Rusia
Senin, 28 Februari 2022 21:41 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
INVASI Rusia ke Ukranian mulai Kamis, 24 Februai lalu, telah menyedot perhatian warga dunia. Sembari berdoa dan memandang dengan hati pilu kepada Ukraina, warga dunia melirik dengan ekspresi heran bercampur marah kepada Rusia, terutama kepada presidennya, Vladimir Putin.
Warga dunia seakan tak percaya, mengapa Putin yang selalu tampil dengan gaya pria ‘masa kini’ kok memiliki hati yang kolot dan kejam, sehingga tidak tega mengambil keputusan kontraversial, menginvasi Ukraina.
Boleh jadi tak banyak menyadari kalau peringai Putin yang rada aneh sudah menjadi ‘obyek’ studi banyak akademisi, politisi dan penulis kelas dunia.
Salah satunya adala Celest A. Wallander. Wallander sebelumnya adalah profesor pemerintahan di Universitas Harvard (1989–2000), rekan senior di Dewan Hubungan Luar Negeri (2000–2001), direktur dan rekan senior Program Rusia dan Eurasia di Pusat Studi Strategis dan Internasional (2001 –2006), dan profesor tamu di Universitas Georgetown (2006–2008).
Wallander mendirikan Program Pendekatan Baru untuk Keamanan Rusia dan Proyek Strategi Eurasia.
Wallander adalah asisten khusus presiden dan direktur senior untuk Rusia dan Eurasia di Dewan Keamanan Nasional dari 2013 hingga 2017.
Sebelumnya di pemerintahan Obama, ia menjabat sebagai wakil asisten menteri pertahanan untuk Rusia/Ukraina/Eurasia di Kantor yang bekerja di bawah arahan Menteri Pertahanan untuk Kebijakan, dari Mei 2009 hingga Juli 2012.
Wallander juga adalah penasihat Barack Obama selama kampanye utama Demokrat 2008.
Pada Juli 2021 lalu, Wallander merilis sebuah artikel di Journal of Democracy.Artikelnya bertajuk ‘How the Putin Regime Really Works”.
Artikel tersebut merujuk ke dua buku tentang Putin. Rujukannya yang pertama adalah buku karya Kathryn E. Stoner berjudul “Russia Resurrected: Its Power and Purpose in a New Global Order,” terbitan New York: Oxford University Press, (2021). Buku kedua, karya Timothy Frye, berjudul “Weak Strongman: The Limits of Power in Putin’s Russia” terbitan Princeton: Princeton University Press, (2021).
Setelah mencerna kedua buku tersebut Wallander menulis bahwa kedua penulis buku tersebut mengajukan dua pertanyaan sebagai berikut: Pertama, apakah Presiden Vladimir Putin seorang diktator yang sangat berkuasa, dan acanam demokrasi yang harus ditakuti? Kedua, apakah rezim Rusia akan diberhentikan sebagai bayangan pucat Soviet dan Tsar masa lalu, hidup dari hidrokarbon dan cadangan nuklir era Perang Dingin?
Wallander kemudian menyimpulkan bahwa kedua penulis buku tersebut tidak sedang berdebat.
Meskipun Timothy Frye berfokus pada cengkeraman rezim Putin pada masyarakat Rusia, dan Kathryn E. Stoner pada kemampuan berakrobat di pentas dunia internasional, kedua penulis sampai pada titik umum seputar tindakan, tujuan, kekuatan, dan kelemahan Rusia berakar pada otokrasi personalistik yang telah terkonsolidasi sejak pemilihan Putin pada tahun 2000.
Sederhananya, menurut Wallander, kedua penulis tersebut sepakat bahwa ‘Putinisme adalah sumber kebangkitan sekaligus biang utama dari kerentanan Rusia’.
Sorotan kedua penulis itu, ungkap Wallander, memang sangat mengena. Pasalnya, Bank Dunia mencatat, dari tahun 2003 hingga 2008, ekonomi Rusia yang bertumpu pada bahan bakar minyak tumbuh pesar, rata-rata tumbuh tujuh persen per tahun.
Namun, sejak runtuhnya Komunisme pada awal 1990-an, Rusia mengalami kesulitan dalam melakukan transisi dari ekonomi terencana terpusat ke ekonomi berbasis pasar.
Kebijakan ekonomi dibuat sesuai dengan arahan dari Partai Komunis, yang mengendalikan semua aspek kegiatan ekonomi. Sebagian besar sumber daya ekonomi dikelola untuk memuaskan segelintir elit Rusia yang rakus, tentu saja termasuk Putin sendiri. Sisanya baru untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, yang berjumlah yang sekitar 144,2 juta per 2020.
Akibatnya, Putin dan para elit Partai Komunis memiliki harta kekayaan yang luar biasa banyaknya.
Menurut Kremlin, Putin menghasilkan sekitar 8,6 juta rubel per tahun ($A149.000), tetapi, menurut para ahli, ini jauh dari tingkat kekayaannya yang sebenarnya.
Pemimpin Rusia lainnya dikabarkan memiliki banyak rumah, armada kapal pesiar, mobil, dan bahkan istana kepresidenan rahasia senilai ratusan miliar dolar.
Mantan penasihat pemerintah Rusia Stanislav Belkovsky baru-baru ini memperkirakan kekayaan Putin bernilai sekitar $US70 miliar ($A97,4 miliar), sementara manajer hedge fund AS Bill Browder mengatakan kepada The Washington Post bahwa nilainya lebih dari $US200 miliar ($AS 278,4 miliar) .
Analis lain justru menduga bahwa harta kekayaan bersih Putin yang sebenarnya jauh lebih tinggi dari nilai tersebut.
Potret demikian, menegaskan bahwa Putin adalah seorang kuat yang lemah (Weak Strongman).
Artinya Putin tampak kuat karena tega mengumpulkan pundi-pundi bagi dirinya, termasuk mengamankan statusnya dengan menyuap para elit politik di sekelilingnya.
Namun, cara itu membuktikan bahwa adalah seorang ‘pemimpin’ yang lemah karena tak mampu membangun ekonomi negaranya secara kokoh.
Itu sebabnya, saat diterpa krisis ekonomi global 2008 dan dihajar sanksi internasional atas tindakannya mencaplok Krimea tahun 2014, dikombinasikan dengan korupsi akut, dan perilaku bisnis predator, ekonomi Rusia yang tumbuh cepat, segera goyah.
Semenjak itu dinamika politik, ekonomi, dan sosial Rusia beroperasi di bawah bayang-bayang Putin yang berkepribadian ambigu: ‘Weak Strongman’ semakin tak jelas arahnya.
Keadaan menjadi semakin runyam karena rakyat Rusia samasekali tiak berdaya meminta pertanggungjawaban Putin, seperti yang dilakukan warga negara dalam demokrasi.
Terlepas dari kekuatan represif negara, protes rakyat Rusia yang dimotori oleh sejumlah oposisi yang berani sempat terjadi.
Ketika gubernur Khabarovsk yang terpilih secara populer ditangkap dalam langkah yang jelas untuk menggantikannya dengan seorang loyalis Kremlin pada tahun 2020, kawasan Rusia Timur jauh diguncang gelombang demonstrasi. Waktu itu protes pecah di lebih dari delapan puluh kota besar dan kecil.
Tentu saja gelombang protes itu muncul lantaran rakyat semakin kecewa pada Putin dan orang-orang di sekitarnya yang menikmati bagian terbesar dan terlezat dari ‘kue ekonomi’ Rusia.
Kemerosotan tingkat kepercayaan rakyat atas Putinisme tampak nyata dari survei yang dilakukan Levada Center. Menjelang pemilu legislative 2021, tercatat hanya 49 persen rakyat Rusia yang percaya bahwa kebijakan politik dan ekonomi Putin berada di jalur yang benar, dan 41 persen melihat sebaliknya.
Persentase tersebut jauh berbeda dari dari hasil survei 2018. Waktu itu 60 persen rakyat setuju dengan langkah Putin, 25 persen tidak setuju,dan 15 persen menyatakan tidak tahu.
Melihat tren kemerosotan tingkat kepercayaan rakyat atas kebijakan pemerintahannya, Putin yang disebut ‘Weak Strongman’ menjadi semakin kalut, bertindak semakin represif.
Ia mulai berakrobat dengan berupaya mencitrakan diri sebagai pemimpin yang kuat dan Rusia yang ‘besar’ dengan menggalang kekuatan militer Rusia yang lebih besar.
Langkah itu, seperti ibara proses euthanasia, membuat Rusia bergerak ‘kerapuhan ekonomis’ yang makin hebat lagi.
Putin mulai kehilangan kendali denganmembungkam kebebasan berbicara, melarang kritik sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Bahkan, pada Agustus 2020 ia diduga menjadi dalang dari kematian akibat racun, tokoh oposisi politik paling vokal di Rusia, Alexei Navalny.
Dalam konteks internasional, Putin mulai beraksi secara serampangan. Pada 2010-an ia menyokong Presiden Ukraina Viktor Yanukovych gemar mengontrol media dan melakukan sensor atas kandidat oposisi
Tahun 2016, ia memerintahkan agen rahasianya untuk mempengaruhi Pemilu AS yang berujung pada kemenangan Donal Trump.
Ia kemudian juga secara terang-terangan berkolaborasi dengan rezim diktator Venezuela, Hugo Chaves.
Bahkan, semenjak mengkudeta pemerintahan sipil, Putin diketahui secara diam-diam menjalin kerja sama militer dengan junta militer Myanmar.
Di Ukraina, setelah ‘konco’nya Viktor Yanukovych terdepak dari kursi kepresidenan pada 2014, Putin lalu mencari-cari alasan untuk menguasai Ukraina. Semenjak itu, Putin sering melontarkan tuduhan bahwa Ukraina diambil alih oleh para ekstremis, sehingga Rusia beralasan untuk untuk menyokong etis Rusia di wilaya Ukraina untuk memerdekakan diri.
Ulah si Weak Strongman itu memicu pemberontakan di wilayah timur Ukraina, sebuah perang yang merenggut tak kurang dari 14.000 nyawa.
Ulah Putin berikutnya adalah membatalkan kesepakatan damai 2015 untuk wilayah timur dan mengakui wilayah di bawah kendali pemberontak sebagai wilayah yang merdeka.
Pada saat yang bersamaan, Putin menolak langkah Ukraina menuju Uni Eropa dan aliansi militer defensif Barat, NATO.
Makanya, ketika mengumumkan invasi Rusia, pada 24 Februari lalu, Putin menuduh NATO sebagai pihak yang mengancam "masa depan” negaranya.
Begitulah, gambaran kepribadian ganda mantan kepala agen rahasia KGB itu.
Nah, apa maknanya bagi dunia?
Ketika mengulas buku Timothy Frye mengangkat ‘Weak Strongman’, Joshua C. Huminski, direktur The Mike Rogers Center for Intelligence & Global Affairs, AS menyatakan begini: ’Julukan Weak Strongman menjelaskan dua bidang yang berbeda namun saling terkait.”
Di permukaan, katanya, ini jelas tentang batas kekuasaan Putin dan struktur politik yang didudukinya—otokrasi personalis. Tapi itu juga sangat mencerahkan masyarakat dunia untuk memahami keadaan masyarakat politik dan sipil Rusia kontemporer.”
Jadi, gambaran ‘Weak Strongman’ setidaknya membuat kita (warga dunia) sedikit mengerti mengapa Putin membuat keputusan ‘gila’, melancarkan aksi invasi atas Ukraina mulai empat hari lalu.
Berhadapan dengan kegilaan seperti itu, jalan utama yang sebaiknya dilakukan para pemimpin dan warga dunia adalah berdoa sebagaimana Paus Fransikus dan para pemimpin dunia lainnya.
Melalui doa, kita berharap, Putin segera sembuh dari ‘kegilaan’ nya.
Ya, tanpa doa dan campur tangan Tuhan, dunia bisa saja terseret ke dalam ‘kegilaan’ serupa Putin.
Kalau itu sampai terjadi, maka dunia akan masuk dalam pusaran perang besar yang sulit diprediksi sampai di mana ujungnya. * (Maxi Ali Perajaka) ***