labuan bajo
Selasa, 19 Oktober 2021 16:28 WIB
Penulis:redaksi
Editor:Redaksi
LABUAN BAJO (Floresku.com) - Pada saat Presiden Jokowi meresmikan pelabuhan Wae Kelambu beberapa hari lalu, masyarakat Mabar antusias luar biasa dan bersyukur atas perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tetapi pada momen yang sama Doni Parera dan beberapa orang lainnya melakukan aksi yang diduga memprovokasi dan menghasut. Aksi tersebut diabadikan melalui video.
"Pada momentum kehadiran Presiden kemarin saudara Doni Parera dan beberapa orang lainnya membuat aksi yang saya amggap sangat tidak masuk akal dan akan membuat konflik horizontal di tengah masyarakat, " ujar Hendrik Jempo, tua gendang Terlaing kepada floresku.com, Selasa, 19 Oktober 2021.
Baca juga: BPOLBF Pastikan Ekosistem Sehat bagi 12 UMKM Ini
Dikatakannya, dalam video tersebut Doni Parera dan tokoh masyarakat Mbehal melakukan aksinya di atas tanah masyarakat adat Terlaing. Dan diduga kuat mereka telah mengkalim tanah milik masyarakat adat Terlaing.
"Ini orang (Doni Parera) berbahaya dan provokator. Ia penghambat dan batu sandungan pembangunan di Mabar. Lebih celaka lagi ia melakukan aksi itu di atas tanah ulayat kami, lingko Nerot," tambah Hendrik.
Dalam aksinya, sebagaimana dalam video yang viral di medsos, Doni Parera mengepalkan tangan bersama sekitar sebelas orang lainnya. Mreka berdiri melingkari sebuah tumpukan batu mirip compang. Mereka juga mengutarakan kalimat-kalimat yang diduga memprovokasi masyarakat.
Ditegaskannya, compang hakikatnya tidak berada di sebuah pondok. Compang adalah mesbah sakral dan biasanya compang itu berada di sebuah perkampungan, sehingga Hendrik menduga compang tersebut merupakan compang akal-akalan.
"Saya kira itu compang-compangan atau compang akalan-akalan. Entah apa maksud compang akal-akalan ini. Tapi jika ini compang sungguhan, inilah perusak tatanan adat Manggarai. Compang tidak mungkin ada di sebuah pondok. Compang adalah mesbah sakral dan selalu berada di sebuah kampung," tambah Hendrik.
Keresahan masyarakat adat Terlaing saat kelompok-kelompok tersebut mengeluarkan bahasa-bahasa yang bersifat memprovokasi.
" Yang meresahkan dan membuat warga adat Terlaing marah adalah orang-orang ini melakukan aksi provokasi di atas tanah adat kami. Ini gerombolan pengacau," tegas Hendrik.
Dan Doni Parera, lanjut Hendrik, tidak mengetahui sejarah Lingko Nerot. Doni Parera juga bukan warga Terlaing.
Baca juga: Warga Rana Loba Mengeluh Jadwal Los dan Stop Keran Air PAM di Lorong Gua Tidak Teratur
"Saudara Parera ini bukan warga adat Terlaing atau Lancang. Ia adalah pendatang. Ia tidak mengetahui sejarah lingko Nerot. Komentarnya tidak didasari data atau dokumen sehingga komentarnya di medsos ngawur, bernada menghasut, provokasi dan cendrung membabi-buta," jelasnya.
Anehnya, Hendrik melanjutkan, di dalam kelompok ini ada Yosef Serong. Dalam berita sebuah media online, Yosef mengatakan bahwa tanah Pelabuhan Wae Kelambu, lingko Menjerite dan Nerot milik masyarakat adat Mbehal.
Kampung Mbehal itu jauh berada dibalik gunung. Antara Mbehal dengan Nerot dan Menjerite melewati kampung adat Wangkung, Rareng, Rai, Tebedo, Terlaing dan Lancang. Setiap kampung itu ada gendang dan lingkonya.
"Tidak masuk akal, kampung adat Mbehal yang berada dibalik gunung tiba-tiba mengklaim tanah milik masyarakat Terlaing dan Lancang",kata dia.
Selain video yang viral di medsos, Hendrikus Jempo juga mengatakan bahwa pemicu yang kedua merupakan peta rekayasa yang dibuat saudara Bonavantura Abunawan (BA). Peta tersebut dibuat untuk memuluskan rencananya mencaplok sebagaian tanah Rareng, Wangkung, Rai, Teraling dan Lancang. Akibat perbuatannya BA dilaporkan ke Polda NTT, dan hingga saat ini status tersangka BA masih aktif.
Baca juga: 'Korut Menembakkan Rudal Balistik di Lepas Pantai Timurnya,' Kata Pejabat Korsel dan Jepang
"Memang pemicunya peta rekayasa yang dibuat saudara Bonavantura Abunawan "Peta Wau Pitu Gendang Pitu Tanah Boleng" yang mencaplok sebagian tanah adat Rareng, Wangkung, Rai, Terlaing dan Lancang. Atas ulahnya ini, ia dijebloskan di penjara Polda NTT, "tambah Hendrik.
Mengenai Doni Parera, Hendrik juga menambahkan bahwa “saudara Parera ini tampaknya tidak tahu sejarah tanah adat ini. Saya mendapat informasi bahwa saudara Parera ini bekerja di Lembaga Swadaya masyarakat (LSM). Jika informasi ini benar, seharusnya dia berkarya untuk memberdayakan dan membimbing masyarakat.”
"Tetapi dengan aksi provokasi dan menghasut masyarakat, saya duga orang ini LSM gadungan, hanya merusak masyarakat. Saya juga dapat informasi bahwa diduga ada yang mensponsori aksi Parera ini," tutup Hendrik. (Paul R) ***
3 bulan yang lalu
7 bulan yang lalu