Saat Dunia Bersorak untuk Pemulihan Notre-Dame, Ribuan Gereja Prancis Justru Membusuk

Senin, 01 September 2025 19:39 WIB

Penulis:redaksi

gerjej3.jpg
Kapel Santo Antonius di Félines-sur-Rimandoule, salah satu dari ribuan kota dan desa yang terdepopulasi di Prancis, dalam hal ini hanya memiliki satu umat paroki. ( © Marianne Casamance)

PARIS(Floresku.com)  – Gema sukacita atas kebangkitan Notre-Dame de Paris yang nyaris hancur akibat kebakaran 2019 masih terasa di seluruh dunia. 

Namun, di balik kemegahan restorasi katedral ikonik itu, ribuan gereja Katolik lain di Prancis justru menghadapi nasib sebaliknya: terlantar, rusak, bahkan ditutup permanen karena kekurangan umat dan dana.

Fenomena ini berakar pada sejarah panjang hubungan Gereja dan negara di Prancis. Undang-undang 1905 yang menegaskan laïcité (sekularisme) menjadikan hampir semua gereja Katolik—sekitar 95% dari lebih 42.000 bangunan—sebagai milik publik. 

Gereja-gereja paroki yang dibangun sebelum tahun itu jatuh ke tangan 34.955 komune (pemerintah daerah kecil), sementara 149 katedral sebagian besar dimiliki pemerintah pusat. Gereja hanya dijamin hak pakai secara gratis.

Kondisi ini kembali mencuat setelah Konferensi Waligereja Prancis merilis survei besar pada November 2024. Dari 94 keuskupan di Prancis daratan, 87 memberikan jawaban. 

Data menunjukkan 72 gereja telah dihancurkan sejak tahun 2000, 326 gereja paroki publik telah “didekonsekrasi” sejak 1905, ditambah 411 gereja milik keuskupan yang juga kehilangan fungsi liturgisnya.

Meski angka itu tampak besar, Uskup Emeritus Carcassonne dan Narbonne, Mgr Alain Planet—yang memimpin proyek survei—menganggapnya relatif kecil dalam rentang 120 tahun. 

Bahkan, sejak itu sekitar 3.000 gereja baru dibangun, dengan 16 lainnya masih dalam tahap konstruksi. 

“Banyak gereja abad ke-19 dibangun cepat dan murah. Kini bangunan-bangunan itu menjadi masalah serius,” ujarnya.

Namun persoalan utama bukan semata bangunan, melainkan demografi. Populasi desa-desa Prancis kian menyusut. Survei mencatat 1.679 gereja ditutup sepanjang tahun karena alasan keselamatan, penurunan penduduk, atau tidak lagi digunakan. 

Di Félines-sur-Rimandoule, misalnya, kapel Santo Antonius hanya memiliki satu umat paroki. Sementara Mézilhac, di Ardèche, masih menanggung dua gereja padahal jumlah penduduk kini hanya 67, jauh dari 1.300 jiwa di awal abad ke-20.

Sejarawan Mathieu Lours menegaskan bahwa keluhan tentang rusaknya bangunan gereja bukan hal baru. 

“Sejak dahulu, uskup dan umat selalu mengeluh dan mencari jalan keluar,” ujarnya. Ia menambahkan, bahkan gereja-gereja abad ke-19 dengan gaya neo-Romanesque, neo-Gotik, hingga neo-Bizantin tetap menjadi penanda penting lanskap pedesaan Prancis.

Masalah kian pelik karena keterbatasan dana pemerintah daerah. Katedral Narbonne yang megah, misalnya, lebih tinggi dari Notre-Dame, tetapi pemeliharaannya ditanggung sebuah komune berpenduduk hanya 60.000 jiwa. Ribuan gereja kecil di pedesaan tentu jauh lebih rentan.

Menurut aturan, jika sebuah gereja masuk daftar bangunan bersejarah, pemerintah pusat menanggung 25–50% biaya perawatan. Jika tidak, pemerintah lokal harus mencari dana dari berbagai sumber, publik maupun privat.

 “Kementerian Kebudayaan sering enggan menambah daftar bangunan baru karena konsekuensinya adalah kewajiban pendanaan,” kata Planet. Le Monde bahkan menyoroti pemerintah yang berulang kali gagal memenuhi janji investasi warisan budaya sepanjang 2024.

Sementara itu, Menteri Kebudayaan Rachida Dati sempat melempar ide agar wisatawan membayar tiket masuk ke Notre-Dame untuk menambah pemasukan. Namun uskup-uskup Prancis menolak tegas. “Akses gratis ke gereja adalah hak yang diperjuangkan sejak 1905. Lagipula, rakyat sudah membayar lewat pajak,” tegas Planet.

Lembaga Observatoire du Patrimoine Religieux memperkirakan antara 3.000 hingga 5.000 bangunan Katolik di Prancis kini berstatus terancam. 

Namun, survei menunjukkan umat di wilayah perkotaan atau daerah dengan jumlah jemaat cukup umumnya puas dengan pemeliharaan gereja mereka. Artinya, problem terbesar ada di kawasan sepi penduduk, di mana bangunan bersejarah kehilangan fungsinya karena tidak ada lagi yang merawat.

Menanggapi situasi tersebut, Presiden Emmanuel Macron pada 2023 meluncurkan kampanye donasi nasional bersama Fondation du Patrimoine untuk menyelamatkan gereja-gereja di paroki kecil. 

Targetnya €200 juta dalam empat tahun untuk mendukung komunitas berpenduduk kurang dari 10.000 jiwa di daratan, atau 20.000 jiwa di wilayah seberang laut.

Namun hasilnya jauh dari harapan. Hingga November 2024, dana terkumpul baru €16,7 juta untuk 100 gereja—jumlah yang dinilai sangat kecil dibanding €843 juta sumbangan swasta untuk restorasi Notre-Dame. 

“Itu setara dengan apa yang diterima sebuah paroki miskin dalam 200 tahun,” sindir Planet.

Ironi besar pun muncul: sementara dunia berdecak kagum atas kebangkitan Notre-Dame, ratusan bahkan ribuan gereja Katolik di pedesaan Prancis justru pelan-pelan membusuk. Sebuah paradoks antara kebanggaan budaya nasional dan kenyataan pahit keterbatasan sumber daya lokal. (Sandra: Sumber: theartnewspaper.com). ***