Pilkada 2024 dan ‘Kecap Nomor 1’ di Media Sosial

Minggu, 06 Oktober 2024 15:43 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

piklada2.jpg
Ilustrai: Kartun 'Kecap nomor 1' (Istimewa/dimodifikasi)

Oleh: Maxi Ali Perajaka*

JELANG Pilkada serentak pada 27 November 2024 mendatang, dunia maya ‘disesaki’ oleh aneka unggahan dan tayangan seputar figur yang hendak berkontenstasi.

‘Kecap nomor 1’ di media sosial

Semua figur yang telah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum Daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) menampilkan diri  atau ‘ditampilkan oleh partai pengusung dan massa pendukungnya’ sebagai ‘figur terbaik’. Semuanya menjadi seperti ‘kecap nomor 1’.

Pertanyaannya, figur manakah yang ‘benar-benar adalah terbaik’?  Atau ‘kecap’ manakah yang benar-benar ‘nomor 1’ cita rasanya?

Jawabannya, tentu  saja,  sangat subyektif, tergantung ‘lidah masing-masing individu’, ‘lidah partai’ dan ‘lidah massa pendukung’.

Itu sebabnya, dalam banyak unggahan di media sosial, sangat sulit ditemukan ‘alasan rasional’ mengapa partai atau kelompok tertentu mendukung ‘figur’ tertentu.

Mengapa? Ya, karena ‘kriteria’ ada pada ‘lidah’ (rasa), bukan pada ‘akal budi’ atau pertimbangan rasional.

Yang menggelikan, apabila ada pihak yang mencoba mengemukakan fakta dan data statistik terkait figur tertentu, maka hal itu akan ditanggapi sebagai upaya ‘pembohongan publik’.

Hemat saya, reaksi seperti itu wajar-wajar saja. Karena toh ‘lidah’ memang tidak diciptakan untuk mendeteksi dan menilai fakta atau data, tapi untuk menyatakan ‘perasaan suka atau tidak suka’.

Terseret arus ‘lidah’

Entah disadari atau tidak, mendekati hari Pilkada, para kandidat pemimpin daerah dan tim suksesnya mulai terseret  arus ‘lidah’.

Makin ke sana, mereka tampaknya makin gencar menyiapkan gaya dan materi kampanye yang cenderung memuaskan ‘cita rasa’, bukan lagi ‘pertimbangan akal’.

Boleh percaya, boleh juga tidak! Tapi, coba tengok, konten-konten media sosial (Facebook, TikTok, Instagram, Youtube, WhatsApp Group, dll) perihal kandidat pemimpin daerah kita dalam minggu-minggu belakangan ini.

Narasi tentang kandidat dibuat dalam bahasa yang elok, tak jarang dibumbui video yang menampilkan tari-tarian   dan lagu-lagu pop daerah yang gegap gempita dan membakar semangat.  

Terkesan, ‘demokrasi’ memang sedang semarak-semaraknya. Lebih semarak dari yang di Yunani, negeri asalya.

Atau lebih ‘wah’ dari yang di Amerika Serikat, negeri yang sudah ‘lebih dewasa’ berdemokrasi. Negeri yang juga menjadi asal-muasal semua platform media sosial yang kita pakai selama ini, termasuk jelang Pilkada 2024.

Namun, kesan seperti itu akan buyar dengan sendirinya apabila kita mencermati berbagai tayangan terkait Pilkada di media sosial kita.

Di sana akan tampak bahwa  hampir setiap unggahan tentang‘figur calon kepala daerah tertentu, itu  akan direspon dengan cara yang tidak elegan, bahkan  ‘kasar’ oleh pendukung figur yang lain. 

Tak jarang komentar yang disampaikan bersifat sangat negatif,  bernada menghina, melecehkan atau pun memaki dengan bahasa lokal yang sudah tak lazim dipakai karena dipandang kurang beradab.

Tentu saja, fenomena   ini bisa berbahaya bagi demokrasi yang baru smulai bertumbuh di bumi Nusantara dan di daerah kita NTT. 

Betapa tidak, berbagai ungahan dan sanggahan di media sosial akan menggiring  para pemilih untuk mengambil keputusan di bilik suara berdasarkan ‘rasa suka’ atas ‘kecap nomor 1’.

Mereka tidak mungkin lagi memilih berdasarkan pertimbangan akal budi bahwa figur tertentu  memiliki komitmen dan komptensi untuk memimpin daerahnya.

Mereka juga akan mengabaikan figur tertentu yang memiliki visi, misi dan program yang membawa daerah menuju keadaan yang lebih baik.

Biasanya, siapa pun yang mencoba menyentil soal pertimbangan memilih figur pemimpin daerah,  akan dihadang dengan kalimat klise berikut: ‘Ah, kamu tahu apa-apa? Sekarang rakyat sudah pintar. Rakyat sudah punya pertimbangan sendiri. Rakyat kenal baik dengan figur yang merekadukung. Pokoknya, rakyat tidak mau lagi ditipu’.

Tetapi apabila diuber lebih jauh dengan pertanyaan: Bagaimana rakyat atau  ‘para pemilih’ mengaku diri ‘sudah pintar’ dan ‘telah mengenal baik’, kalau para calon pemimpin  hanya memperkenalkan diri melalui media sosial sebagai ‘kecap nomor 1’ ? 

Bagaimana mungkin rakyat pemilih begitu percaya diri ‘telah mengenal baik’, padahal  figur calon pemimpin itu baru saja ‘blusukan’ ke kampung-kampung pada masa kampanye?

Respon selanjutnya,  dapat duduga: Ngambek, atau berbalik menuding: ‘kamu iri hati’!

Perusahaan media sosial kewalahan

Pemanfaatan media sosial yang semakin massif untuk urusan Pilkada 2024 ini, tentu saja merupakan isyarat kemajuan berteknologi dalam masyarakat NTT 

Paling tidak, masyarakat  kita merasa sudah mulai menguasai teknologi informasi dan informatika (TIK), internet dan perangkat digital.

Namun, ramainya komentar bernuasa negatif seperti mengumpat, menuduh, melecehkan dan memaki-maki di media sosial  adalah juga  isyarat bahwa kita memang masih berada dalam kondisi ‘terbelakang’ dalam hal berliterasi digital.

Dalam sebuah laporan yang dirilis tahun 2019 lalu, Unesco (Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB) mengatakan ‘‘kesenjangan digital’ adalah wujud keterbelakangan era digital yang menjadi akar berbagai masalah sosial serius di semua negara berkembang.

Kesenjangan digital dapat menyebabkan meningkatnya stratifikasi sosial, segregasi, dan kesenjanganekonomi yang semakin lebar.

Warga yang tidak memiliki keterampilan literasi digital dapat kehilangan kesempatan dan tanggung jawab sebagai warga digital.

Kurangnya literasi digital membuat warga  tidak menyadari implikasi etika, hukum, dan sosial dari tindakan daring mereka.

Literasi digital yang rendah membuat warga  tidak tahu cara melindungi privasi, keamanan, dan identitas mereka secara daring.

Literasi digital yang rendah juga berdampak negatif pada pengembangan diri. Seseorang tak bisa mengakses informasi dan pengetahuan yang berguna, tetapi sebaliknya  mudah terpapar konten pornografi. 

Unesco mengakui bahwa ‘literasi digital’  telah menjadi ‘kesulitan’ perusahaan global pengelola media-media sosial yang berada di Amerika Serikat.

Perusahaan-perusahaan global itu mengalami kesulitan bagaimana mengatur media sosial, tak terkecuali selama selama pemilihan umum di negara berkembang, agar tidak merusak tantann sosial dan politiknya.

Berdasarkan hukum Amerika Serikat, perusahan-perusahaan global itu harus mengelola media sosial sambil menghormati prinsip dan nilai hak asasi manusia. 

Tetapi, mereka tak dapat menjalankan fungsi itu secara optimal karena tak dapat mendeteksi konten media sosial di berbagai negara berkembang, karena menggunakan bahasa lokal yang kompleks dan tidak dikenal.

Di sisi lain, masyarakat pengguna media sosial di berbagai negara, termasuk di Indonesia (NTT), belum cukup ‘terdidik’ untuk memanfaatkan media sosial secara bijaksana dan selektif.

Masyarakat kita juga termasuk dalam kelompok yang selalu ‘tertinggal’ untuk menguasai teknologi media sosial yang terus berubah dengan efek yang tak terduga, dan tak jarang bersifat negatif.

Kesulitan yang dihadapi perusahaan media sosial global di Amerika Serikat, tentu saja sangat merugikan kita, masyarakat pengguna yang hidup di negara berkembang.

Kita menjadi orang yang tak mendapat bantuan maksimal untuk memanfaatkan media sosial untuk kebaikan dan kemajuan. 

Dengan begitu media sosial menjadi ‘teknologi’ yang menipu atau meninabobokan. Artinya, dengan memanfaatkan media sosial, kita merasa diri seakan-akan ‘sudah setara’ dengan negara-maju. 

Padahal, oleh karena ‘kesenjangan digital’ yang begitu hebat, kita memetik hanya sedikit manfaatnya. 

Dengan kata lain, tanpa kita menyadari, kita sedang menggunakan media sosial untuk merusakkan karekter diri sendiri, sekaligus memporak-porandakan hubungan dan tantaran hidup sosial kita. 

Dalam konteks Pilkada, dengan media sosial kita merasa telah masuk ke alam ‘demokrasi yang semarak’. 

Padahal, yang terjadi sebetulnya  kita sedang terjerumus pada ‘alam demokrasi semu’, karena media sosial hanya menggiring kita untuk terpukau kepada figur pemimpin ‘kecap nomor 1’. 

Jdi, media sosial ‘menghibur dan meninabobokan’ kita, tetapi tidak membantu kita untuk bertumbuh menjadi lebih berdemokrasi dan  membuat pertimbangan rasional dalam  memilih siapa yang pantas menjadi pemimpin daerah kita sendiri. ***

*Maxi Ali Perajaka, pemimpin redaksi Floresku.com