Warga Wae Sano Menilai Uskup Ruteng Tidak Konsisten Menyikapi Proyek Geothermal

Jumat, 04 Februari 2022 17:57 WIB

Penulis:redaksi

Warga Wae Sano.jpg
Warga Wae Sano bersama PMKRI Cabang Ruteng sedang berdemo di depan Kantor Bupat Manggarai Barat, menolak Proyek Geothermal Wae Sano. (Tedy N.)

LABUAN BAJO (Floresku.com) - Warga Wae Sano yang ikut aksi unjuk rasa bersama PMKRI Cabang Ruteng menolak Proyek Geothermal Wae Sanog  pada Rabu, 02 Februari 2022,  menilai bahwa Uskup Ruteng  tidak konsisten mengambil sikat terhadap proyek tersebut. 

Pasalnya, beberapa lama setelah ditahbiskan menjadi Uskup Ruteng,  ia mengunjungi umatnya di Wae Sano. Setelah meninjau langsung  titik-titik pengeboran yang dekat dengan rumah warga  Uskup Ruteng langsung mengambil sikap menolak Proyek Geothermal Wae Sano.

Namun, belakangan Uskup Ruteng justru mengeluarkan Surat Rekomendasi kepada Presiden agar Proyek Geothermal itu dilanjutkan. 

“Padahal awalnya Bapa Uskup menolak keras Proyek Geothermal.  Namun kemudian ia menerbitkan Surat Rekomendasi bahwa Proyek Geothermal  dapat dilanjutkan.  Oleh karena itu kami dengan keras menolak proyek geothermal itu, apapun yang terjadi”, kata Frans Napang salah satu warga Wae Sano dalam aksi penolakan Proyek Geothermal itu.

Frans juga membantah pernyataan Uskup Ruteng bahwa titik Lempe itu aman.

“ Itu tidak benar. Bapa Uskup telah membuat rekomendasi secara sepihak, tanpa menemui dan mendengarkan kami sebagai warga yang terkena dampak,” tegas Frans.

Frans Napang juga membantah sejumlah berita yang beredar tentang persetujuan seluruh masyarakat Wae Sano terhadap hadirnya penambangan panas bumi atau geothermal di kampung mereka.

Ia membantah segala macam bentuk rekayasa pemberitaan selama ini di mana seolah-olah semua masyarakat Wae Sano sepakat dengan hadirnya penambangan Geothermal di Wae Sano.

“Sebagai warga Wae Sano, apa pun yang diberitakan bahwa kami semua setuju itu tidak benar. Masih banyak kami yang menolak. Jumlah warga yang menolak 147 orang”, tegas Frans Napang.

Ia menjelelaskan bahwa warga menolak karena proyek itu menganggu dan mengancam masa depan ruang hidup mereka. 

“Kami menolak karena proyek itu karena menganggu ruang lingkup kami. Ada pun dokumen-dokumen yang disampaikan itu tadi, itu sama sekali tidak memihak kepada masyarakat penolak karena tidak ada diskusi lonto leok seperti yang pemerintah omong. Padahal lonto leok itu musyawarah untuk mencari mufakat. Sedangkan lonto leok yang dipraktikan di Wae Sano beberapa minggu lalu itu bukan lonto leok sebenarnya, karena mereka sodorkan kepada kami dokumen untuk menjawab ya atau tidak”, ungkap Frans pula.

Selain itu ia menyampaikan jika pemerintah tetap bersikeras melanjutkan pekerjaan itu, maka warga penolak siap bertaruh nyawa dan siap mati.

“Semua dokumen itu kami tetap menolak apa pun yang terjadi. Ramah lingkungan atau bagaimana yang mereka omong tetap kami menolaknya. Kalau dari pemerintah tetap ngotot, kami akan bertaruh nyawa, kami siap mati”, katanya.

Terhadap hasil diskusi dengan Pemda Mabar pada saat unjuk rasa itu, Frans mengaku dirinya tidak menanggapi secara baik hasil diskusi itu, karena poin yang disampaikan Pemda Mabar tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.

Selanjutnya, ia menegaskan jika ada isu bahwa argumentasi warga penolak ditunggangi oleh kepentingan kelompok tertentu, tidak benar.

Warga tahu bahwa proyek geothermal ini sangat berbahaya, karena sangat dekat dengan pemukiman warga, sangat dekat dengan pekuburan, sangat dekat dengan rumah ibadah, kantor desa, lembaga SD-SMP dan juga sangat dekat dengan mata air.

"Kehadiran proyek geothermal ini menganggu ruang hidup mereka. Mulai dari natas labar, golo lonto, uma duat, wae teku. Kemudiaan jarak tepi danau dengan pegunungan, ada yang 500 meter ada yang satu kilo meter,' jelasnya. (Tedy N). ***