Pandemi Covid-19
Selasa, 26 Oktober 2021 13:40 WIB
Penulis:redaksi
Editor:Redaksi
SOSIALITAS selalu dipertanyakan ketika wabah virus Corona (Covid-19) mulai membludak di dunia. Tegur sapa serta salam mulai berkurang, bahkan iman pun dipertanyakan. Mengapa semuanya ini terjadi dan mengapa harus berlarut dalam derita yang begitu dahsyat?
Pertanyaan seperti inilah yang sering kali diajukan oleh setiap insan, ketika Covid-19 semakin bertambah dari hari ke hari.
Usaha untuk meminimalisirkan penyebaran Covid-19 tidak semudah yang dibicarakan, dan tidak semudah dipikirkan melalui ukuran rasio semata, tetapi membutuhkan aplikasi yang membangun, serta mengangkat derajat serta semangat masyarakat di tengah ganasnya Covid-19.
Baca juga:SENDAL SERIBU: Selasa, 23 Oktober 2021: 'Kecil yang Berkualitas!'
Emanuel Levinas dalam bukunya Etika Wajah Orang Lain, mencoba mendeskripsikan arti dan makna wajah orang lain. Baginya wajah orang lain yang dimaksudkan adalah wajah sesungguhnya melampaui bagian fisik manusia.
Dalam hal ini perlu diingat bahwa wajah manusia bagi Levinas selalu terkait dengan cara orang lain menampakkan diri kepada kita. Dengan kata lain wajah orang lain menyangkut keseluruhan kehadiran orang lain bagi diri kita.
Hal ini mengafirmasikan bahwa orang lain adalah gambaran dari diri kita yang sebenarnya. Di tengah situasi covid-19 ini, menyadarkan kita bahwa aspek kemanusian bukan hanya terletak pada pribadi seseorang tetapi aspek kemanusian bersifat universal tanpa batas.
Baca juga:Ahli Kebijakan Publik: Revisi PP 109/2012 Tidak Memenuhi Prinsip Good Governance
Kehadiran para tim medis, pihak perintah dan elemen-elemen negara yang lainya di tengah pandemi sekarang ini, mendeskripsikan kehadiran wajah orang sebagai bentuk, kesadaran akan eksistensi kemanusian orang lain yang sama halnya dirinya sendiri. Perihal wajah orang lain di tengah Covid-19 mendorong setiap insan untuk saling bersanding sebagai gambaran wajah yang bukan terletak pada fisik melainkan kodrat dari manusia yang sebenarnya.
Atas kesadaran inilah, wajah orang lain dihadirkan di tengah situasi Covid-19 sebagai bentuk respek kemanusiaan yang mesti di perhatikan yaitu relasi antara aku dan orang lain serta kesadaran akan hadirnya saya dan orang lain.
Hemat saya kehadiran wajah orang lain di tengah pandemi Covid-19 yang semakin signifikan ini menyadarkan kita atas peran kita sebagai manusia sosial yang selalu membutuhkan kehadiran orang lain.
Relasi Antara Aku dan Orang Lain
Relasi yang sejati, menurut Levinas, baru berlangsung melalui pertemuan konkret dengan wajah orang lain karena wajah merupakan “signifikasi tanpa konteks” yang “bermakna pada dirinya sendiri.”
Artinya, makna keberadaan seorang manusia tidak ditentukan oleh konteks apa pun di mana ia ditemukan. Entah ia miskin, kaya, berstatus sosial tinggi atau rendah, berasal dari suku atau agama mayoritas atau minoritas, berpandang politik liberal atau konservatif, manusia tetaplah bermakna dalam dan pada dirinya sendiri.
Baca juga: Soal Dugaan Caplok Lahan KSDA oleh Masyarakat Lemes, Pembeli: 'Saya Sudah Kasih DP'
Covid-19 yang telah berlangsung lama bukan berarti memisahkan serta memutuskan relasi antar sesama manusia sebagai makhluk sosial. Pertemuan dengan wajah orang lain membuat kita menyadari bahwa orang lain bukan sekedar kuit, daging, dan darah yang dapat di hancurkan begitu saja.
Sebaliknya ia adalah seorang manusia seperti kita yang lain yang memiliki harapan dan kecemasan, kegembiraan dan duka, orang yang dicintai dan mencintainya.
Relasi dalam konteks Covid-19 ini bukan berarti kita diwajibkan untuk bersosialisasi tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Relasi yang dimaksud adalah relasi yang membangun serta memperhatikan sesama yang menderita, serta meningkatkan kepekaan atas penderitaan orang lain.
Baca juga: Konstantinopel Berubah Nama Menjadi Istanbul. Kapan dan Mengapa?
Relasi antara saya dan orang lain bertujuan untuk saling memperhatikan serta saling menjaga guna membangun integritas serta menciptakan suatu keselarasan tanpa harus memandang status yang hanya menciptakan peluang untuk kepentingan pribadi yang hanya bersifat sementara.
Kesadaran akan Kehadiran Orang Lain
Pada hakikatnya manusia dikenal sebagai makhluk sosial yang tidak hidup sendiri tanpa kehadiran yang lain. Dari perspektif tersebut hadirlah sebuah pepatah tua yang berbunyi “orang lain adalah diriku yang lain”.
Pepatah ini mengafirmasikan pentingnya kehadiran orang lain ke dalam diriku dan kehadiranku ke dalam diri orang lain. Di tengah situasi yang pelik akibat Covid-19 ini, eksistensi kehadiran orang lain serta kehadiran kita patut dipertanyakan hal ini, berangkat dari realitas yang terjadi di tengah pandemi covid-19.
Baca juga: LKDP Sikka Dapat Opini WTP dari Kemenkeu RI Lima Kali Berturut-Turut
Covid-19 seakan-akan menutup mata serta hati nurani kita sebagai makhluk sosial. Kita seakan-akan kehilangan kehadiran wajah orang lain sebagai gambaran diri kita sendiri lewat cara dan tindakan yang kurang etis.
Ketika kita harus berhadapan muka dengan mereka, kita tidak dapat menghindari lagi atau menutup mata kita. Pertemuan antara wajah menjadi sumber dan asal-mula etika yang etis melampaui segala usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip moral secara universal.
Bagi Levinas, kesatuan atau kebersamaan sejati itu memang bukan “sebuah kebersamaan sintesis, melainkan kebersamaan dari wajah ke wajah.” Hal ini berarti bahwa kehadiran orang lain bukan diartikan kehadiran yang bersifat fisik tetapi kehadiran orang lain harus dipahami lebih ke dalam dirinya.
Dengan adanya pertemuan antara wajah, ruang etis pun dibuka. Terbukanya ruang etis memungkinkan terbentuknya rasa persaudaraan yang sejati. Persaudaraan yang terjadi apabila ketika kita menyadari kehadiran orang lain sebagai diriku yang lain.
Sikap Tanggung Jawab terhadap Wajah Orang Lain
Pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung tak jarang menjadi polemik. Pahal, semestinya yang dibutuhkan bukanlah polemik, melainkan mencari solusi secara bersama sebagai tanda tanggung jawab atas wajah orang lain yang kehilangan akibat pandemi Covid-19.
Tanggung jawab terhadap orang-orang lain yang muncul dari rasa keadilan tidaklah dilaksanakan atas dasar belas kasih atau emosi, melainkan atas dasar tanggung jawab tanpa syarat terhadap orang lain.
Wajah, bagi Levinas merupakan sumber dan asal keadilan, dan bukan sekedar contoh keadilan. Itulah sebabnya mengapa Levinas kelihatannya lebih suka menggunakan kata ‘keadilan’ daripada 'cinta’ dalam menggambarkan tanggung jawab terhadap orang lain dan masyarakat secara keseluruhan.
Baca juga:Yuk! Ikut 'Misa Live Berbahasa Latin' Bersama Padre Marco SVD, Linknya Ada di Sini!
Tanggung jawab terhadap wajah orang lain lebih intens ketimbangkan rasa cinta. Hal ini dikarenakan tanggung jawab lebih mendominasi seluruh kehidupan seseorang, sedangkan perasaan cinta hanya berbalut perasaan semata tanpa reaksi yang nyata.
Masalah Covid-19 melibatkan tanggung jawab semua orang yang dilahirkan dari dalam diri setiap orang yang merasakan kehadiran wajah orang lain sebagai bagian dari hidupnya, yang mesti ia perjuangkan demi Sosialitas sebagai makhluk sosial.
Oleh: Boy Waro, Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret.
Catatan: Isi di luar tanggung jawab redaksi floresku.com. Terimakasih***
3 tahun yang lalu
3 tahun yang lalu