Pemda Mabar Cabut Status Warga Transmigran di Desa Raba-Macang Pacar, Warga Geram dan Datangi DisnakerTranskop-UKM

redaksi - Jumat, 18 Maret 2022 17:44
Pemda Mabar Cabut Status Warga Transmigran di Desa Raba-Macang Pacar, Warga Geram dan Datangi DisnakerTranskop-UKMGedung Kantor Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, Koperasi dan UKM Kabupaten Manggarai Barat di Labuan Bajo. (sumber: Tedy Ndarung)

LABUAN BAJO (Floresku.com) - Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat (Pemda Mabar) melalui Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, Koperasi dan UKM (DisnakerTranskop-UKM) Mabar mengeluarkan surat pemberitahuan pencabutan status sebagai warga transmigran UPT Longge, Desa Raba, Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Mabar.

Surat tersebut dikeluarkan pada tanggal 08 Maret 2022 dengan nomor surat; TKT.560/71/PHITRANS/III/2021.

Berdasarkan isi surat itu, pihak DisnakerTranskop-UKM sengaja mencabut status warga karena hampir dua tahun belakangan warga transmigran itu tidak menempati lokasi transmigrasi.

Menanggapi surat itu, masyarakat transmigrasi itu geram dan langsung mendatangi Kantor DisnakerTranskop-UKM) Mabar.

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh warga transmigrasi itu kepada media ini, Jumat, 18 Maret 2022, pihaknya tidak menerima jika statusnya dicabut. Karena mereka meninggalkan lokasi dengan alasan yang jelas.

Damianus Jehati, salah satu warga Transmigrasi dari Desa Kolang, Kecamatan Kuwus Barat menyampaikan, pada tanggal 8 Maret kemarin, pihak Nakertrans Mabar mengirimkan surat dan mendatangi warga transmigrasi yang mendiami Desa Kolang.

"Pihak Dinas membawa serta surat pemberitahuan pencabutan status sebagai warga transmigrasi dengan alasan yang tidak dapat kami terima", kata Damianus.

Ia mengakui bahwa benar warga meninggalkan lokasi. Tetapi sikap itu bukan tanpa alasan yang jelas.

"Betul warga meninggalkan lokasi, tetapi mempunyai alasan yang jelas. Sejak rumah transmigrasi digunakan dan sejak warga ditempatkan di lokasi transmigrasi itu, air sudah tidak ada di sana. Air minum itu ada hanya selama dua bulan saat proyek pembangunan rumah transmigrasi dikerjakan. Setelah itu tidak ada. Padahal air itu kebutuhan dasar manusia", tegas Damianus.

Damianus juga menjelaskan bahwa pada saat air tidak ada mereka terpaksa menimba air ke sungai dengan jarak dua kilo meter, dan melewati jurang dan tebing.

"Kami tidak tahu air pada awal-awal itu datang dari sumber mana, karena air itu persis hanya dua bulan saja ada. Setelah itu habis, sekalian dengan pipa-pipanya hilang semua. Sejak itu, warga tempati lokasi tanpa air minum. Untuk mendapatkan air, warga harus berjalan sejauh dua kilo menuju sungai. Jalannya melewati jurang-jurang lagi. Kondisi itu berlangsung selama beberapa tahun", katanya.

Ia juga menjelaskan, terhadap persoalan itu, warga sudah menyampaikan ke Nakertrans Mabar, meminta agar menyediakan air minum di lokasi itu. Tetapi tidak ada realisasi, hanya habis dengan janji.

Selain masalah air di sana, akses jalan juga tidak ada. Jalan menuju lokasi itu ada beberapa titik tidak pernah diperbaiki.

Hal lain yang menjadi persoalan, yakni bangunan yang dibuat oleh Dinas Nakertrans tidak memenuhi syarat untuk ditempati. Semua konstruksi WC terutama sistem coran pada bagian penutup lubangnya tidak menggunakan besi, tapi menggunakan kayu.

Situasi ini yang sering membuat warga mengalami kecelakaan, yaitu jatuh di lobang WC.

Alasan-alasan itu yang membuat warga pulang kampung, tapi lahan-lahan mereka tetap dikerjakan. Artinya, mereka tidak meninggalkan secara terus-menerus lokasi itu.

Damianus menjelaskan, biasanya selama ini ketika warga kembali ke kampung, mereka pergi mengambil beras dan menjumpai anak-anak. Mereka tidak bisa membawa serta anak-anak ke lokasi transmigrasi karena kebutuhan dasar seperti air tidak ada.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sejarah tanah itu bukan lokasi transmigrasi, tapi pemerintah Mabar membangun rumah transmigrasi di tanah milik mereka tanpa sepengetahuan masyarakat.

"Penolakan kami jelas. Silakan turunkan SK pencabutan, tetapi kami tetap menempati lokasi. Karena translok Rempang dua itu, penempatan berdasarkan kepemilikan tanah. Rumah transmigrasi yang dibangun di sana itu di atas tanah milik kami. Kalau mau cabut, silakan. Bongkar rumah-rumahnya dan tanahnya tetap kami tempati karena itu milik kami", ujar Damianus lagi.

Ia menerangkan, dulu Pemerintah langsung bangun saja rumah transmigrasi di situ tanpa ada serah terima dari warga.

“Jelas di situ, kalau diperiksa di Nakertrans itu tidak ada penyerahan dari warga. Itu tanah milik kelompok orang kolang, Lenga berdasarkan kapu manuk lele tuak pada tahun 2002 ke Ulayat Longge dengan uang sebesar 5 juta, satu ekor babi, kambing, ayam dan rokok sesuai aturan adat. Itu semua sudah dipenuhi.,” teragnya.

Dan Ulayat longge menyerahkan tiga lingko tanah di lokasi translok sekarang. Acara itu disaksikan oleh camat Macang Pacar, Dinas Kehutanan, pihak Polri, TNI dan POLPP. Sehingga sah tiga lingko itu menjadi hak milik warga Kolang Lenga sejak tahun 2022", katanya, menambahkan..

Kemudian pada tahun 2004 atau 2006 Pemda Mabar membangun rumah transmigrasi di Desa Raba. Untuk tahap pertama, tidak dibangun di atas lokasi warga Kolang Lenga.

Tetapi, untuk tahap kedua, tahun 2015 pihak Pemda Mabar tiba-tiba bangun saja di lokasi warga Kolang Lenga. Sehingga pada saat itu terjadi keributan antara pemilik tanah dengan pihak transmigrasi.

Namun, persoalan pada waktu itu dicari jalan tengah, yakni program tidak dibatalkan, tapi dilanjutkan dengan catatan bahwa pemilik tanah dalam hal ini warga Kolang Lenga berhak mendapatkan bagian dari rumah transmigrasi itu. Itulah yang membuat warga mendapatkan rumah dari program itu.

Sementara itu, Kepala Dinas Nakertrans Mabar, Theresia Purnama Asmon menyampaikan bahwa surat kemarin itu teguran karena warga meninggalkan lokasi.

"Iya, bagus dong mereka menanggapi dengan datang langsung ke kantor, menjelaskan kronologis karena semua hal yang kita lakukan itu berdasarkan runutan dari proses administrasi sebelumnya", kata Theresia.

Theresia menjelaskan, dari tahun 2018 ada surat peringatan pertama, 2019 ada surat peringatan kedua. Sampai surat kemarin itu keluar, sehingga membuat masyarakat datang dan menemukan solusi bahwa mereka harus membuat laporan tertulis berkaitan dengan point-point keberatan.

"Dari laporan sebelumnya bahwa mereka meninggalkan lahan, ternyata dari konfirmasi masyarakat, mereka menggarap lahan usahanya dibuktikan dengan mereka sudah menanamkan berbagai macam komoditi", kata Theresia.

Theresia mengakui bahwa warga meninggalkan lokasi karena ada alasan yang jelas.

"Mereka hanya meninggalkan rumah karena di tempat yang mereka tinggal, air tidak tersedia", kata Mantan Kepala Dinas Peternakan Mabar itu.

Ia pun menjelaskan, solusi dari Dinas sekarang, yaitu warga harus klarifikasi dulu surat secara tertulis sehingga itu menjadi acuan bagi Dinas Nakertrans untuk mengadvokasi lebih lanjut. Misalnya, ke Bupati untuk support lebih lanjut terkait kebutuhan dasar seperti air. (Tedy N). ***

Editor: redaksi

RELATED NEWS