Sabtu, 13 November 2021 11:17 WIB
Penulis:redaksi
PADA peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 2021, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan kepada 4 orang yang dinilai berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia, salah satunya adalah Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia.
Ada banyak syarat atau kriteria bagi seseorang untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional. Antara lain, orang tersebut sudah meninggal dunia, tetapi selama hidupnya telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik politik/perjuangan dalam bidang lain mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Dengan syarat dan kriteria ini maka tidaklah mudah bagi seseorang untuk mendapatkan gelar pahlawan. Oleh karena itu sejak Indonesia merdeka 1945 hingga sekarang belum sampai 200 orang yang mendapat gelar pahlawan.
Adakah pahlawan lokal kedaerahan?
Jika merujuk pada kriteria dan syarat tentang pahlawan nasional tersebut di atas, rasanya mereka yang berjuang dan berjasa dalam bidang tertentu di tingkat lokal atau daerah, dan bukan dalam perjuangan senjata atau politik tidak masuk kriteria sebagai pahlawan nasional. Padahal ada banyak orang, yang berjuang dan berjasa dalam bidang tertentu di lingkup daerah bagi masyarakat.
Misalnya mereka yang berjuang dan berjasa di bidang pendidikan atau persekolahan. Mereka telah membaktikan hidup dan karya mereka untuk mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa. Anak-anak ini kemudian berkarya dan menularkan kepandaiannya kepada anak-anak generasi berikut, baik di daerah asalnya maupun di daerah lain di mana mereka berkarya.
Sebagai contoh adalah Pastor Frans van Lith SJ di Jawa Tengah dan Pastor Frans Cornelissen SVD di Flores. Mereka telah mendidik dan mengajar putra-putri Indonesia dari suku Jawa dan Flores/Nusa Tenggara Timur menjadi orang-orang terdidik, terpelajar, dan para anak didik ini kemudian terjun ke berbagai profesi yang langsung atau tidak langsung menyumbang kepada perkembangan dan kemajuan Indonesia. Banyak orang mengetahui dan mengakui hasil karya dan pengabdian mereka di bidang pendidikan. Mereka adalah Warga Negara Indonesia (WNI) walaupun keturunan dan kelahiran Belanda.
Kalau negara belum mengakui kedua tokoh pendidik ini – van Lith dan Cornelissen – sebagai pahlawan, toh masyarakat di daerah-daerah di mana mereka bekerja dan mengabdi, dan yang telah merasakan jasa mereka, mengakui dan menghargai mereka sebagai pahlawan. Ada atau tidak adanya pengakuan, mereka telah melakukan apa yang terbaik yang bisa mereka sumbangkan bagi masyarakat.
Tentang Pastor van Lith SJ dan Pastor Cornelissen SVD, kiranya cukup banyak publikasi tentang hidup dan karya mereka yang bisa dibaca di buku-buku atau di google.
P. Cornelissen: Pahlawan Pendidikan
Herman Joseph Gadi Djou, mantan bupati kabupaten Ende – Flores, Nusa Tenggara Timur (1973-1983) adalah pejabat pemerintah pertama yang secara lantang menyatakan bahwa “Pater Cornelissen SVD adalah Pahlawan Pendidikan bagi masyarakat Flores dan NTT”. Hal ini dikatakan dalam sambutannya pada misa requiem di gereja Onekore, Ende pada hari Minggu 13 Februari 1983, untuk melepas almarhum P. Cornelissen, yang meninggal sehari sebelumnya, ke pemakaman. Di hadapan umat dan masyarakat yang hadir, Gadi Djou menegaskan tentang keberhasilan P. Cornelissen dalam meletakkan dasar bagi anak-anak daerah Flores untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan mengemban fungsi-fungsi penting pemerintahan dalam membangun bangsa dan negara Indonesia. “Tanpa usaha Pater Cornelissen, kita sekarang ini belum apa-apa” ujar Gadi Djou lulusan B1 Pendidikan di Ende, 1956-1957, yang dirintis oleh P. Cornelissen.
Sementara itu P. Willy Lehman SVD, Vikjen Keuskupan Agung Ende, menyatakan bahwa P. Cornelissen tepat disebut ‘peletak dasar Gereja Katolik di Flores’ karena tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya untuk merintis jalan bagi pendidikan imam lewat seminari dan juga pendidikan awam (umum) melalui sekolah-sekolah yang dirintis dan diselenggarakannya atas nama Gereja. Dia melaksanakan tugas-tugas itu dengan segenap pengabdian dan memang berhasil.
Saya ingin mengulas sedikit mengenai hidup dan karya Pastor Cornelissen berdasarkan buku biografinya yang ditulis Pater Alex Beding SVD. Buku tersebut berjudul “Pater F. Cornelissen SVD – Pahlawan Pendidikan di Flores dan Nusa Tenggara Timur”, terbitan 2019. Sebagai editor buku ini, saya menikmati ketika mengerjakan editing dan proses produksi bahkan sampai mengantar sendiri buku yang sudah dicetak kepada penulisnya P. Alex Beding di Ledalero, Maumere – Flores awal September 2019. Mengapa?
Saya kenal, tahu dan sempat beberapa kali bertemu dengan P. Cornelissen di seminari Mataloko, di SPG Don Bosco Maumere dan kemudian di biara St. Josef, Ende. Penulis buku ini P. Alex Beding, adalah guru dan mentor saya. Dan saya terkesan akan apa yang diutarakan Superior General SVD Pastor Paulus Budi Kleden pada pengantar buku ini. Menurut P. Budi Kleden, buku ini merupakan suatu dokumentasi yang penting mengenai hidup dan karya P. Cornelissen dan kesaksian-kesaksikan tentang tokoh itu, dan juga menampilkan P. Cornelissen sebagai model pendidik yang visioner sekaligus praktis. Dunia memerlukan model, teristimewa jika pendidikan itu hendak berorientasi kepada pendidikan nilai.
Pater Cornelissen telah menjalankan karya pelayanannya di bidang pendidikan, melalui tiga zaman yaitu masa kolonial Belanda, pendudukan militer Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia. Untuk karya pengabdiannya, dia dianugerahi penghargaan bintang “Ridder in de Orde van Oranje Nassau” dari Kerajaan Belanda untuk dedikasi dalam menunaikan tugasnya selama Perang Dunia II dan pendudukan Jepang di Indonesia.
Sri Paus Paulus VI di Vatican memberikan penghargaan “Pro Ecclesia et Pontifice” kepada P. Cornelissen sebagai pionir dan peletak dasar pendidikan imam pribumi ketika membuka dan memimpin seminari pertama di Flores tahun 1926.
Pemerintah Indonesia, provinsi Nusa Tenggara Timur dalam sidang istimewa DPRD kabupaten Ende, telah menyerahkan Piagam Penghargaan pada 10 Juli 1972 kepada P. Cornelissen atas segala jasanya bagi pembangunan masyarakat di bidang pendidikan dan persekolahan.
P. Cornelissen SVD atas permohonannya sendiri, telah menjadi Warga Negara Indonesia pada tahun 1970.
Karya P. Cornelissen di bidang Pendidikan
Karya P. Cornelissen di bidang pendidikan di Flores berlangsung selama 60 tahun dan terbagi dalam dua bidang yaitu pendidikan Calon Imam di seminari dan pendidikan umum bagi kaum Awam lewat Persekolahan Katolik. Salah seorang mantan muridnya yakni P. Lambert Lame Uran SVD, menguraikan secara mendetil karya P. Cornelissen dalam Pendidikan Seminari Menengah dan Pendidikan Katolik Umum. Selama 20 tahun (1926-1946) karyanya di Flores, P. Cornelissen mengemban tugas pendidikan calon-calon Imam. Lalu 29 tahun berikutnya (1946-1975) dia menangani Persekolahan Katolik umum.
Akan menjadi terlalu panjang kalau mengurai karya-karya P. Cornelissen di bidang pendidikan ini. Oleh karena itu saya turunkan saja ikhtisar tugas dan karya P. Cornelissen sebagaimana ditulis P. Alex Beding dalam buku ini.
Pada tanggal 2 Februari 1926, P. Cornelissen membuka seminari pertama di Sikka, Flores untuk mendidik calon imam. Pada 1929, seminari itu dipindah ke Todabelu/Mataloko. Pada masa pendudukan Jepang, para misionaris Belanda termasuk P. Cornelissen ditawan, tetapi kemudian dia dilepaskan supaya tetap memimpin seminari di Mataloko.
Pada tahun 1946, P. Cornelissen dibebastugaskan dari seminari dan diangkat jadi Inspektur Sekolah Misi (Gereja Katolik) di Flores. Dia lalu mendirikan Normaalschool untuk pendidikan guru sekolah rendah 6 tahun. Pada 1951, dia membuka SGA (Sekolah Guru Atas) di Mataloko, tetapi sekolah itu kemudian dipindahkan ke Ende dan diserahkan pengelolaanya kepada Frater-frater Bunda Hati Kudus (BHK).
Pada 1952 dia diangkat jadi Kuasa Usaha Persekolahan Katolik di Flores. Tahun berikutnya 1953, dia membuka SMA Syuradikara di Ende, dengan direktur pertamanya P. Jan Ebben SVD. Pada tahun yang sama dia membuka SGB (Sekolah Guru Bawah) di Ruteng, Todabelu, Boawae, Ndoma, Lela, Maumere dan Larantuka.
Pada 1954 dia minta P. Lambert Lame Uran yang berijazah lengkap Pedagogik untuk membuka kursus B1 untuk mendidik guru-guru yang akan mengajar di SGA. Sedangkan untuk mendapatkan guru-guru yang akan mengajar di SMA (Sekolah Menengah Atas), dibuka B1 pelbagai jurusan.
Pada 1957, dibuka kursus B1 Sejarah yang dipimpin oleh P. Piet Petu dan kursus B1 Bahasa Indonesia yang dipimpin P. Karel van Trier.
Untuk menjamin masa pensiun para guru, P. Cornelissen mendirikan sebuah dana pensiun bagi para guru yang disebut “Senjakala”. Dia juga menyiapkan anggaran dasar untuk mendirikan yayasan Vedapura, yang dibentuk pada 1955.
Pada 1963, P. Cornelissen membuka dan mengelola SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Don Bosco di Maumere, yang kini sudah berganti jadi SMAK St. Johanes Paulus II.
Selain karyanya di bidang pendidikan dan persekolahan, P. Cornelissen juga seorang penulis yang produktif. Dia pernah memimpin dan menulis untuk majalah-majalah yang diterbitkan oleh Misi di Flores. Dia menulis mengenai pengalaman misionernya, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah persekolahan, pendidikan dan sebagainya. Makanya tidak salah kalau P. Alex Beding menyebut P. Cornelissen sebagai seseorang penulis yang ‘penanya subur’.
Pada 1925, Misi SVD di Flores menerbitkan “Bintang Timoer” – majalah bulanan bergambar, 16 halaman dengan kantor redaksi di Lela – Maumere. Mula-mula dipimpin oleh P. Fries kemudian dilanjutkan oleh P. Cornelissen. BT dicetak di percetakan Kanisius Yogyakarta dan dikirim untuk diedarkan di Flores dan sekitarnya. Pada 1927 setelah dibangun percetakan Arnoldus di Ende, majalah ini dicetak di Ende. BT diakhiri penerbitannya pada 1937 akibat kesulitan keuangan.
Hampir bersamaan waktunya, P. Cornelissen juga menulis untuk majalah misi di Belanda, “De Katholieke Missien”.
Beberapa tahun kemudian Misi Flores menerbitkan majalah “Bentara” dan “Anak Bentara” yang dipimpin oleh P. Adrianus Conterius. P. Cornelissen sendiri menjadi salah seorang kontributor tulisan yang aktif dan produktif untuk penerbitan tersebut.
Pada 1974, Misi menerbitkan majalah umum dwimingguan DIAN dan majalah anak-anak bulanan KUNANG-KUNANG yang dipimpin oleh P. Alex Beding, P. Cornelissen juga juga diminta untuk menyumbang tulisan-tulisan.
Fransiscus Johannes Josephus Cornelissen lahir di Tilburg, Noor Brabant, Belanda pada 16 Maret 1896. Ayahnya Johannes Baptist Cornelissen dan ibu Lucia M. Smeur. Ditahbiskan menjadi Imam Diosesan di Den Bosch pada 29 Mei 1920, kemudian masuk novisiat SVD di Helvoirt 4 Oktober 1922 dan mengikrarkan kaul pertama sebagai Imam SVD (Societas Verbi Divini) 1 November 1923. Berangkat ke Indonesia 2 Oktober 1925 dan tiba di Ende, Flores 25 November 1925. Wafat di Ende 12 Februari 1983.
Oleh: Ans Gregory da Iry, Bogor, 13 November 2021. ***