Gaji
Kamis, 18 September 2025 09:48 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Steph Tupeng Witin*
RAJA Belanda, Willem-Alexander dalam pidato di Staten Generaal atau parlemen Belanda, Selasa (16/9/2025) menegur anggota parlemen Belanda dengan sangat keras.
Teguran raja ini sangat memukul nurani anggota parlemen. Tidak lazim bagi ratu atau raja Belanda berkomentar soal politik dan perilaku parlemen. Kehormatan parlemen sesungguhnya terletak pada perjuangan untuk memuliakan kehidupan rakyat.
Saat duduk di ruang sidang, pikiran dan perasaan anggota parlemen itu terarah kepada rakyat. Integritas dan kehormatan teruji dalam praktik hidup sederhana dan tidak memanfaatkan jabatan sebagai privilese untuk melukai hati rakyat.
Maka kalau sampai raja atau ratu Belanda berkomentar bahkan menegur anggota parlemen secara terbuka melalui sebuah pidato publik di hadapan parlemen, itu bukti kuat bahwa para politisi di parlemen sudah “keterlaluan” perilakunya terhadap rakyat.
Raja Willem-Alexander mengajak parlemen Belanda untuk lebih peka dan kritis memahami persoalan dan kesulitan rakyat yang harus segera dijawab para politisi.
Sementara anggota parlemen lebih sibuk berdebat dan berebut kekuasaan. Rakyat yang sedang susah hidupnya membutuhkan wakil yang tidak berpesta pora dan pamer hidup mewah di tengah hamparan derita dan air mata.
Rakyat butuh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tiap hari, lingkungan yang aman, rumah bagi rakyat yang aman untuk anak-anak. Bagi generasi muda, memiliki tempat tinggal penting demi menjamin kemandirian (Kompas 18/9/2-25).
Perilaku tidak terpuji anggota parlemen atau anggota DPRD tidak hanya menjadi konsumsi publik Indonesia. Tapi kita tidak membaca rakyat Belanda yang marah kehilangan kewarasan menjarah rumah anggota parlemen.
Rakyat Belanda sangat maju dalam pendidikan karakter, moral dan etika sosial. Orang tahu membedakan ruang privat dan ranah publik. Perdebatan mesti berlangsung di ruang publik sebagai bagian dari demokrasi. Ruang perbedaan mesti dibuka untuk mencapai kompromi demi kepentingan rakyat.
Kita juga tidak membaca bahwa ada anggota DPRD atau parlemen di Belanda yang berteriak-teriak di lorong-lorong gedung parlemen. Mungkin saja di negara kita perlu orang-oang jenis ini untuk membuka kesadaran sesamanya di parlemen dan memantik simpati parlemen jalanan.
Mungkin juga agar viral di media sosial karena ditonton konstituennya. Tidak salah. Boleh jadi anggota jenis ini sudah kalap karena kehilangan pengaruh di kalangan sesama anggota parlemen.
Seorang politisi mesti bertindak dengan wawasan jauh ke depan. Politisi yang rasional menjadikan politik sebagai seni mengubah segala kemungkinan, bahkan dalam ruang sekelam apa pun, untuk membangun kesepahaman demi rakyat.
Raja Belanda, Willem-Alexander sadari betul bahwa kunci untuk perubahan dan kemajuan negeri demokrasi sekelas Belanda itu ada di parlemen. Potret kualitas hidup rakyat itu terdokumentasi dalam perilaku, pola hidup dan tutur kata anggota parlemen.
Belakangan ini wakil rakyat kita, dari pusat hingga ke kabupaten, jadi sorotan rakyat. Selama ini rakyat memendam kegelisahan karena ada jurang sangat dalam antara hidup rakyat miskin versus keangkuhan wakilnya yang suka pamer kedangkalan.
Mungkin juga peringatan bagi rakyat agar tidak memiliki wakil hanya karena viral dan laku dalam “subscribe.”
Bandang media sosial telah membuat banyak orang teralienasi dari kedalaman hidup. Orang bisa jadi gila kalau tidak bisa tunjukkan kepada orang lain apa yang sedang dia makan, minum, merk pakaian, jumlah perhiasan dan sebagainya.
Orang tidak pernah tunjukkan buku apa yang dia baca. Makan wajar saja kalau predikat “wakil” itu begitu jauh dari orang yang dia wakili: rakyat.
Orang tidak merasa malu memamerkan kekayaannya sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya ia rampas, kadang dengan cara yang kasar dan kotor, justru dari kemiskinan orang-orang yang ia wakili.
Mestinya, wakil rakyat hidup dengan gaji dan tunjangan yang sepadan dengan kondisi riil hidup rakyatnya. Bukan menuntut “lebih” bahkan dengan beringas memotong anggaran dinas lain dalam birokrasi demi memenuhi keinginan yang sedang dia agungkan dengan melucuti solidaritas kemanusiaan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesungguhnya sudah menggaransi “keinginan menggebu-gebu” dari wakil rakyat kita itu untuk “memanen” kemiskinan rakyat.
Pasal 17 ayat 1 berbunyi, “Besaran tunjangan perumahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 harus memperhatikan asas kepatutan, kewajaran, rasionalitas, standar harga setempat yang berlaku dan standar luas bangunan dan lahan rumah negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 17 ayat 2, “Besaran tunjangan transportasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 harus memperhatikan asas kepatutan, kewajaran, rasionalitas, standar harga setempat yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Kata-kata dalam dua ayat itu sebenarnya sudah benderang. Bagaimana wakil rakyat menerima haknya. Mungkin saja asas kepatutan, kewajaran dan rasionalitas itu sangat berat dipahami anggota dewan tapi “standar harga setempat yang berlaku” itu harusnya masuk dalam hati wakil rakyat.
Asas ini mestinya membangun simpati, empat dan sense of belonging (rasa memiliki) hidup rakyat.
Konteks
Mari kita lihat Kabupaten Lembata ini. Target pendapatan asli daerah (PAD) pada APBD Murni sebesar Rp48.605.493.176.517. Target PAD ini mengalami penurunan sebesar 23,87 persen atau sebesar Rp11.600.120.029 sehingga pada APBD Perubahan PAD tersisa hanya 37.005.373.488.
Kondisi PAD Kabupaten Lembata yang tidak seberapa pada setiap tahun harusnya diikuti juga dengan menurunnya tunjangan DPRD yang bersumber dari PAD.
Fakta yang terjadi malah DPRD berlomba dan berjuang menaikkan tunjangannya di tengah realitas yang timpang. Orang Lembata bilang, “Mereka kasih naik mereka punya tunjangan.”
Pimpinan dan anggota DPRD pasang standar tunjangan ikut suka dengan alasan intinya tunjangan DPRD Lembata tidak boleh melebihi tunjangan DPRD provinsi.
Padahal bunyi kedua ayat dalam pasal 17 di atas sangat jelas: “standar harga setempat yang berlaku.” Anggota dewan mungkin saja tidak tahu “standar harga setempat yang berlaku.” karena tidak pernah belanja kebutuhan hidup di pasar, kios atau toko-toko di seputaran kota dan kampung.
Kalau mau jujur, anggota DPRD bisa masuk penjara karena besaran tunjangan tidak sesuai standar harga setempat. Belum lagi ditambah perjalanan dinas keluar daerah dimana anggota saling berlomba meninggalkan Lembata.
Bahkan volume perjalanan dinas keluar daerah dari anggota DPRD lebih tinggi dari ketua DPRD. Ditambah alasan konsultasi ke kementerian tapi anggota yang jalan persis dari satu RT. Zaman sudah modern, apakah konsultasi bisa lewat telpon atau zoom atau mengundang narasumber?
Biaya bisa dipangkas karena biaya perjalanan dinas terbesar ada di DPRD. Bahkan kalau dalam pembahasan, anggaran DPRD kurang, bisa diperintahkan memangkas anggaran di OPD lain untuk menambah biaya DPRD.
Tidak Pantas
Peringatan terkait besaran tunjangan DPRD ini sudah disampaikan Biro Keuangan Provinsi NTT saat asistensi rancangan Perda APBD Lembata. Tunjangan DPRD Lembata terlalu besar dan tidak pantas karena PAD Lembata sangat kecil.
Bahkan, terkait tunjangan ini, Penjabat Bupati Mateos Tan sangat getol menurunkan tunjangan DPRD.
Mateos Tan bahkan sampai membuat peraturan bupati (Perbup) yang hingga detik ini tidak dijalankan karena protes dari DPRD. Tim Penilai, Apraisal yang turun melakukan uji petik lapangan merekomendasikan agar tunjangan DPRD harus diturunkan tapi tidak terjadi karena DPRD menolak penilaian itu.
Rekomendasi Apraisal berdasarkan uji petik lapangan terkait harga sewa rumah dan mobil per bulan di Kabupaten Lembata.
Apraisal juga membuat perbandingan dengan dua kabupaten tetangga yaitu Flores Timur dan Alor yang PAD-nya jauh lebih tinggi dari PAD Lembata tapi tunjangan DPRD di Flotim dan Alor justru lebih kecil dari DPRD Lembata. Fakta, bahkan tahun 2024 lalu, tunjangan DPRD Lembata menjadi temuan BPK.
Bupati Jadi Harapan
Kunci perdebatan dan protes publik terkait tunjangan DPRD Lembata sesungguhnya ada di tangan Bupati Lembata, Kanis Tuaq. Tunjangan DPRD Lembata itu dibayar oleh pemerintah karena payung hukum: Peraturan Bupati (Perbup). Rakyat butuh karakter kepemimpinan Bupati Kanis yang harus kuat dan teguh.
Fokus program kampanye untuk masyarakat petani dan nelayan saatnya ditegakkan. Bupati sebenarnya bisa menurunkan tunjangan DPRD Lembata dengan meninjau kembali Perbup sebelumnya yang memungkinan protes publik saat ini. Maka fokus diskursus dan demonstrasi harusnya kepada Bupati Lembata.
Birokrasi mesti diberi penguatan melalui pikiran, gagasan dan diskusi yang kritis untuk meluaskan wawasan dan membangun komitmen.
Bupati Lembata bisa menurunkan tunjangan meski akan menuai protes dari DPRD. DPRD pasti ribut.
Tapi ributnya DPRD saat ini hanya karena melawan keinginan menerima tunjangan di tengah kondisi rakyat yang susah, akan berdampak buruk bagi karier politiknya.
Bupati, kalau berani untuk rakyat, bisa menggunakan strategi: menjadikan Perbup sebagai bargaining politik dalam memaksa DPRD. Pemerintah punya kewenangan membayar gaji DPRD. Rakyat akan menyaksikan selama kurun waktu itu memang DPRD pasti dilanda kegelisahan dan kebingungan luar biasa.
Semoga mereka dan kebun sehingga bisa makan ubi dan pisang dari kebun. Jika DPRD tetap menolak usulan penurunan tunjangan yang tidak wajar, bahkan menolak untuk menandatangani persetujuan APBD, pembangunan tidak bisa berjalan dan hal sangat bisa memantik kemarahan rakyat lebih besar lagi dalam demonstrasi.
Kuncinya, rakyat bersama aktivis berjalan bersama pemerintah melakukan tekanan ke DPRD. Ketika pemerintah melakukan kebijakan terbaik untuk memuliakan rakyat, segenap komponen pasti mendukungnya.
Perlawanan terhadap perilaku wakil rakyat merupakan upaya konstruktif: mengembalikan DPRD ke jalur demokrasi dan konstitusi yang benar dan adil. Regulasi negeri ini sebagai buah dari konstitusi saja dilanggar. Mestinya rakyat tidak pernah boleh tinggal diam, apalagi membungkam di hadapan realitas ini.
Momen ini juga menjadi rahmat bagi partai politik untuk berbenah diri. Saatnya menggembleng anggota partai agar menjadi militan dalam memperjuangkan aspirasi rakyat dan tidak sekadar menjadi “pekerja” partai yang mesti setia menyetor fulus. *
*Penulis, Jurnalis, Pendiri Oring Literasi Lembata.
Catatan: Artikel ini telah tayang di FloresPos.net pada Kamis, 18 September 2025 - 09:12 WITA.