PPPK
Jumat, 25 Maret 2022 15:20 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
BAGI saya mempersoalkan THL dalam forum terhormat melalui sidang DPRD beberapa hari yang lalu ataupun juga melalui forum reses, harus dijadikan sebagai momentum bagi Pemda, baik legislatif maupun Bupati dan perangkatnya. Mencanangkan dan memimpin Gerakan budaya Malu (GBM) di Daerah tercinta ini.,
Gerakan Budaya Malu yang pernah diterapkan secara nasional pada jaman Orde Baru dulu. Gerakan dan istilah yang sangat melekat dan bahkan menjiwai hidup dan kehidupan orang Manggarai dalam segala aspek dan arah.
Budaya malu atau dalam bahasa Manggarainya 'Ritak' harus di-take over oleh kita semua terutama yang berkarya dengan mendapatkan gaji dan kenikmatan lainnya dari negara (baca dari Rakyat). Lantas, pertanyaannya adalah dalam hal apa dan siapa yang harus merasa dan menanggung malu itu?
Mari kita mengawali Litani Malu ini dgn malunya THL dalam tanda petik sebagai entry pointnya.
Pertama, kita semua harus malu. Pemda dan segenap warga Manggarai sejak awal tahun menjadikan THL ini sebagai masalah akbar yang jauh melampaui masalah covid, kelangkaan pupuk, petani miskin, pelayanan rumah sakit, infrastruktur jalan jembatan, pelecehan seksual dan lainnya. Besar apa THL ini sampai begitu menyita energi Bupati dan DPRD hingga dibahas pada forum terhormat lagi? Mari kita merenungkan ini secara bersama.
Kedua, malu menjadi THL. THL adalah Tenaga Harian Lepas satu istilah dan status yang merendahkan martabat kemanusiaan. Saya heran seorang sarjana malu menjadi petani dan kerja kebun serta malu menjadi penjual sayur yang justru bermartabat. Sebaliknya, merasa tidak malu bahkan rebutan dan bangga menjadi Tenaga Harian Lepas (THL) lagi.
Setahu saya, THL itu bukan pegawai melainkan tenaga yang dicari karena ada program yang anggarannya sudah ada dalam dokumen tahunan dan butuh tenaga pendukung program itu dan hanya untuk satu tahun.
Dia tidak perlu lamar ke Bupati, tidak perlu SK Bupati, cukup dengan perjanjian kerja antara tenaga itu dengan pengelola atau pemilik program. Dalam perjanjian itu termuat hak dan kewajiban para pihak.
kontraktual dia.Nah, yang bekerja hanya setahun itu, masa depan tidak dijamin. Lalu, kenapa ya diperebutkan? saya tidak habis mikir ini. mari kita merenungkan.
Ketiga, malu merekayasa Program hanya untuk mengakomodir Tenaga Harian Lepas (THL). Perencanaan dan program itu ada ilmunya. Ada aturannya dan ada mekanismenya. Ada masalah, ada prioritas, ada input, output outcome dan lainnya. Dan sampai pada satu titik disetejuinya di forum DPRD. Dan jadilah APBD.
Pertanyaannya sekarang, apa masalah di kantor itu sampai harus ambil solusi kebijakan rekruit Tenaga Harian Lepas dan disetujui DPRD. Saya tidak habis pikir ini. Mari kita merenungkan.
Keempat, malu bahwa DPRD sudah menyetujui program rekruit Tenaga Harian Lepas (THL) itu. Lalu mempersoalkannya lagi waktu THL melaksanakan tugas. Bahkan lebih malu lagi mengaku malu terkait THL ini, terutama cara perekrutannya. Apa karena tidak melibatkan mereka? Ataukah karena ada jatah yang tidak terakomodir? Saya teringat akan istilah Rungka yang pernah meramaikan forum media beberapa minggu lalu itu. Saya tidak habis mikir juga. Mari kita merenungkannya juga.
Wah, kalau harus diteruskan, 40 hari puasa pun tidak cukup untuk merenungkan litani rasa malu ini. Isi dan renungkan sendiri. Dilarang oleh UU bahwa pejabat mengambil kebijakan yang menguntungkan diri sendiri, keluarga dan kelompok politik, dagang, arisan dan sebagainya. Selamat menjalani masa Puasa bagi yang mengimaninya. Mari kita merenungkannya selagi masa puasa. *
*Agus Kabur adalah seorang pensiunan yang lama mengabdi di lingkup pemerintahan, menjadi Kader Partai Demokrat.