Ekonomi Indonesia
Minggu, 09 Juni 2024 15:41 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Oleh: Maxi Ali Perajaka
PADA artikel ‘Memotret Nagekeo’ sebelumnya, Floresku.com telah memperlihatkan potret Nagekeo yang cukup ‘indah’ dalam hal Indeks Pembangungan Manusia (IPM), aspek harapan hidup.
Kali ini Floresku.com mau memotret indeks pembangunan manusia (IPM) Nagekeo dari aspek pendidikan.
IPM Nagekeo aspek pendidikan
Secara konsep, menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization), IMP di bidang pendidikan atau pengetahuan diukur menggunakan angka rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka lama harapan sekolah (LHS). Di Indonesia, seringkali, ditambahkan dengan satu indikator lain yaitu angka melek huruf dan angka buta huruf.
‘Angka RLS didefinisikan Jumlah tahun belajar penduduk usia 15 tahun keatas yang telah diselesaikan dalam pendidikan formal (tidak termasuk tahun yang mengulang).
Angka LHS didefinisikan sebagai lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu (umumnya merujuk ke usia 7 tahun) di masa mendatang.
Sedangkan ‘Angka Melek Huruf’ adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf Latin dan atau huruf lainnya.
Lalu, berapa angka RLS, HLS dan Melek Huruf yang membentuk IPM Nagekeo bidang pendidikan?
Data statistik Nagekeo menyebutkan, angka HLS orang Nagekeo bertumbuh tipis selama tiga tahun terakhir. HLS tahun 2021adalah 12,49 tahun, tahun 2022 (12,51 tahun), dan tahun 2023 (12,59 tahun).
Ini lebih rendah dari angka HLS Provinsi NTT dan nasional. Data statistik menyebutkan bahwa pada tahun 2021 angka HLS NTT adalah selama 13,20 tahun, tahun 2022 (13,21) dan tahun 2023 (13,22), sedangkan angka HLS nasional tahun 2022 adalah 13,15 tahun.
Angka HLS Nagekeo pada tahun 2023 sebesar 12,59 tahun bermakna bahwa secara rata-rata anak usia 7 tahun yang masuk jenjang pendidikan formal pada tahun 2013 memiliki peluang untuk bersekolah selama 12,59 tahun atau setara dengan Diploma I.
Terkait angka RLS, data statistik menyebutkan Nagekeo ada kanaikan tipis selama tiga tahun terakhir, yaitu dari 7,90 tahun (2021), menjadi 7,91 tahun (2022) dan naik lagi menjadi 8,14 tahun (2023).
Meski masih di bawah angka nasional, 8,43 (2023), pencapaian RLS Nagekeo lebih baik dari pencapaian NTT. Disebutkan angka RLS NTT mencapai 7,69 tahun pada tahun 2021, menjadi 7,70 tahun( 2022) dan 7,82 (2023).
Angka RLS menggambarkan rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua jenis pendidikan yang pernah dijalani.
Untuk mereka yang tamat SD diperhitungkan lama sekolah selama 6 tahun, tamat SMP/sederajad diperhitungkan lama sekolah selama 9 tahun, tamat SMA/sederajad diperhitungkan lama sekolah selama 12 tahun tanpa memperhitungkan apakah pernah tinggal kelas atau tidak.
Jadi, angka RLS Nagekeo 8,14 tahun berarti lama sekolah yang pernah ditempuh warga Nagekeo di atas 15 tahun adalah sampai pada kelas 2 SMP.
Badan Pusat Statisik Kabupaten juga menyebutkan bahwa angka melek huruf, sebanyak 98,15 persen . Artinya, sebanyak 121,621 dari 123.871 orang Nagekeo berusia di atas 15 tahun sudah melek huruf. Sisanya, 1,85 persen atau 2.250 orang yang masih buta huruf.
Indikator IPM bidang pendidikan sebagaimana digambarkan di atas tentu saja belum ideal. Indikator tersebut juga masih sangat ‘kasar’ dan tidak mencerminkan kualitas pendidikan yang dijalankan.
Menurut Unicef, kualitas pendidikan ditentukan antara lain oleh lima faktor utama.
Pertama, peserta didik yang sehat, bergizi baik dan siap berpartisipasi dan belajar, serta didukung dalam pembelajaran oleh keluarga dan komunitasnya;
Kedua, lingkungan yang sehat, aman, protektif dan peka gender, serta menyediakan sumber daya dan fasilitas yang memadai;
Ketiga, konten yang tercermin dalam kurikulum dan materi yang relevan untuk perolehan keterampilan dasar, terutama di bidang literasi, numerasi dan keterampilan hidup, serta pengetahuan di bidang gender, kesehatan, gizi, pencegahan penyakit (DB,HIV/AIDS) dan perdamaian.
Keempat, proses pembelajaran di mana guru yang terlatih menggunakan pendekatan pengajaran di sekolah yang berpusat pada anak, dan yang mengurangi kesenjangan.di antara para peserta didik.
Kelima, hasil yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap, dan terkait dengan tujuan nasional dalam bidang pendidikan dan partisipasi positif dalam masyarakat.
140 TK dan 88 perpustakaan ramah anak
Sejauh ini publik Nagekeo memang terbiasa mengukur kemajuan pembangunan berdasarkan kondisi fisik, atau sesuatu yang dilihat kasat mata.
Di bidang pendidikan mereka hanya terpukau dengan kondisi fisik bangunan sekolah, perpustakaan dan fasilitas pendukung lainnya.
Sayangnya, informasi mengenai pembangunan dan renovasi sekolah tidak publikasikan secara luas.
Namun, dari data statisik tampak jelas ada penambahan jumlah sekolah di Nagekeo, terutama sekolah TK.
Tahun 2019/2020, jumlah TK 92 unit, terdiri 4 Negeri dan 88 swasta. Tahun 2023/2023 melonjak menjadi 140 unit, terdiri dari 31 TK Negeri dan 109 TK swasta, menampung 3.826 siswa.
Jumlah gedung memang hanya bertambah satu unit dari 177 (2019/2020) menjad 178 unit pada tahun 2022/2023.
Meski Statistik Nagekeo tidak merekam soal kondisi gedung dan perbaikannya dari tahun ke tahun, pada kenyataannya Pemkab Nagekeo telah merenovasi banyak gedung SD (Swasta dan Negeri) dan melengkapinnya dengan perpustakaan Pelangi. selama beberapa tahun terakhir .
Selama Juli dan Agustusi 2023, Pemkab Nagekeo telah meresmikan 19 perpustakaan di 19 Sekolah Dasar. Program yang dikerjakan bersama Room to Read dan Taman Bacaan Pelangi itu berada di SDI Mbay, SDK Penginanga, SDN Anakoli, SDN Nido, SDK Raja, SDI Boki, SDI Doki, SDK Majamere, SDK Ngedu, SDK Wolokoli, SDK Dombe, SDN Ndora, SDN Aegela, SDK Kita dan SDN Ndetunura.
Dengan begtitu, hingga akhir Agustus 2023, di seluruh Nagekeo terdapat 88 persputakaan ramah anak.
Transformasi sudah mulai, tingkat literasi dan numerasi melonjak
Sejauh ini Nagekeo memang belum memiliki data yang menggambarkan kualitas pendidikan sebagaimana dipersyaratkan Unicef.
Pertama, Nagekeo belum memiliki data tetang tingkat kesehatan dan gizi seluruh peserta didik. Misalnya, berapa siswa yang dalam kondisi sehat bugar, berapa yang kurang sehat, berapa yang cacat fisik, berapa yang mengalami kelemahan mental, dan berapa yang kurang gizi.
Selain itu, Nagekeo juga belum membuat data untuk memberikan gambaran jelas tentang kondisi lingkungan sosial para peserta didik kita. Misalnya, ada berapa siswa yang memiliki orangtua yang lengkap; atau berapa siswa tidak memiliki salah satu atau kedua orangtua; berapa jumlah saudaranya; bagaimana kondisi ekonomi orangtuanya; bagaimana orangtua biasa memperlakukannya: berapa jumlah siswa yang mengalami pelecehan dan kekerasan dalam rumah tangga, dan aneka kondisi sosial lainnya.
Meski demikian, kita memiliki sejumput data tentang konten dan proses pembelajaran di sekolah.
Belaum lama ini Kadis P dan K Nagekeo, Venantius Minggu mengatakan terkait konten dan proses pembelajaran, Nagekeo sedang bertransformasi.
“Sosialisasi mengenai Kurikulum Merdeka dan pelatihan guru penggerak penerapan Kurikulum Merdeka terus digalakkan secara massif dan hasilnya mulai kelihatan,” ujarnya..
Bukan hanya itu, untuk memajukan kualitas pembelajaran, ungkap Kadis Venan pula, Dinas P dan K Nagekeo menggalakkan Program Sekolah Enuma, yaitu program kolaborasi kemitraan strategis antara Pemerintah Kabupaten Nagekeo, Plan Indonesia, The Head Foundation, dan Sekolah Enuma.
Sekolah Enuma, jelas Kadis Venan, adalah aplikasi yang berisi permainan, buku, dan video yang mendukung anak usia lima hingga delapan tahun untuk belajar bahasa Indonesia, matematika, dan bahasa Inggris.
Venan mengatakan program itu memberikan kontribusi besar terhadap progres literasi dan numerasi Kabupaten Nagekeo.
Terbukti, kemampuan literasi untuk sekolah dasar di Nagekeo mencapai angka 60,88, melampaui target tahun 2023 sebesar 55,37 dan target tahun 2024 sebesar 58,00.
Sedangkan kemampuan numerasi mencapai angka 49,75 yang juga melampaui target tahun 2023 sebesar 40,24 dan target tahun 2024 ini sebesar 41,79.
Kemajuan yang disampaikan Venan memang divalidasi sendiri oleh pihak Kemendikbudristek RI ketika melakukan pemantauan bersama Kementerian/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Agama (Kemenag) pada awal Februari 2023 lalu.
Waktu itu tim Kemendikburistek mengamati pelaksanaan dan tantangan implementasi Kurikulum Merdeka, akses ke platform Merdeka Mengajar, dan penggunaan Rapor Pendidikan sebagai akuntabilitas dan perencanaan berbasis data.
Melalui pemantauan itu mereka mendapati pola pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka di sejumlah sekolah di Nagekeo, telah menekankan pada kebutuhan siswa, khususnya pada kelas rendah atau kelas satu sampai tiga.
Makanya, usai pemantuan, Plt Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, BSKAP Kemendikbudristek, Zulfikri Anas mengakui kalau wajah proses pendidikan Nagekeo mulai bertransformasi.
“Sudah ada asesmen awal untuk mengetahui kebutuhan siswa, sehingga guru tahu apa yang harus dilakukan dan dikolaborasikan bersama,” ujar Zulfikri kala itu.
Sementara itu, untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran di tingkat PAUD, pada suatu kesempatan tahun 2023 lalu, Bupati Johanes don Bosco Do mengispirasi para guru untuk berkreasi, memanfaatkan bahan pembelajaran dari bahan organik.
“Salah satu yang saya bayangkan adalah para guru menggunakan pusu muku (jantung pisang) sebagai bahan belajar buat anak PAUD,” ujarnya.
Menurut dia, Alat Permainan Edukatif (APE) bisa digunakan dari bahan yang ada di sekitar, baik dari bahan daur ulang atau bahan organik.
Pelayanan dinas yang makin baik
Meski IPM bidang pendidikan Nagekeo belum mencapai kondisi ideal, orang Nagekeo boleh lebih optimistis karena pelayanan dinas pendidikan yang makin berkualitas.
Hal ini, paling tidak tergambar dari kinerja Dinas P dan K Kabupaten Nagekeo sebagaimana disampaikan Ombudsman NTT.
Menurut Ombudsman, tahun 2024 Dinas P dan K Nagekeo meraih skor tertinggi, 75,89 persen dalam Standar Pelayanan Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan di NTT. Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Raihan ini, menyalip skor tertinggi SPM Pendidikan yang diraih Dinas P dan K Ngada tahun 2023, 62,37 persen.
Ini adalah sebuah lompatan besar, karena tahun 2023 lalu Dinas P dan K Nagekeo memiliki Standar Pelayanan Publik (SPP) dan Sistem Pengelolaan Pengaduan terburuk dengan skor terendah yakni 27.89 persen.
Kesan positif tentang pelayanan Dinas P dan K Nagekeo juga datang dari kalangan guru dan massyarakat biasa.
Sejumlah guru yang dijumpai penulis mengatakan bahwa pelayanan dan pendampingan dari Dinas P dan K sangat memuaskan.
“Respon terhadap keluhan dan usulan kami para guru di sekolah, sangat cepat,” ujar seorang guru di Nangaroro yang bernama Fransiskus.
“Selain itu, Pa Kadis (Venan, red) juga bersikap sangat terbuka dan mau mendengarkan. Kapan dan di mana saja, termasuk melalui telepon, Pa Kadis selalu memberikan tanggapan jika yang dibahas adalah urusan dinas. Beliau siap menerima kapan saja, tidak terbatas pada jam kerja saja,” ujar seorang ibu yang mengaku bernama Lusia.
Menurut warga Pemkab dan Dinas P dan K Nagekeo sangat cepat merespon keluhan masyarakat akan perbaikan fasilitas sekolah.
“Kami sangat puas dengan Pemkab dan Kadis P dan K yang sekarang.Dalam waktu tidak terlalu lama, keluhan kami untuk perbaikan gedung sekolah langsung dijawab. Sekarang sekolah bangunan sekolah kami sudah bagus. Lengkap dengan perputakaan dan kamar mandi serta WC,” ujar Pius Pedo, warga senior di Kampung Malasera, Desa Nata Ute.
Pendidikan kesetaraan perlu digenjot
Meski memberikan apresiasi, Ombudsman NTT memberikan catatan kepada Dinas P dan K Nagekeo agar dapat memperbaiki Capaian Pendidikan Kesetaraan yang masih kurang, baru mencapai skor 3,6.
Menurut Ombudsman, Dinas P dan K Nagekeo harus lebih giat mengembalikan anak-anak usia sekolah yang telah putus sekolah untuk kembali mengenyam pendidikan di jalur pendidikan non formal seperti Paket A (Setara SD), Paket B (Setara SMP) dan Paket C (Setara SMA).
Pendididikan kesetaraan memang mendesak untuk digenjot lebih kencang lagi. Ini untuk dapat menekan angka buta huruf ke depan. Sebab, sebagaimana disebutkan di atas, saat ini ada sekitar 2.500 warga Nagekep masih buta huruf.
Dedikasi guru dan dukungan orangtua siswa, lemah
Sorotan tajam atas dunia pendidikan juga dilakukan warga akar rumput Nagekeo.
Terlepas dari berbagai kemajuan, mereka mengaku heran melihat ada anak-anak di lingkungan mereka, walau sudah duduk di kelas tinggi SD masih terbata-bata membaca.
‘Guru sekarang ajar apa saja ko? Anak saya sudah kelas 4 SD baca masih ‘nguu ngaa (terbata-bata, red),” ujar Kletus saat diajak ngobrol penulis disela-sela kesibukannya menjual ikan di Pasar Danga
Aziz seorang warga di Aeramo juga mengaku heran ketika melihat sekelompok siswa kelas X SMA minim pengetahun umum.
“Anak-anak tidak tahu tentang jumlah kecamatan di Nagekeo,”keluhnya.
Tidak hanya itu, warga akar rumput tidak sampai habis berpikir ketika melihat ada oknum guru ‘menyambi’ jadi sopir ‘angkot’ pada setiap hari pasar.
“Mereka tidak merasa tak bersalah mengabaikan siswa, dan sibuk mencari uang tambahan dengan mengantar dan menjemput penumpang yang berjualan di pasar. Padahal itu bukan hari libur sekolah,” ujar tukang ojek di Nangaroro yang meminta disebut Anto saja.
Selain soal disiplin dan dedikasi yang lemah, kalangan pendidik di Nagekeo juga perlu berefleksi dan awas diri.
Pantauan penulis dan rekan-rekan jurnalis Floresku.com, kaum guru di Nagekeo memang belum cukup giat giat mengupdate pengetahuan dan kompetensinya melalui membaca buku.
Tampaknya mereka tidak memiliki kebiasaan membaca buku dan mengajar para siswanya dengan dengan mengandalkan ingatan akan pengetahuan yang dipeorleh semasa di bangku sekolah dan kuliah dulu.
‘Itu betul sekali bang. Kalau kita bertamu di rumah guru di Nagekeo ini, jarang kita melihat di ruang tamunya ada rak untuk koleksi buku. Sepertinya mereka mengupdate ilmu pengetahuan dan informasi hanya mealui berita media,google dan media sosial,” ujar Ricky, seorang petani lulusan Akademi Komunitas Teknologi Garam di Mbay saat mengobrol dengan penulis.
Namun, dia menambahkan, pada sisi lain pihak orangtua siswa kita di Nagekeo belum cukup peduli dengan urusan belajar anak.
“Para orangtua kita merasa cukup kalau sudah beri makan, beli pakaian dan urus pesta kalau anaknya Sambut Baru. Tapi, mendorong apalagi mendampngi anaknya belajar, belum jadi kebiasaan,” kata Ricky.
Berbeda sekali dengan anak-anak di kota-kota di Jawa. ‘Waktu saya magang di sana, (Banten, Red), saya menyaksikan sendiri bagaimana orangtua, terutama kaum ibu mendampingi anak-anaknya, saat belajar di rumah,” Ricky mengisahkan. ***