan kampiun.
Pribadi yang terlahir dari ingkungan seperti itu selalu menyudutkan dan menyalahkan orang lain. Dia selalu melihat kekurangan baik simbol, diksi, atau budaya bahasa tanpa melihat substansi komunikasi yang sedang dibangun.
Komunikasi asertif mengedepankan nilai-nilai kebajikan yang melekat pada diri seseorang. Komunikasi asertif hanya tumbuh pada lingkungan yang selalu mengedepankan komunikasi yang baik menuju tujuan bersama.
Komunikasi asertif senantiasa menedepankan nilai rasa dalam berkomunikasi tanpa menyudutkan atau menyalahkan pesan atau pengirim pesan. Nilai rasa hanya akan tumbuh dari sebuah kerendahan hati dalam membangun komunikasi.
Mengutip pernyataan tokoh pendidikan Paulo Freire (1921-1997) “Dialog tidak dapat terjadi tanpa kerendahan hati”.
Kerendahan hati adalah nilai kebajikan universal seseorang yang tentunya tidak membuat dirinya menjadi pribadi yang ‘Power Syndrome’.
Kerendahan hati tanpa memiliki rasa sebagai penguasa adalah pribadi yang mampu membangun kerja sama yang baik menuju tujuan bersama yang baik pula.***
Catatan: Tulisan ini tidak mewakili cara pandang lembaga dimana penulis berkarya.
11 hari yang lalu
12 hari yang lalu