Persaudaraan
Jumat, 30 April 2021 15:21 WIB
Penulis:redaksi
Oleh Gerald Bibang*
Ritual Sebungkos Kosong
Medio tahun 80-an, di Ledalero. Unit kami bersampingan. Ka’e (=kak) Yos di unit teologan (baru kembali dari TOP = Tahun Orientasi Pastoral), dan saya di kelas tiga. Dua tahun bersamanya di tempat persemaian biarawan imam SVD ini ternyata sebuah kemewahan tak terkira.
Syukur kepada Allah saya pernah mengenalnya di tempat ini, di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran dengan saling berbagi, sekecil apa pun yang dipunya.
Bersama teman kelasnya Niko Nong, kami bertiga sering menjalankan apa yang kami sebut 'ritual' setengah batang. Sebatang rokok dihisap berbagi, setengah-setengah. Jika tidak bertiga, berdua juga begitu. Tapi tentu tidak sekedar ritual setengah batang melainkan selalu disertai diskusi-diskusi humaniora, filosofis dan teologis.
Di sana-sini sembari 'ritual' inilah, frase-frase di atas tadi diucapkan, berulang-ulang dan konsisten. Tapi apa hubungannya dengan sebungkus rokok kosong?
Ini menyangkut 'style' ritual kami. Teman kelasnya Niko Nong punya gaya khas. Memberikan rokok dengan tarikan jemarinya lalu disodorkan ke tangan saya.
Ka’e ( kakak) Yos, lain. Selalu ada dua bungkus. Sebungkus punya dia, tentu isinya tidak pernah penuh. Lalu ketika menyodorkan rokok kepada saya, dia mengambil satu bungkus kosong, dimasukannya sebatang dari bungkusnya sendiri. Satu batang untuk satu bungkus utuh. Barulah dia menyerahkannya kepada saya. Yang tampak pada saya ialah sebungkus. Isinya, yang pasti tidak pernah sebungkus utuh.
Tentu dia melakukannya sambil ngobrol ngalur ngidul. Tapi ini yang tak terlupakan. Begitu hendak pamit, dia mengambil kembali bungkus kosong tadi dan membawanya pulang. Begitu terus dengan pola yang sama, berulang-ulang, konsisten dan tanpa ekspresi.
Saya yakin bungkusnya tidak pernah diganti meskipun batangannya silih berganti. Kadang djarum super, kadang kretek surya 16, kadang djitu, kadang gudang garam merah tanpa filter, macam-macam. Tapi bungkus Djarum Super itu, abadi. Tak berubah.
Tibalah suatu waktu, dia harus membuat skripsi doktorandus teologi. Suatu sore datang bawa beberapa buku tebal. Ketuk pintu, duduk dan dengan hak hik huk nafasnya, mulailah buka suara sambil pegang sebuah kertas HVS tulisan tangan, ternyata sebuah skema.
“Ade Geradus, kau buat sebaik-baiknya e, ini skemanya, ini bukunya, kau ator saja.” Dia mengambil bungkus kosong lalu dari bungkusnya dia ambil (untuk pertama kali), setengah bungkus batang djarum super, dituangkannya ke dalam satu bungkus kosong dan memberikannya kepada saya.
Dengan lembar HVS putih di tangan, mulailah dia menjelaskan resume skripsinya, seingat saya, tentang kemerdekaan menurut Paulus.
Wah, saya terheran-heran. Dia sangat menguasai materi dan masing-masing bab ditunjuknya dua buku referensi.
“Terus mau diapakan, ka’e Yos,” saya pura-pura nanya. “Aeh kau atur saja, buat sebaik-baiknya e, kalo mau ambil buku lain, terserah, pokoknya saya terima beres.” Untuk pertama kalinya, sore itu, kami diskusi cukup lama, karena dia seperti mensimulasikan ujian skripsinya di depan saya.
“Ka’e Yos, belum jadi kan ini barang” kata saya. “Aeh sengaja ka supaya kau bisa bayangkan saya nanti pertahankan ini barang.”
Singkat cerita, bahan rampung dalam dua minggu. Selama minggu-minggu itu, ritual bungkus kosong tetap berjalan, kadang isinya setengah, lebih banyak, paling-paling tiga batang. Tapi yang saya lihat, bungkusnya dia lebih banyak kosongnya, berarti dia mengurangkan jatah dirinya demi memberikan lebih untuk saya.
Alhasil, dia sukses mempertahankan skripsinya dengan sangat baik. Memang dalam simulasi sebelumnya, kami peragakan dengan menempatkan Niko Nong sebagai penguji utama.
Aduh, di luar dugaan, Niko Nong 'ngerjain' Yos tidak tanggung-tanggung:
“Kau ini, sudah tua begini, ketik-ketik salah, banyak sekali, penulisan kepustakaan kacau balau.”
"Aeh Niko, kau jangan uji begitu ka,” keluh Yos. Hahahahaha, kami serentak tertawa dan simulasi bubar.
Begitu terukirnya ‘ritual” sebungkus kosong dan kasih sayang yang menyertainya sampai-sampai setelah puluhan tahun berkelana di dunia pasca Bukit Ledalero, saya menyeletuk sendiri ritual itu ketika sedang bersunyi dan menyelami misteri keindahan kehidupan. Saya adik tingkatnya tiga tahun tetapi kasih persaudaran kami hirupi dengan enteng dan indah.
Dukaku mendalam menghantarmu ke surga, ka’e Yos. Teriring air mata, saya berjanji untuk selalu membathinkan sebungkus kosong-mu, mohon izin sekiranya diberikan kekuatan kepadaku untuk membuktikan puisi kehidupanmu itu adalah sebenar-benarnya keindahan sejati.
Nikmat Sebungkus Kosong
Kepergianmu di usia tidak terlalu tua ini, memberikan signal kencang kepadaku, dan mungkin kepada adik-adikmu dalam Serikat Sabda Allah (SVD) atau siapa saja, bahwa hidup ini memang menjadi tua dan redup tapi saling berbagi adalah kewajiban pemanusiaan.
Otakmu encer, skripsi telah engkau pertahankan dengan hampir sempurna tapi sebungkus kosongmu itu, berkata: “ ade geradus, kalau kau berpikir, jangan berwah-wah. Berpikirlah efisien. Janganlah menghabiskan kau punya tenaga dan waktu untuk kesementaraan, melainkan untuk keabadian. Janganlah pula kau tumpahkan profesionalismemu untuk menggapai uang, harta, rumah besar, nama besar, kekuasaan besar, yang toh tidak akan menyertaimu selama-lamanya. Kau masih ingat kan istilah kesayangan saya: buat saja sebaik-baiknya!”
Dengan signal ini, merasa nikmat mendapatkan redefinisi. Lagi-lagi, sebungkos kosongmu, berkata: “rangkul-lah sebanyak mungkin orang sebagai saudara dan saudari dengan menjadi sebungkus kosong sehingga membiarkan orang lain mengisinya dan engkau pun berbuat begitu kepadanya“
Imamatmu telah meramu kerapuhan ragamu menjadi sebungkus kosong yang indah. Sedangkan siapakah kami? Hanyalah bungkus-bungkus kosong tengik-lah kami-kami ini, Pater Yos..
Teriring kasih sayang bersimbah duka, aku mengiringi kepergianmu dengan membathinkan sekali lagi doaku di awal tadi:
kami hanyalah bungkus-bungkus kosong berserakan
batang-batang rokoknya entah ke mana…
pasti berceceran tak karu-karuan di ruang hampa udara
tapi adalah SABDA yang menentukan nilai batangan-batangan itu
untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan dalam lumeran waktu
**
Sampai jumpa di surga. Jkt, April '21 *
*Gerald Bibang, alumnus STFK Ledalero - Maumere, Flores, tinggal di Jakarta.
5 bulan yang lalu