Terkait Isu Monopoli Bisnis TNK, Deputi Kemenparekraf, Vinsensius Jemadu pun Angkat Bicara

Senin, 08 Agustus 2022 21:42 WIB

Penulis:redaksi

vinsen jemadu.JPG
Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Vinsensius Jemadu. (Youtube Kemenparekraf)

JAKARTA (Floresku.com) - Isu monopoli bisnis bergulir di tengah penolakan keras naiknya tarif tiket masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni jadi Rp3,75 juta per tahun per pengunjung. 

Soal isu tersebut, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Vinsensius Jemadu (Vinsen), pun angkat bicara.

"Terkait isu monopoli (bisnis), dalam seminggu ini kami sudah lakukan dialog sesuai arahan mas menteri (Sandiaga Uno), membuka dialog dengan pelaku parekraf (pariwisata dan ekonomi kreatif) di Labuan Bajo. Sudah dua kali pada 4 dan 8 (Agustus 2022), dan saat itu dijelaskan sejelas-jelasnya bagaimana semua skema pengelolaan nanti," kata Vinsen, dalam weekly press briefing, Senin, 8 Agustus 2022.

"Terkait (isu) monopoli (bisnis) itu hanyalah berita-berita yang ada di ujungnya," ujarnya.

 "Jadi, saat mendengar penjelasan komprehensif dari (pemerintah) provinsi (NTT) dan PT Flobamora, akhirnya ketahuan dan semua lihat memang ini ada keterlibatan masyarakat dan stakeholders untuk sama-sama mengelola pariwisata Labuan Bajo, khususnya Taman Nasional Komodo," katanya lagi.

Vinsen juga mengklaim, "kondisi di Labuan Bajo sudah kondusif" sejak 2 Agustus 2022. "Teman-teman yang tadinya mau demo, mogok, akhirnya sepakat untuk mendukung konservasi," katanya. "Berita-berita di luar sana (menyebabkan) miskomunikasi dan misinformasi."

Ia memaparkan tiga poin utama hasil rapat dengan pelaku parekraf di Labuan Bajo pada Senin siang (8/8), waktu setempat. 

Pertama, pemprov NTT dan pihak Taman Nasional Komodo memberi dispensasi tarif baru Pulau Komodo dan Pulau Padar hingga akhir 2022, sehingga kenaikan baru berlaku 1 Januari 2023.

Menurut Vinsen penetapan harga) tiket TN komodo tetap mengacu pada PNBP KLHK (Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) atau PP No. 12 Tahun 2014. Jadi, tarif baru itu include PNBP, PAD (Pendapatan Asli Daerah), fasilitas, dan biaya konservasi."

Terakhir, Kemenparekraf, KLHK, pemprov NTT, Pemkab Mabar (Manggarai Barat), dan TN Komodo akan bersama-sama menyusun mekanisme dan pengawasan pelaksanaan. Juga, menyusun tim pelaksanaan komunikasi publik, sehingga "meminimalisir miskomunikasi di media dan masyarakat.

Memanfaatkan waktu dispensasi 

Sementara itu, Menparekraf Sandiaga Uno menyebut pihaknya akan memanfaatkan waktu dispensasi dengan menampung semua masukan terkait kontroversi kenaikan harga tiket masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar. "Intinya akan membuka ruang diskusi publik, mengumpulkan aspirasi yang berujung solusi," tuturnya.

Ia juga menyebut keinginan agar "upaya konservasi dan pemulihan ekonomi berjalan beriringan." Sandi berkata, "Kekhawatiran-kekhawatiran (terkait tarif baru tiket masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar) perlu diberikan jawaban, karenanya pemprov NTT menunda (memberlakukan harga tiket baru yang semua terjadwal mulai 1 Agustus 2022)."

"Lima enam bulan ke depan (harga tiket baru rencananya akan mulai berlaku 1 Januari 2023) akan memastikan komunikasi lebih baik, lebih efektif, agar masyarakat betul-betul mengerti tentang kebijakan yang seharusnya berpihak ke masyarakat," ungkapnya.

Kenapa monopoli?

Sebelumnya, Ketua Astindo Labuan Bajo Ignasius Suradin  menyebut bahwa PT Flobamora dan Pemprov NTT telah berhasil menggiring opini publik, sehingga orang percaya kenaikan tarif harga tiket masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar dipakai sebagai solusi untuk memastikan praktik konservasi.

Alih-alih konservasi, Ignasius menganggap kedua pihak itu justru ingin memonopoli bisnis di Labuan Bajo, dalam hal ini bisnis tur operator. Ia menyebutkan, merujuk aplikasi yang digunakan PT Flobamora, mereka juga menjual tiket hotel, tur, serta jasa sewa kapal hingga mobil.

"Kenapa monopoli? Mereka menggunakan saluran aplikasi ini untuk menggiring para pebisnis di Labuan Bajo, mulai dari travel agent dan pelaku wisata untuk mendaftarkan diri ke mereka. Dengan begitu, mereka punya kekuasaan untuk menentukan harga, menentukan standar, menentukan semuanya lah sesuai keinginan mereka," katanya.

Hal janggal lainnya, menurut Ignasius, penentuan harga tiket masuk merupakan kewenangan pusat, dalam hal ini KLHK, sehingga perubahan tiket masuk tidak bisa dilakukan secara sepihak, apalagi dalam waktu yang sangat singkat.

"Ini kan ada turunan dari UU Konservasi Tahun 1990, lalu turunnya PP No 12 Tahun 2014. Di situ jelas (Ada) dasar pungutan publik, kenaikan 1 rupiah atau 2 rupiah pun tetap harus mengacu pada UU dan peraturan yang berlaku," katanya.

Kebijakan top down

Sebagaimana diberitakan media ini pada beberapa waktu lalu,  Wakil Sekertaris Jendral (Wasekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai Golongan Karya (Golkar), Sebastian Salang mengatakan bahwa aksi protes warga atas kenaikan tarif masuk TNK  merupakan tamparan keras bagi wajah pemerintah pusat dan daerah, khususnya provinsi yang melahirkan kebijakan.

idak hanya itu, penolakan dan perlawanan besar-besaran tersebut, lanjut Sebastian, adalah gambaran bahwa kebijakan tersebut cacat proses dan gagal mendeteksi aspirasi dan kepentingan serta harapan masyarakat.

"Potret kebijakan yang dipaksakan, top down, sempit demi angan-angan keuntungan besar yang ditempu melalui jalan pintas. Mengabaikan pertimbangan kepentingan masyarakat lokal, pelaku wisata, pelaku bisnis, dan perasaan masyarakat setempat," terangnya pada Selasa 03 Agustus 2022.

Lebih lanjut, Sebastian Salang menegaskan, penolakan dan perlawanan masyarakat setempat dan pelaku wisata juga merupakan fakta bahwa kebijakan tersebut telah gagal dan kehilangan legitimasinya.

"Kebijakan yang baik pasti direspon dan diterima serta dijalankan oleh semua stakeholders dan masyarakat. Sebaliknya, kebijakan yang buruk dan dipaksakan pasti ditolak bahkan dilawan. Itulah yang terjadi di Labuan Bajo. Pemerintah harus menyadari itu," tegas mantan Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) itu.  *** (Silvia)***