Lembaga Advokasi dan Pendidikan Kritis Maumere Desak Polres Sikka Berantas TPPO di Kabupaten Sikka

Selasa, 02 November 2021 12:18 WIB

Penulis:redaksi

Editor:Redaksi

Lembaga Advokasi dan Pendidikan Kritis Maumere Desak Polres Sikka Berantas TPPO di Kabupaten Sikka, Selasa, 02 November 2021.
Lembaga Advokasi dan Pendidikan Kritis Maumere Desak Polres Sikka Berantas TPPO di Kabupaten Sikka, Selasa, 02 November 2021. (Mardat)

MAUMERE (Floresku.com) - Lembaga Advokasi dan Pendidikan Kritis (Ba’Pikir) Maumere, memberikan apresiasi dan catatan kritis untuk penyidik dari Polda NTT dan Penyidik dari Polres Sikka terkait roses hukum terhadap 3 (tiga) pemilik PUB sebagai terduga pelaku eksploitasi anak dan/atau Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). 

Pernyataan sikap ini disampaikan melaui aksi unjuk rasa puluhan anggota dan simpatisan Lembaga Advokasi dan Ba'pikir di depan halaman Polres Sikka, Selasa, 02 November 2021.

Dalam orasinya di halaman Polres Sikka ketua Lembaga Adovaksi dan Ba’pikir, John Bala  mula-mula menyampaikan apresiasi atas upaya tim Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda NTT yang dipimpin oleh AKP. Ricky Dally, SH yang telah membongkar dugaan praktek eksploitasi anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap 17 anak di bawah umur pada 4 PUB di Kota Maumere pada Senin 4 Juni 2021 yang lalu. 

“Apresiasi dan terima kasih kepada Penyidik Polda NTT dan Penyidik Polres Sikkayang telah menasehati dan mengingatkan  kami yang terdiri dari Para Pastor, Suster, aktivis senior di Kabupaten Sikka ini, agar  tidak berburuk sangka, Under Estimate dan mencurigai kerja-kerja kepolisian dalam penanganan kasus ini,” ungkap seorang orator melalui keterangan tertulis yang diterima media ini.

“Kami memang bodoh dan tidak mampu mengakses informasi untuk mengetahui tugas-tugas polisi, sehingga perlu diajarkan lagi. Kami justru dianggap mengetahui banyak informasi dari berbagai pengalaman peristiwa dari berbagai tempat bahwa polisi sering meyelewengkan tugas-tugasnya untuk kepentingan non hukum dan bernuansa transaksional, sehingga harus diingatkan bahwa kali ini dalam kasus ini polisi tidak akan melakukan semua itu,” tandas sang orator.

Prihatin dan kecewa

Namun, pada sisi lain, Ba’pikir menyatakan bahwa pihaknya merasa prihatin dan kecewa dengan perkembangan penanganan kasus ini.

“Kami prihatin dan kecewa atas  empat hal substansial yang berhubungan obyektifitas dan profesionalisme polisi. 

Pertama, lemahnya penerapan standart perlindungan saksi dan korban. “Kami prihatin dan kecewa atas hilang atau kaburnya 4 anak saksi korban (saksi kunci) dari Shelter St. Monica TRUK-F Maumere yang hingga saat ini belum ditemukan,  secara obyektif dan professional dalam hal ini polisi alpa menerapakan standat pengamanan yang terukur sehingga para saksi korban itu bisa dengan mudah lari atau dilarikan dari tempat penitipan tersebut. Bahkan terbukti ada alat bantu berupa tangga di balik tembok untuk memudahkan pelarian mereka.” 

Selanjutnya, ungkap Ba’pikir lagi,  dalam upaya penegakan hukumnya, polisi seolah-olah kehilangan daya juang sebagai patriot bangsa untuk membongkar kasus ini. Polisi tampak tidak berdaya, hilang kecerdasan, hilang kepekaannya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat sebagiamana diatur dalam pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Polisi tidak mampu mengidentifikasi keberadaan saksi dan tidak mampu menemukan siapa pelaku yang membentu pelarian para saksi tersebut. 

Kedua, penetapan tersangka yang piskriminatif. “Menurut kami proses hukum terhadap 3 pemilik PUB sebagai terduga pelaku eksploitasi anak dan/atau TPPO  tesebut tampak diskriminatif.  Karena hingga saat ini baru satu orang pemilik PUB Bintang dan Sasari atas nama  JEVW (JOHANES ENJANG V.WONASOBA) alias RINO yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara Pemilik PUB Triple 9 dan Libra masih berlenggang bebas. Padahal masing-masing mereka melakukan tindakan yang sama dan dirazia pada waktu yang sama.,” ungkap Ba’pikir.  

Ketiga, penggunaan dasar hukum yang tidak tepat dan sempurna. “Penerepan ancaman hukuman atas kasus ini hanya berdasarkan Pasal 88 Jo Pasal 76I UU RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 183 ayat (1) dan (2) Jo Pasal 74 ayat (1) dan (2) huruf d UU RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, adalah tindakan yang tidak obyektif dan professional.”

“Pada hal dari bukti-bukti yang kami miliki terutama keterangan saksi korban, karena kami ikut mendampingi Tim Penyidik Polda pada saat pengambilan keterangan saksi, sungguh telah terpenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman pidana selama 15 tahun penjara.”

Akibatnya, tekat bersama untuk melakukan upaya pemberantasan TPPO di Sikka menjadi hilang kesempatannya dalam kasus ini. Kami menduga semua ini bukan kerana alasan tehnis hukum belaka, tapi kuat dipengaruhi oleh alasan non hukum. 

Keempat, kembali beroperasi 4 PUB yang bermasalah. “Saat ini 4 PUB yang terkait dengan kasus ini sudah beroperasi lagi, pada hal kasus ini belum sungguh-sungguh beres ditangani. Ini tamparan keras bagi upaya-upaya perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak-hak asasi manusia. Negara secara kasat mata tampak tidak sesitif terhadap upaya-upaya perlindungan korban dan mengabaikan penanganan hukum dibandingkan dengan suportnya terhadap bisnis ini.”

“Menurut kami, alasan Polda bahwa awal penutupa PUB-PUB ini karena situasi Covid berada pada level empat adalah mengada-ada. Masa sih Level PPKM covid meningkat ke level 4 persis pada beberapa hari setelah kasus ini terjadi. Ini gaya ngeles ala apparat untuk membenarkan tindakannya di lapangan,” tegas Ba’pikir lagi.

Catatan kritis

Lembaga Advokasi Ba’pikir juga memberikan catatan beberapa catatan kritis sebagai berikut.

Pertama, polisi hendaknya memiliki ketepatan-ketelitian. “Selain obyektifitas dan professionalism Polisi,  dalam penanganan kasus ini apabila dikaitkan dengan Visi Polisi yang Presisi ala Kapolri Jend. Listyo Sigit Prabowo, yaitu: Polisi yang prediktif, Responsibilitas dan Transparansi berkeadilan, maka tampak Penyidik Polda dan Polres Sikka .”

Polisi juga, terkesan tidak prediktif. “Dalam penanganan kasus ini Polisi tidak punya kemampuan meramalkan apa yang akan terjadi dimasa depan berdasarkan masalah di masa kini.” 

“Keberadaan koban merupakan saksi kunci dalam proses pembuktian sebuah kasus pidana. Namun dalam kasus ini, Polisi tampaknya tidak mempunyai kemampuan prediksi bahwa, untuk kepentingan menghalang-halangi atau menggagalkan proses pembuktian para korban sebagai saksi kunci ini bisa saja dilenyapkan, lari atau dilarikan dari tempat penitipan tersebut. Sehingga tidak menerapkan system pengamanan dan standart perlindungan yang baik. Akibatnya, ada 4 korban sebagai saksi kunci dapat melarikan diri atau dilarikan dari tempat penitipan tersebut.” 

Sayang pula, lanjut Ba’pikir, Polisi seolah-olah pasif Dalam rangka pemberantasan TPPO di Kabupaten Sikka Polisi tidak sungguh-sungguh berupaya membuktikan usur-usur tindak pidana perdagangan orang berdasarkan  2 UU No. 21 Tahun 2007 sebagai preseden baik terhadap tujuan dimaksud. 

Polisi juga tidak responsive. “Dalam penanganan kasus ini, polisi tampaknya lebih sering memohon pengertian, mengingatkan dan menasehati kami untuk tidak mencurigai, berburuk sangka, under ertimate terhadap tugas-tugas kepolisian serta menyiapkan alasan-alasan pembenarannya apabila terkesan lambat, dari pada membuktikan perkembangan pelaksanaan tanggung-jawabnya yang bermutu baik (dengan indicator yang terukur) untuk membongkar kasus ini hingga tuntas secara obyektif dan professional. “

Yang juga memprihatinkan, Polisi tidak bersikap transpran secara berkeadilan. “Dalam penanganan kasus ini, polisi memang terbuka dari sisi procedural. Polisi melibatkan  TRUK-F sebagai pendamping korban dalam berbagai diskusi terutama mendampingi Tim Pinyidik Polda NTT dalam pengambilan keterangan dari para saksi korban.  Namun dari data kesaksian yang sama itu, analis tim TRUK-F dan Para Aktivis HAM yang memenuhi unsur-unsur TPPO berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007 tidak diakomodir sebagai pertimbangan dalam menentukan ancaman hukuman kepada pelakunya.”

Lebih daripada itu, Ba’pikir menambahkan, ‘kasus ini sesungguhnya menimpah 4 PUB dengan 3 Pemiliknya. Mereka dirazia dalam waktu yang sama, memiliki jumlah korban yang berbeda tapi memiliki kategori dan kualitas korban yang sama, namun hingga saat ini Penyidik Polda baru menetapkan satu pemilik PUB sebagai tersangka. Sementara yang dua-nya lagi masih bebas. Ini adalah ketidak adilan yang kasat mata.”

“Bahkan ketidak-adilan juga tampak pada sikap Polres Sikka dan Pemda Sikka yang membiarkan PUB-PUB ini beroperasi lagi, padahal kasus ini belum sungguh-sungguk selesai ditangani,” tandas Ba’pikir lagi.

Menurut Ba’pikir, sikap Polisi antara nasihat dan fakta di lapangan tampak berkontradiksi, “Jauh Panggang dari Api”.

“Kami maklum, mengapa di awal dan selama proses polisi selalu memberikan nasihat dan peringatan agar kami tidak berburuk sangka dan memandang rendah terhadap obyektifitas dan profesionalisme polisi dalam penegakan hukum. Rupanya ada maksud yang terang benderang, tapi baru kami paham setelah 4 permasalahan tersebut di atas terjadi.” 

Nasihat tersebut di atas, tambah Ba’pikir lagi, tidak lebih hanya sebagai PHP (Pemberi Harapan Palsu) untuk mencegah keraguan-raguan kami terhadap polisi. Padahal Polisi sesungguhnya tidak bertindak obyektif dan professional dalam penganana kasus ini. 

Tuntutan

Berdasarkan semuanya ini, Lembaga Advokasi Ba’pikir  mengajukan rekomendasi atau tuntutan sebagai berikut. 

Pertama, meminta kepada Penyidik Polda NTT untuk segera melakukan evaluasi secara menyeluruh berkaitan dengan dasar hukum ancaman pidana yang digunakan dalam kasus ini. Bagi kami peristiwa hukum ini mutlak memenuhi unsur-unsur TPPO berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007.

Kedua, mengenai 4 saksi korban yang kabur, Ba’pikir mengatakan  adalah tanggung-jawab mutlak Kepolisian (Polda NTT) dan Shelter St. Monica TRUK-F. 

“Kami meminta kepada jajaran Polda dan Polres Sikka untuk segera mencari dan menemukan keberadaan mereka agar hak-hak-nya dapat terlindungi dan dapat berperan maksimal sebagai saksi kunci dalam perkara ini,” Tandas Ba’pikir.

Ba’pikir juga menuntut Polisi supaya menyelidiki secara saksama mengenai kasus ini agar secepatnya dapat memastikan siapa yang membantu mereka melarikan diri dan menetapkan sebagai tersangka karena telah menghalang-halangi proses penegakan hukum. 

“Kami meminta kepada Penyidik Polda-NTT untuk segera menetapkan pemilik PUB Tripel-9 dan PUB Libra untuk menjadi tersangka berdasarkan bukti-bukti yang sudah tersedia.”

“Kami juga meminta agar jajaran Polres Sikka berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka agar injin operasi 4 PUB yang terkait dengan kasus ini, untuk kepentingan proses hukum dibekukan sementara sampai dengan kasus ini benar-benar selesai,” tegas Ba’pikir.

Lembaga Advokasi Ba’pikir menyatakan bahwa pihaknya akan datang lagi untuk meminta pertanggung-jawaban polisi atas tugas-tugasnya. 

“Kami akan tetap datang dan selalu datang dengan biaya sendiri untuk mengeontrol lembaga kepolisian yang dibiayai oleh negara dan dari uang pajak kami.”

Khusus mengenai 4 saksi korban yang kabur, lanjut Ba’pikir, kami akan mempelajari secara saksama ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan tanggung-jawab Polisi terhadap perlindungan dan keselamatan saksi korban yang ditipkan ke Shelter St. Monica TRUK-F untuk melakukan proses hukum lebih lanjut.  (Mardat) ***