kalimantan
Kamis, 01 September 2022 21:11 WIB
Penulis:redaksi
Oleh Marianus Gaharpung, SH MS, dosen FH Ubaya Surabaya
POLRI sedang menunjukan kepada publik sikap penegakan hukum yang pilih kasih. Atau dengan kata lain, Polri diduga tebang pilih ketika tidak menahan Putri Candrawati tersangka pembunuhan brigadir J yang dijerat dengan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati.
Putri Candrawathi menjadi nama terakhir yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir Joshua.
Mengapa Polri memberikan keistimewaan kepada tersangka Putri padahal dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Padahal ada beberapa fakta.
Pertama, Putri ikut dalam skenario yang dibuat oleh suaminya Irjen Pol Ferdy Sambo.
Kedua, yang membuat Putri terancam hukuman mati adalah terekam kamera CCTV berada di tempat kejadian perkara, baik sebelum, sesaat, maupun sesudah, penembakan Brigadir J.
Ketiga, yang bisa menjerat Putri mengajak berangkat ke Duren Tiga bersama tersangka RE, tersangka RR, tersangka KM, dan korban Brigadir J, Serta bersama FS saat menjanjikan uang kepada RE, RR, dan KM.
Oleh karena itu, sangat pantas adanya sentimen publik terhadap Polri jika istri FS sampai saat ini belum ditahan dengan alasan kemanusiaan anak FS dan Putri masih balita.
Apa istimewanya Putri di mata tim penyidik Bareskrim Polri sampai belum menahan istri FS. Jangan- jangan alasan kemanusiaan bahwa anak anak masih butuh perhatian figur seorang ibu adalah alasan yang mengada- ada.
Atau karena "rohnya" FS masih sangat dahsyat di Mabes Polri. Fakta banyak suami istri pelaku tindak pidana oleh Polri ketika cukup bukti tanpa ampun langsung ditahan walaupun pelaku mempunyai anak anak usia balita. Keistimewaan terhadap Putri, justru menimbulkan sentimen publik kepada institusi Polri.
Karena dari fakta dugaan keterlibatan Putri yang direkam tim penyidik Polri cukup jelas keterlibatan bersama suaminya FS dalam perencanaan pembunuhan brigadir J.
Alasan seseorang dijadikan tersangka dan ditahan, pertama, adalah syarat bukti, harus ada bukti yg cukup yg dimiliki oleh pejabat Polri yg menahan.
Bukti yangg cukup ini untuk memastikan bahwa pejabat yg menahan sangat yakin bahwa kalau kasusnya dibawa ke Pengadilan, maka tersangka/terdakwa akan diputus bersalah dan Pengadilan diperkirakan akan menjatuhkan pidana penjara bagi tersangka.
Kedua, adalah syarat hukum, disini hanya melihat apakah tersangka dikenakan ketentuan yg diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun penjara atau lebih atau ketentuan hukum lain sesuai yg disyaratkan dalam KUHAP. Apalagi Putri ancamannya hukuman mati atau seumur hidup atau paling sedikit 20 tahun.
Ketiga, syarat Keperluan. Dalam Pasal 21 KUHAP digariskan cukup tegas yaitu “adanya keadaan yg menimbulkan kekuatiran” dan kekuatirannya disebutkan secara limitatif yaitu “jika tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi tindak pidana.
Alasan terakhir inilah dipakai senjata oleh tim pengacara memberikan jaminan bahwa ibu Putri tidak akan melarikan diri ke luar negeri termasuk alasan kemanusiaan anaknya Putri masih ada yang balita. Permintaan tim pengacara disambut positif oleh Tim penyidik Bareskrim Polri dengan alasan kemanusiaan untuk tidak menahan Istri FS.
Sikap Polri sangat tidak obyektif dengan membangun aegumentasi sesat atau fallacy argumentation.
Angin surga mulai berpihak kepada FS dan terutama kepada Putri Candrawaty ketika Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menyebutkan, anak-anak FS dan Putri Candrawati sebagai warga negara sedang dalam masa membutuhkan perlindungan jadi mohon dipisahkan dari kasus yang menimpa kedua orang tuanya.
Anak anak ini berada dalam situasi membutuhkan perlindungan.
Reaksi emosional publik yang luar biasa terhadap peristiwa sadis pembunuhan berencana yang diotaki FS terhadap brigadir J seakan beralih kepada "sinetron kemanusiaan" jika Putri harus ditahan sampai menjalani hukuman penjara seumur hidup bahkan hukuman mati.
Psikologi publik mulai diracuni dengan perasaan iba bagaimana nasib dan tumbuh kembang anak anak jika Putri Candrawati harus ditahan dan menjalani hukuman.
Dalam argumentasi hukum dikenal adanya fallacy argumentation (argumentasi sesat) dimana salah satunya, argumentum ad misericordiam
Pola penalaran ini disebut sesat karena membenarkan suatu argumen atau perbuatan atas dasar rasa iba.
Seharusnya rasa iba tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu argumen atau perbuatan. Dalam konteks tumbuh kembang anak anak, haruskah Putri Candrawati tersangka dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 junto Pasal 55 dsn 56 KUHP ditahan bahkan diberikan hukuman pidana yang berat?
FS sebagai otak pembunuhan brigadir J diduga kuat akan juga memainkan "sinetron kemanusiaan" bagaimana nasib masa depan anak- anakku jika tanpa kehadiran diriku sebagai kepala keluarga?
FS dan Putri akan mendramatisir di depan tim penuntut umum, kuasa hukum dan bahkan majelis hakim pemeriksa perkara. Tetesan air mata sang ibu di depan kamera atau di ruang sidang pengadilan akan "membius" seluruh mata Indonesia.
Berbagai cara dan argumentasi FS dan Putri ingin menunjukkan bahwa ada ketidakadilan apabila mereka sampai harus dipidana berat.
Dan, sinetron kemamusiaan ini sudah mulai ditayangkan dari Bareskrim Polri dengan berani tidak menahan Putri Candrawati tersangka dengan ancaman hukuman mati dengan alasan kemanusiaan, rasa iba.
Semoga "sinetron" kemanusiaan dalam tumbuh kembang anak, jangan menggiring rasa keadilan penuntut umum terutama majelis hakim pemeriksa perkara ke titik nadir penegakan hukum paling rendah dengan argumentum ad misericordiam. ***