labuan bajo
Sabtu, 09 April 2022 09:26 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
LABUAN BAJO (Floresku.com) - Kehadiran Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores (BPOLBF) yang diamanatkan untuk mempercepat pembangunan pariwisata Labuan Bajo dan Flores pada umumnya semakin membingungkan bahkan meresahkan dan mencemaskan warga masyarakat. Sebab, lembaga tersebut menguasai lahan warga lokal tidak melalui proses yang demokratis atau dialog dengan para pemilik lahan, tetapi mematok sekehendak hati atau ‘main patok sana sini’.
Hal ini terutama dialami oleh warga masyarakat di Kampung Nggorang, Kampung Racang Buka dan Kampung Lancang, di Kabupaten Manggarai Barat.
Kecemasan warga di tiga kampung ini muncul, karena penetapan kawasan hutan Bowosie sebagai lahan Otorita BPOLBF tidak dimulai dengan dialog yang demokratis dengan masyarakat yang berada di sekitar lahan Otorita itu.
Pasalnya, di beberapa titik tertentu batas-batas lahan otorita BPOLBF seluas 400 hektare itu justru mencakup lahan warga lokal, yang diwarisi secara turun-temurun selama puluhan tahun, jauh sebelum BPOLBF dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2018.
Ketika ditemui jurnalis media ini, Jumat, 08 April 2022, tua golo (Ketua Adat) masyarakat Lancang, Teo Urus menyampaikan bahwa masyarakat Lancang sejak puluhan tahun lalu sampai sekarang sangat menjaga hutan di sekitar kampung Lancang sebagai penyangga kehidupan, terutama dalam menyuplai air bersih bagi warga.
Sehingga, saat pembagian tanah pada beberapa tahun silam, ada batu pembatas atau sering disebut Pal Belanda di bukit sebelah atas Kampung Lancang di mana Pal itu sebagai pembatas lahan garapan warga dengan hutan tutupan.
"Sejak Pal Belanda itu, kami tidak sentuh hutan tutupan. Pada saat pembagian tanah terakhir tahun 1989, pembagian tanah adat, tidak menyentuh satu sentimeter pun hutan tutupan itu. Tokoh adat dan masyarakat tertib melakukan pembagian, tidak melanggar aturan hutan tutupan", kata Teo Urus.
Teo Urus melanjutkannya, Pada tahun 2021, ketika proses agraria tanah bagi warga Lancang, secara tiba-tiba pihak pertanahan membatalkan proses itu dan memberikan alasan bahwa itu adalah lahan otorita BPOLBF.
"Tiba-tiba pada tahun 2021, pada saat hangatnya urusan agraria tanah untuk masyarakat di sini, kegiatan pengukuran di lahan kami dibatalkan, karena mereka bilang tanah itu adalah kawasan BPOLBF. Tanah BPOLBF itu mulai mencakupi lahan di mana ada rumah warga", kata Teo Urus.
Sejak saat itu, tokoh adat dan seluruh warga Lancang rutin melakukan pertemuan berkaitan dengan keberadaan tanah mereka yang sedang berada dalam ancaman. Termasuk juga melakukan konsultasi dengan pihak-pihak terkait yang berwewenang.
Berdasarkan informasi Tua Golo Lancang juga, di dalam peta awal yang dihasilkan oleh BPOLBF itu, ada sekitar 38 rumah warga termasuk mata air sebagai penopang kebutuhan warga, masuk di dalam area lahan otorita BPOLBF.
Melihat hal itu, warga melakukan protes. Setelah ada penolakan warga, tiba-tiba ada pilar di jalan, di mana pilar itu diduga kuat milik BPOLBF. Warga melihat kemudian lapor ke tua Adat Lancang. Dan langsung membuat pertemuan lagi dengan seluruh warga.
Setelah itu, pihak BPOLBF menyambangi rumah tua golo Lancang, mereka membawa rokok dan _tuak_untuk meminta maaf serta meminta kebijakan dari tua golo.
Namun, tua Golo dan masyarakat Lancang menyayangi cara BPOLBF yang langsung memasang pilar. Warga Kampung Lancang pun meminta BPOLBF untuk mencabut kembali pilar yang sudah ditanam di lahan milik warga.
Tentunya, cara BPOLBF main patok sana sini di lahan warga sangat melukai hati warga bersangkutan. Karena cara-cara yang dibuat oleh BPOLBF sangat mengesampingkan etika komunikasi yang demokratis.
Aksi ‘main patok lahan' yang dilakukan BPOLBF tidak hanya dialami oleh masyarakat Lancang, melainkan dialami juga oleh masyarakat di Rancang Buka, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo.
Wili Warung, Ketua Koordinator Kelompok Masyarakat Racang Buka (KMRB) saat diwawancarai oleh media ini pada 26 Maret 2022 menyampaikan beberapa cara BPOLBF yang dinilai sangat tidak demokratis di mana BPOLBF langsung menyerobot masuk ke lahan warga dan tanam pilar atau dalam bahasa BPOLBF tanam titik ikat tanpa melalukan dialog atau konfirmasi dengan warga pemilik lahan.
Ia menyampaikan, sekurang-kurangnya sudah lima kali BPOLBF memberikan tekanan kepada masyarakat Racang Buka, yaitu melakukan hal yang sama, main patok di lahan warga.
Pertama, penanaman pilar di tengah kampung di depan Pertamina Wardun. Kegiatan itu berhadapan dengan warga, dan warga tidak tanggung-tanggung mencabut pilar itu.
Kedua, Penanaman pilar di titik paling timur dekat Wae Nahi. Kegiatan itu tetap berhadapan dengan masyarakat.
Ketiga, ada enam belas orang diturunkan, yaitu aparat negara, TNI, POLRI, POLPP dan Polhut yang mendampingi BPOLBF untuk pemasangan pilar. Hal itu tetap berhadapan dengan masyarakat. Dan masyarakat menghancurkan pilar-pilar itu.
Keempat, di Racang Buka, tetap berhadapan langsung dengan masyarakat di mana yang mendampingi BPOLBF saat itu adalah Kasat POLPP Mabar yang turut membantu meredahkan situasi karena ketegangan antara BPOLBF dan warga Racang Buka.
Dan yang terakhir, pada 26 Maret 2022, masyarakat mendengar informasi bahwa BPOLBF akan menggusur jalan di tengah lahan warga. Mendengar hal itu, warga Langsung menuju ke kebun dan melakukan siaga untuk mencegah penggusuran itu.
Secara umum, warga Racang Buka menilai BPOLBF sangat minim dalam menerapkan etika komunikasi yang demokratis. Karena BPOLBF datang ke lahan warga tanpa melalui informasi sebelumnya. Mereka datang pada saat warga setempat "tidur" atau melakukan aktivitas hariannya.
Terhadap beberapa persoalan yang dialami oleh warga Nggorang, Racang Buka dan Lancang, tim Floresku.com sudah mendatangi kantor BPOLBF dan hendak melakukan konfirmasi, tetapi pihak BPOLBF menyarankan agar memberikan pertanyaan Via WhatsApp untuk dipelajari secara baik.
Namun, sampai saat ini, BPOLBF bungkam dan tidak menjawab satupun dari beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh media ini. (Tedy N). ***
7 bulan yang lalu
7 bulan yang lalu